Kalau di Tanah Karo, setiap pergi ke desa, pada umumnya selalu dijumpai adanya sungai di setiap desa. Hal ini tidak terlepas dari kondisi geografis Kabupaten Karo yang dialiri oleh dua Daerah Aliran Sungai (DAS), yakni DAS Sei Wampu yang bermuara ke Selat Malaka, dan DAS Lawe Alas yang bermuara ke Danau Toba. Dua DAS inilah yang menjadi sumber primer sungai-sungai yang lebih kecil dan bercabang-cabang mengalir melintasi desa-desa di seluruh wilayah Tanah Karo.
Kalau di desa, bila ada sungai maka biasanya ada sawah. Sawah ditanami padi untuk menyediakan kebutuhan manusia akan beras sebagai bahan utama makanan pokok, begitu di Indonesia.
Secara spesifik, berbicara tentang padi di setiap desa, entah karena karakteristik khas kandungan mineral pada tanah, unsur hara, dan dikombinasi dengan adukan aliran sungai yang mengalirinya, maka terdapat varietas padi yang khas, endemik, hanya tumbuh baik di satu desa tertentu.
Tulisan ini berbicara tentang desa Serdang Kecamatan Barusjahe Kabupaten Karo, desa yang menjadi habitat endemis padi yang diberi nama Page si Galia. Padi atau page dalam Bahasa Karo sudah dipandang sebagai tanaman yang penting sejak dahulu kala. Karena itu, padi adalah simbol bagi kemakmuran, kesejahteraan.
Cerita tentang Galia ini bukanlah cerita tentang Gallia, sebuah suku bangsa di Asia Kecil yang pada zaman imperialisme Romawi ditaklukkan di bawah kekuasaan Kaisar Oktavianus Augustinus. Pada masa itu, orang-orang Gallia yang ditaklukkan diangkut dari kampung halamannya ke Roma sebagai budak dan tawanan. Galia yang ada di kampung ini adalah bahan baku untuk membuat lemang panas atau "rires." Lebih nikmat lagi, apabila lemang panas itu dinikmati bersama dengan gula "tengguli", semacam saus berbahan madu atau gula yang terbuat dari air nira yang dimasak.
Rires adalah bahasa Karo untuk lemang. Cita rasa dari lemang berbahan baku page si Galia ini sudah menjadi trade mark atau hak paten, yang dimiliki oleh padi yang hanya tumbuh baik di desa ini. Sebagian besar masyarakat Karo penikmat dan pemerhati lemang umumnya sudah mengetahui dan mengakui hal itu.
Kalau hari-hari kini di desa sudah banyak terjadi perubahan, salah satunya mungkin akibat manusianya yang sudah berubah, sebagaimana tesis Herakleitos. Sudah banyak catatan yang merekam bagaimana perubahan atau kerusakan ekologis diakibatkan oleh ulah manusia.
Namun, kalau hari ini sayup-sayup dari kejauhan gugusan pegunungan Bukit Barisan, yang disebut warga desa sebagai "Deleng Taincuk" karena salah satu pucuk gunungnya berbentuk kerucut piramida (taincuk-bahasa Karo), masih terdengar sahut-sahutan suara Siamang, yang masih tetap sama seperti dahulu kala, itu adalah salah satu indikasi bahwa kelestarian alam di sana masih terjaga.
Saat saya masih kecil dan tinggal bersama kakek dan nenek di desa ini, pada satu pagi kakek berkata: "Lipat selimutmu anakku, itu pekerjaan pertama yang kau temui saat bangun tidur setiap pagi. Mustahil mengurus negara, kalau untuk melipat selimutpun kau tak bisa dipercaya."
Setiap turun ke sungai di desa, rasanya tetap aktual menggambarkan perasaan melihat desa, sungai, gunung dan padi, dengan mengutip puisi Mandalawangi-Pangrango dari Soe Hok Gie:
Senja ini, ketika matahari turun
Ke dalam jurang-jurangmu
Aku datang kembali
Ke dalam ribaanmu, dalam sepimu
Dan dalam dinginmu
Walaupun setiap orang berbicara tentang manfaat dan guna
Aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan
Dan aku terima kau dalam keberadaanmu
Seperti kau terima daku
Sementara itu, nun di kejauhan, Deleng Taincuk yang ikonik sebagai latar belakang Desa Serdang, Mandalawangi Pangrango-nya Tanah Karo tampak berdiri gagah dalam ketenangan, seolah tampak seperti seorang seorang kakek yang membungkuk dan berkata kepada cucunya:Â
"Aku telah hidup dari zaman kereta kuda sampai zaman manusia berjalan di bulan, banyak perubahan, dan aku telah menyaksikan orang-orang yang datang dan pergi dalam hidup. Aku telah melihat kenyataan bahwa hidup ini begitu singkat." Mungkin kita juga sering bertanya dalam hati, kemana saja waktu telah berlalu, dan apa sebenarnya yang kita inginkan.
Kini, di masa sekarang, apa yang lebih hangat dari memori sentimentil masa kecil di kampung halaman? Salah satunya adalah kehangatan pada musim panen, saat Page si Galia bercampur santan dipanggang di dalam ruas-ruas pokok bambu di halaman belakang rumah, saat perayaan syukuran pesta panen tahunan, yang disebut "kerja tahun" bersama-sama dengan handai taulan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H