Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

300, Kaum Lhee Reutoih: Orang Karo Bukan Sparta, Bukan Pula Pasukan Gideon

15 Desember 2018   21:44 Diperbarui: 15 Desember 2018   23:36 494
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tapal Batas Karo-Langkat di jalur Telagah (dokpri)

Maka tidak mengherankan kalau peradaban manusia sejak zaman dulu kala dikenal sebagai peradaban sungai, seperti peradaban Mesopotamia di sekitar lembah sungai Eufrat dan Tigris, peradaban lembah sungai Nil di Mesir, peradaban lembah sungai Yang Tze Kiang Di Tiongkok, peradaban lembah sungai Indus di India, peradaban lembah sungai Mekong di Thailand, dan sebagainya.

Lagi menurut Brahma Putra, sejarah mencatatkan bahwa raja terakhir Suku Karo di Aceh Besar bernama Manang Ginting Suka.

Orang Karo zaman dulu dilatari Rumah Adat Karo (sumber foto: wikipedia)
Orang Karo zaman dulu dilatari Rumah Adat Karo (sumber foto: wikipedia)
Ada satu cerita tentang orang-orang Karo yang di Aceh. Kalau kita pernah mendengar dan menonton kisah yang sudah difilmkan ini, tentang 300 pasukan dari orang-orang Sparta yang berperang dengan hebat melawan pasukan dalam jumlah raksasa dari Persia yang dipimpin Raja Xerxes, atau 300 orang Israel yang dipimpin oleh Gideon melawan 135.000 tentara Midian, maka di Aceh pada zaman kerajaan dahulu kala ada orang Karo yang berubah nama menjadi "Kaum Lhee Reutoih" atau kaum 300. Penamaan ini terkait peristiwa perselisihan suku Karo dengan suku Hindu yang ada di sana. Perselisihan ini disepakati diselesaikan dengan cara perang tanding, 300 orang Karo berperang melawan 400 orang suku Hindu di suatu lapangan terbuka. Namun, akhirnya peperangan ini dapat didamaikan. Percampuran orang-orang Karo melalui perkawinan dengan kaum Hindu melahirkan kaum yang disebut Ja Sandang, golongan lainnya disebut kaum Imeum Peuet  dan Tok Butee yang merupakan campuran dari orang-orang Karo dengan orang Arab dan Persia.

Secara demografi, pada masa kini orang-orang Karo secara signifikan berdomisili dan mewarnai kultur di berbagai daerah, seperti Tanah Pinem, Tiga Lingga dan Gunung Sitember di Kabupaten Dairi; Lau Deski, Lau Perbunga, dan Simpang Simadan di Kabupaten Aceh Tenggara; Tanjung Morawa, Sibolangit, Kutalimbaru, Deli Tua dan Biru-biru di Kabupaten Deli Serdang; dan Dolok Silau di Kecamatan Simalungun. Beberapa nama tempat-tempat itu bahkan adalah juga nama-nama desa di Kabupaten Karo. Sedangkan di Kabupaten Langkat sendiri orang-orang Karo banyak berdomisili di Bahorok, Kutambaru, Sei Bingai, Kuala, Salapan, Selesai, Batang Serangan, dan Sirapit.

Merenungkan cerita sejarah ini sebagai orang Karo, setelah sebelumya menyusuri sungai Sei Bingai seusai perayaan natal di Batu Minjah Langkat, dan kembali pulang lewat jalur Telagah menuju Kabanjahe, seperti berjalan menyusuri jalan sejarah berbungkus ritus spiritual.

Tapal Batas Karo-Langkat di jalur Telagah (dokpri)
Tapal Batas Karo-Langkat di jalur Telagah (dokpri)
Jalur Telagah yang sedang giat-giatnya dirampungkan pengaspalannya ini akan semakin mengikat rasa persaudaraan orang-orang Karo yang di dataran tinggi dan pegunungan dengan orang-orang Karo yang di hulu, Langkat, Binjai, Deli Serdang, Medan dan sekitarnya. Bahwasanya bila ditarik jauh mundur ke belakang, bisa jadi banyak sekali orang Karo adalah keturunan Arab, Persia dan India adalah sebuah kemungkinan yang masih sama besarnya dengan peluang ketidakmungkinannya. Seperti diungkapkan Richard Templar, bahwa separuh dari laki-laki Eropa bisa saja adalah keturunan Jenghis Khan bila ditelusuri jauh ke belakang.

Apa yang penting tentang ini adalah bahwa semua kita bersaudara. Tidak penting untuk berkelahi soal apa yang benar dan apa yang salah, karena sebenar-benarnya manusia adalah yang berguna bagi sesamanya.

Di ketinggian 1400 meter di atas permukaan laut, di bawah tugu Kuliki, batas sebelah Utara Kabupaten Karo dengan Kabupaten Langkat, di suhu 16 hingga 17 derajat celcius ini, aku setidaknya mendapat tambahan jawaban atas pertanyaan eksistensialis terkait siapa, darimana, dan untuk apa saya ada. Karena pertanyaan tentang kemana saya nanti sudah terjawab di peringatan hari natal tadi.

Di depan sana, terhampar keindahan alam pegunungan, dengan udara yang sejuk, ciri khas daerah penghasil buah dan sayuran.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun