Praktik ini meluncur tersebab ekonomi murung, kurang informasi, gagal paham regulasi, orangtua yang bergegas lepas tangan, cuci tangan sehingga tak menanggung beban hidup bagi anak-anaknya. Juga bisa karena kecelakaan akibat salah bergaul.
Maka kemudian, kita harus menyeka keringat kesedihan anak-anak kita dengan memasok pengetahuan dan budi pekerti yang mumpuni agar tak terpeleset di arus yang tercemar.
Anak-anak yang menjadi korban di atas selain dipengaruhi oleh keluarga dan lingkungan, nampaknya media masa cetak dan elektronik turut beriur atas maraknya anak-anak yang setiap hari tergelincir pada jalan pekat  yang pernah kita harapkan.
Membaca berita koran, menonton televisi, browsing internet, melihat youtube, dll, sekurangnya memantik orangtua maupun anak sendiri untuk menjejaki domain-domain baru yang menggelayutkan mendung kepedihan berhamburan.Â
Kita tak ingin semua itu menyergap anak-anak kita, maka kemudian kita mesti selalu tak semata mengawasi tapi mesti lebih mengedukasi, menjadi teladan bagi anak-anak kita, oase kita. Kita tak ingin anak-anak kita memanen kerutan nasib hitam berganda. Inilah bagian cara menjaga nyala mimpi anak-anak kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H