Mohon tunggu...
Marjono Eswe
Marjono Eswe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Ketik Biasa
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis Bercahayalah!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Panasea Belajar Daring

11 September 2020   11:37 Diperbarui: 11 September 2020   11:39 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kala menekan tuts-tuts keyboard di laptop rasanya penulis tak sampai hati dan terpaksa menyematkan diksi miskin dalam tulisan ini. Itu lebih karena miskinnya pengetahuan, sikap bahkan rasa penulis. Entahlah, tapi senyatanya pemerintah masih saja menempatkan predikat, "miskin," itu pada hampir setiap kucuran bantuan. Bahkan di beberapa rumah warga di beberapa daerah ada yang terpasang label "keluarga miskin."

Apalagi beragam bantuan bagi warga yang sedang tertimpa covid-19 maupun warga yang terdampak pandemi ini. Acap disebut-sebut di media. Pada saat kue-kue bagi warga satu ini diserobot orang-orang yang cukup berpendidikan bahkan lulusan perguruan tinggi, maka tak sedikit kalangan yang sekadar memberikan komentar, pendapat, memberi dukungan dan dana atau membela penerima kue di atas dengan berapi-api.

Namum masih ada juga mereka yang merebut jatah dan atau hak kaum yang kerap termajinalkan ini sembunyi, mengendap diantara tetumpukan rasa bersalah dan tak terendus KPK. Begitulah sebagian kisah murung warga kita yang belum mampu berdiri sama tegak duduk sama rendah secara psikologis.

Penggalan kelu diatas rupanya juga menyangkut hidup dan kehidupan anggota keluarganya yang lain, termasuk anak-anak mereka yang masa-masa sekarang juga sedang mengalami kepedihan, ditindas dengan susahnya mengikuti belajar dalam jaringan (daring).

Persoalannya kompleks untuk menggelar di sini. Barangkali kita bisa menitipkan beberapa permohonan satu-satu kepada yang berkompeten, kelompok peduli, dll, sehingga sekurangnya bisa menjadi panasea (obat mujarab) anak-anak tak mengingau lagi soal gadget, internet, dll.

Pertama, pemerintah melalui siapapun bahkan bisa lewat program CSR memulai sedikit berempati dengan memberikan kucuran bantuan bukan berupa dana atau uang. Artinya, mari anak-anak dari kalangan bawah ini kita bagikan hadiah yang terindah, paling berimpresi dan selalu diingat sepanjang musim. Apa itu? Kado itu bukan makanan, tidak buku, juga bukan susu tapi juga tidak tas atau sepatu.

Bingkisan terhangat bagi anak-anak yang bergiat menjaga nyala mimpinya itu adalah gadget (HP), bisa pula laptop. Keduanya tentu harus dilengkapi dengan aliran kuota internet dan sambungan jaringan listrik baru yang memadai bagi anak-anak kita di pelosok pedesaan, perbukitan, perbatasan, di bibir hutan, di pinggir pantai maupun anak-anak kita yang terpaksa sedang berjuang menjadi tulang punggung keluarga (terpaksa berperan menjadi ibu sekaligus Bapak dan juga sebagai kakak bagi adik-adiknya).

Kita bisa secara patungan atau keroyokan membantu keluarga-keluarga yang belum beruntung tadi ikut sedikit menikmati merdeka belajar yang diusung Pak Nadiem Makarim.Kita harus memastikan jaringan WIFI dan listrik itu selama berapa tahun atau dana desa yang ada di setiap desa bisa dialihkan penggunannya untuk pembangunan jaringan atau WIFI, sehingga anak-anak ini tak lesu menghadapi jadwal daring dari para guru atau sekolahnya.

Belum lagi jika keluarga itu kembar dan sekolah semua. Atau bahkan anak-anak yang bersekolah dalam keluarga itu jumlahnya banyak. Bisa saja dalam satu keluarga anak yang menempuh bangku sekolah ada 2-3 orang. Bagaimana keluarga itu memenuhi kebutuhan daring anak-anaknya kalau penghasilannya saja hanya sebagai buruh tani, buruh serabutan atau sekadar kuli panggul maupun tukang parkir.

Kita bisa bayangkan, tak kurang 6 bulan, soalan ini juga belum tuntas. Kadang beberapa warga ada juga yang abai dan merasa tak takut lagi atas bahaya pandemi covid-19. Tapi para orangtua dan keluarga yang hidupnya sudah susah itu justru lebih takut jika anak-anaknya drop out alias mutung di tengah jalan gegara merasa tak kuat menahan beban daring yang sejatinya sangat kompleks. Tak cuma urusan HP dan kuota.

Pada saat lain, kita cukup bahagia mendengar dan menyaksikan arus bantuan HP dan kuota internet ke beberapa warga yang kekurangan ini. Pada saat itu juga akan muncul problema baru, seperti keterbatasan paket data/kuota internet.

Barangkali 1 minggu s/d 1 bulan tak ada persoalan, tapi menginjak bulan selanjutnya kemurungan itu lantas muncul, belum lagi ditingkah dengan sulitnya menemukan sinyal internet di ceruk pedesaan yang cukup jauh, absen bahkan nihilnya BTS operator selular tertentu. Kabar terbaru dari beberapa sekolah di Kota Semarang akan ada bantuan kuota internet 10 GB bagi setiap anak. Ini berita yang cukup menyejukkan dan layak diapresiasi tentunya.

Problematik lain pun nampaknya masih menghinggapi kita semua, saat para orang tua diminta ijin atau persetujuannya jika akan dilakukan sekolah tatap muka. Yang menjadi naif di sini adalah, ketika surat tersebut diluncurkan atau dikirim atau diantar ke rumah oleh para guru tanpa disertai penjelasan menyangkut beberapa hal.

Pertama, metode belajarnya seperti apa pada saat tatap muka di kelas. Apakah kelompok besar, kelompok kecil atau individual atau lagi mungkin model shifting? Kedua, tanpa diberikannya pemahaman orang tua mengenai berapa lama jam belajar di sekolah di saat pandemi ini. Ketiga, bagaiman sarana prasaran sekolah maupun kelas yang akan menghela kelas tatap muka.

Pilot Project

Di sini tentu menjangkau kesiapan protokol kesehatan, seperti jika perlu ada rapid tes, handsanitizer, pengukuran suku tubuh, masker, tak melakukan kontak fisik, dilarang bertukar masker, tak boleh berganti-ganti tempat duduknya, tak disarankan sharing peralatan sekolah atau bagaimana jaminan pengawasan sekolah saat anak-anak belajar di lembaganya. Juga apakah di sekolah tersedia tenaga medis yang siap selama tatap muka.

Ketika hanya sekadar ACC atau persetujuan keluarga atau orangtua siswa, justru mEmberikan kesan seolah yang paling bertanggungjawab jika ada sesuatu yang tak diharapkan akan dikembalikan pada pundak orangtua. Harapannya, memang semua baik-baik saja.

Pada aras lain, kita harus bangga pada sekolah atau guru yang melakukan home visit karena siswanya berlatar belakang keluarga berpendapatan rendah dengan melakukan pembelajaran di rumah siswa untuk menggelar kegiatan belajar mengajar.Atau terimakasih juga pada guru yang menghelat pembelajaran langsung di rumahnya dengan cara mengundang siswanya secara bergantian 1-2 kali seminggu untuk menuntaskan soalan belajar siswanya.

Sebagian warga lagi, rela sharing WIFI-nya bagi anak-anak terdekat untuk menunaikan belajar daring. Jika semua kepala desa atau desa bersepakat memberdayakan masyarakat, termasuk membantu anak-anak dalam belajar daring, praktis sudah tak ada masalah. Artinya, membantu meringankan beban pemerintah yang sedang berjuang bersama seluruh masyarakat membebaskan dari agresi covid-19.

Kita sepakat dengan Gubernur Jateng, Ganjar Pranowo yang saat ini sedang melakukan pilot projek kegiatan belajar mengajar tatap muka sesuai kebiasaan baru pada 6 SMA/SMK Negeri di Jawa Tengah. Ini dilakukan dengan sangat hati-hati, SOP tatap muka kita terapkan dengan penuh kedisiplinan. Kita tentu tidak ingin belajar mengajar tatap muka ini malah menjadi cluster baru yang memakan korban

Mari julurkan kebaikan kita, sorongkan harta kita, ulurkan sedikit rejeki kita untuk membalik kemurungan menjadi kegembiraan anak-anak kita. Semua itu tak bisa berjalan sendiri, kita perlu keroyokan, gotong royong menyelamatkan masa depan anak-anak kita, generasi bangsa percaya diri menganyam dan menjemput masa depannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun