Kemerdekaan pers dikukuhkan dalam UU Pers No 40/1999. Imbasnya semakin marak terbitnya berbagai media massa cetak dan elektronik di Jakarta dan daerah-daerah.Â
Bahkan di era desentralisasi, pemahaman terhadap hak asasi manusia, termasuk pemenuhan atas kebutuhan informasi semakin menguat, sebagai-mana diamanatkan regulasi.
Jurnalisme ada untuk memenuhi hak-hak warga negara. Jurnalisme ada untuk demokrasi. Oleh sebab itu, pers menjadi motor yang berjuang satu barisan mengawal demokrasi.Â
Pers bersama pemerintah mendorong dan menggerakkan partisipasi warga dalam pembangunan di daerah, karena esensi tugas pemerintah adalah menyelenggarakan pelayanan, pemerintahan dan pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat.Â
Jadi hubungan antara pers dan pemerintah harus sinergis dan profesional melaksanakan peran dan tanggung jawab pengabdian kepada bangsa dan negara.
Interaksi di sini berarti keduanya harus menjadi mitra yang konstruktif. Pers mendorong pemerintah menjalankan kekuasaannya dengan benar, menjadi partner pemerintah daerah, memberdayakan masyarakat, membuka wawasan berpikir bagi publik dan menghargai kerja pemerintah dan karya prestasi masyarakat.Â
Jadi bukan justru menjadi "kompor" ataupun mengejar keuntungan kapitalis semata dan membentuk sentimen negatif yang menyesatkan dan merugikan kepentingan umum. Disinilah letak profesionalitas sangat dibutuhkan.
Reformasi birokrasi dengan berlakunya beberapa konsep tata pemerintahan baru, seperti e-government maupun adanya Komisi Informasi menjadi bentuk pembenahan tata pemerintahan menuju profesionalitas.Â
Sedangkan pers atau jurnalistik yang profesional harus mengedepankan kode etik profesi yang menyangkut martabat kewartawanan, mengedepankan etika, moral, dan nilai-nilai kebangsaan.Â
Jadi seorang jurnalis bukan hanya mentaati UU No. 40/1999 tentang Pers, tetapi juga mentaati Kode Etik Jurnalistik, dan moralitas jurnalistik wartawan sesuai standar kompetensi profesional.
Tanggung Jawab Pers