Mohon tunggu...
Aven Jaman
Aven Jaman Mohon Tunggu... Administrasi - penulis

Menjadi Berarti

Selanjutnya

Tutup

Politik

Prahara Jiwasraya, Bakrie Terbilang, Bakrie Tak Boleh Disidang?

26 Juni 2020   18:37 Diperbarui: 26 Juni 2020   18:43 3491
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pembaca masih ingat Setya Novanto? Media acap kali menyebutnya sebagai belut karena kemampuannya yang selalu lolos dari jerat hukum. Namun, selicin-licinnya belut, toh ternyata masih bisa ditangkap juga, kan?

Setnov juga sama. Akhir pertunjukan akrobatiknya lolos dari jerat hukum pada berbagai kasus hukum yang menyeret-nyeret namanya bertahun-tahun toh pada akhirnya berujung juga. Benjolan sebesar bakpao akibat cium tiang listrik menjadi babak akhir dramanya. Padahal, drama stroke dan serangan jantung di Rumah Sakit nyaris saja membuatnya kembali lolos dari cengkeraman borgol pihak berwenang.

Tapi apakah kisah permainan hukum ikut tamat bersama jeblosnya Setnov ke penjara? Ternyata tidak.

Setnov, hanyalah satu dari sekian banyak parasit ganas yang lama menggerogoti republik ini. Keberadaan mereka adalah faktor utama dari gagalnya wacana dan impian besar para pendiri republik ini untuk hadirkan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi segenap bangsa Indonesia.

Parasit-parasit ini hadir dengan memoles diri sebagai pengusaha. Lalu, dari hasil usahanya pelan-pelan membangun tentakel pengaruh politik pada jantung kekuasaan. Alhasil, dengan tikaman pacul usaha dan bisnis mereka, sumber daya yang dimiliki bangsa sukses mereka eksploitasi, dikeruknya sampai nyaris tak bersisa, dengan hasil tak secuilpun demi kemakmuran bersama.

Jahatnya, tentakel-tentakel yang mereka julurkan hingga ke jantung kekuasaan, membuat alarm ketidakadilan sosial mogok memberi sinyal. Atau, kalaupun kemudian terdiagnosa sebagai penyebab dari hancurnya sebuah menara kemaslahatan bersama, aparat hukum dibuatnya mandul dan tumpul sampai tak mampu menyeretnya ke muka hakim.

Dampaknya ke bangsa adalah terdapat fakta adanya kerugian bersama, namun pedang hukum tak bisa diandalkan menjadi panglima penjaga keajegan bersama. Ketidakadilan terjadi tiap hari. Kemiskinan pun jalan terus pada negeri yang seharusnya makmur ini.

Sampai kapan hal ini dibiarkan terjadi? Saat Setnov ditangkap, kita semua sempat lega bahkan tak sedikit yang berharap bahwa praktek permafiaan kasus hukum selamanya sudah berakhir. Tak akan ada Setnov-setnov lain. Faktanya?

Drama kasus Jiwasraya hadir memberi bukti dengan kisah pilunya. Lagi-lagi memperlihatkan praktek ketidakadilan hukum yang diperagakan aparat yang digaji negara dengan gaji gila-gilaan demi hadirkan apa yang namanya keadilan, tapi terkesan membelok-belokkan sangkur hukum semau gue.

Dari gelaran kasus ini selama beberapa minggu terakhir, 6 orang diseret sebagai terdakwa. Kesan yang ingin ditampilkan tentu supaya adanya kerugian yang ditimbulkan dari gagal bayarnya Jiwasraya mesti ada pelaku yang dirajam jeruji bui. Sayang, menjadikan seseorang atau beberapa sebagai terdakwa tak selamanya berarti keadilan telah ditegakkan.

Demikian pula pada Jiwasraya ini. Pada gelaran sidang minggu lalu misalnya, salah satu terdakwa bernyanyi, menyebutkan nama salah satu konglomerat kondang yang juga politisi dari partai yang juga sama menaungi Setnov, Golkar. Dia adalah Aburizal Bakrie.

Menurut Tjokro, terdakwa dimaksud, repo saham milik Bakrie yang dilakukan Jiwasraya pada rentang 2004-2006 adalah salah satu faktor sebagai sebab utama kerusakan sistemik yang dialami Jiwasraya sampai kini terjadi gagal bayar.

Kesaksian Tjokro klop rupanya dengan hasil investigasi majalah Tempo edisi Maret 2020 yang menyebutkan bahwa di balik kisah kejatuhan Jiwasraya, adalah sejumlah perusahaan dari grup milik Bakrie ikut punya andil, selain Beny Tjokro itu tentunya.

Khusus Bakrie Group, perusahaan-perusahaan itu konon tidak semuanya hadir pakai bendera grup Bakrie. Kebanyakan dengan modus underlying assets yang membuat kode emiten grup Bakrie tak kelihatan. Namun lewat telusuran investigatif mendalam oleh kru Tempo, perusahaan-perusahaan itu dilaporkan punya afiliasi ke grup Lord Bakrie.

Perusahaan itu antara lain:

1. Pan Arcadia Dana Saham Bertumbuh

2. Pan Arcadia Saham Syariah,

3. Pinnacle Dana Prima

4. Pool Advista Kapita Optima

5. Pool Advista Kapital Syariah,

6. Treasure Fund Super Maxxi

7. PT Bumi Resources Minerals (Tbk),

8. PT Bakrie Telecom Tbk,

9. PT Bumi Resources Tbk

10. PT Dara Henwa Tbk.

11. PT Bakrie Sumatra Plantatios Tbk,

12. PT Bakrie Capitalinc Investment, dan

13. PT Visi Media Asia.

Disebutkan sumber Tempo dalam investigasi tersebut, tim audit menemukan transaksi saham ini bermula dari repo atau repurchase agreement pada 2004-2006. Kepemilikan saham Jiwasraya yang diinvestasikan lewat repo saham Group Bakrie diperkirakan mencapai lebih dari Rp 3 triliun.

Harap dicatat, pada rentang 2004-2005, Tuan Bakrie adalah Menko Perekonomian pada Kabinet Indonesia Bersatu. Sebuah jabatan yang memungkinkannya bisa leluasa punya akses ke mana-mana pada dunia perekonomian dalam negeri.

Repo saham Bakrie yang senilai 3 trilyun yang tak ditebus-tebus juga itulah salah satu sebab mengapa pas pergantian direksi pada 2008, Jiwasraya tercatat memiliki liability (tanggungan beban hutang) sejumlah 5,3 T.

Bakrie Dilindungi?

Nah, pembaca coba lihat drama pengadilan kasus Jiwasraya ini sekarang! Yang diseret ke muka pengadilan adalah direksi Jiwasraya 2008-2018 dan operator lapangan yang goreng saham Jiwasraya di Pasar Modal pada rentang jabatan direksi tersebut saja.

Fakta bahwa Jiwasraya sudah merugi sejak 2006. Kerugian antara lain akibat saham-saham Bakrie tadi.

Aneh bin ajaib, Bakrie tak disenggol-senggol oleh pihak kejaksaan yang menangani kasus ini. Ingat bahwa para terdakwa yang kini disidangkan di pengadilan Tipikor Jakarta disangkakan bersalah karena memainka Jiwasraya di Pasar Modal yang menjanjikan return of investment (ROI) yang di luar nalar.

Mereka sampai terjun ke sana antara lain karena kepentok tak berdaya oleh tuntutan hutang sebelum 2008 tadi. Toh, bisa dibuktikan bahwa cara-cara legal dan aman telah pernah mereka usulkan ke negara lewat skema PMN dan Zerro Coupon Bond pada rentang 2008-2009. Namun cara-cara aman ini ditolak negara karena kondisi keuangan negara waktu itu berantakan akibat skandal Century.

Wah, kok tulisan ini seperti hendak membersihkan para terdakwa ini dari jerat hukum, sih? Demikian mungkin bisik bathin pembaca.

Sabar dulu! KUHP kita mengisyaratkan bahwa sebuah kejahatan baru akan disebut mengandung unsur pidana apabila mens rea dan actus reus-nya klop. Mens rea adalah niat, actus reus adalah tindak kejahatan melawan hukumnya.

Maka, para terdakwa baru bisa dinyatakan bersalah bila pihak kejaksaan mampu buktikan bahwa para direksi 2008-2018 yang sekarang dijadikan terdakwa memang memiliki niat menjahati perusahaan yang mereka kelola. Jiwasraya adalah sebuah perusahaan. Sebagai perusahaan, logika bisnislah yang dipakai yakni meraih keuntungan sebesar-besarnya dengan modal serendah-rendahnya untuk bisa sustain.

Jika pembaca ada di pihak terdakwa, saya jamin, pasti berdaya-upaya sedemikian rupa demi selamatkan perusahaan setelah ketahuan memiliki beban hutang. Maka dengan kondisi mental seperti itu, mungkinkah para direksi ini malah berniat hendak hancurkan Jiwasraya?

Pada faktanya, mereka terekam pada sejarah perjalanan kasus kalau pernah mengusulkan skema PMN dan obligasi zerro coupon bond (ZCP) ke negara. Jadi, tantangan bagi kejaksaan sekarang adalah membuktikan adanya niat jahat para terdakwa tersebut.

Istimewanya adalah yang nyata menyebabkan kerugian awal Jiwasraya pada rentang 2004-2006 malah tidak diseret. Kerugian yang bisa dibilang sebagai lubang awal kerusakan Jiwasraya. Lubang-lubang setelahnya adalah hasil galian untuk menutup lubang awal tersebut. Tapi ajaibnya, penyebab lubang pertama ini tak tersentuh sama sekali.

Genealogi dan kronologi kasus Jiwasraya bila disimak, terungkap bermula dari hasil audit BPK. Temuan BPK lalu direspon kejaksaan. Meledaklah kasus ini kemudian di muka publik.

Bila menyeret tersangka hanya melulu didasarkan pada hasil temuan BPK, maka mustahil Bakrie bakal diseret ke pengadilan. Kenapa? Kesan Bakrie dilindungi telah sama-sama kita lihat. Hanya motif di balik perlindungan itu yang perlu diusut tuntas. Kecuali kalau nyanyian Benny Tjokro benar adanya bahwa 2 petinggi BPK adalah orangnya Bakrie.

Keengganan Kejaksaan mengusut lebih jauh temuan BPK dari awal kasus mencuat juga diduga kuat karena telah ada deal antara Bakrie dengan Kejaksaan. Bila dugaan ini benar adanya, maka bisa ditebak ke mana akhir kisah ini: Benny Tjokro, dkk sukses dibui, Bakrie melenggang bebas lagi sebagaimana dia bebas dari deretan dugaan keterlibatan pada sejumlah kasus sebelumnya seperti Lapindo, Bakrie Life, Gayus Tambunan, E-KTP, dll. Lalu kasus Jiwasraya selesai begitu saja, duit nasabah menguap begitu saja, persis First Travel.

Anda sekalian rela? Saya engga!(*)

Catatan: Artikel ini telah tayang pada Narasikita.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun