Kala menekan tuts-tuts keyboard di laptop rasanya penulis tak sampai hati dan terpaksa menyematkan diksi miskin dalam tulisan ini. Itu lebih karena miskinnya pengetahuan, sikap bahkan rasa penulis. Entahlah, tapi senyatanya pemerintah masih saja menempatkan predikat, "miskin," itu pada hampir setiap kucuran bantuan. Bahkan di beberapa rumah warga di beberapa daerah ada yang terpasang label "keluarga miskin."
Apalagi beragam bantuan bagi warga yang sedang tertimpa covid-19 maupun warga yang terdampak pandemi ini. Acap disebut-sebut di media. Pada saat kue-kue bagi warga satu ini diserobot orang-orang yang cukup berpendidikan bahkan lulusan perguruan tinggi, maka tak sedikit kalangan yang sekadar memberikan komentar, pendapat, memberi dukungan dan dana atau membela penerima kue di atas dengan berapi-api.
Namum masih ada juga mereka yang merebut jatah dan atau hak kaum yang kerap termajinalkan ini sembunyi, mengendap diantara tetumpukan rasa bersalah dan tak terendus KPK. Begitulah sebagian kisah murung warga kita yang belum mampu berdiri sama tegak duduk sama rendah secara psikologis.
Penggalan kelu diatas rupanya juga menyangkut hidup dan kehidupan anggota keluarganya yang lain, termasuk anak-anak mereka yang masa-masa sekarang juga sedang mengalami kepedihan, ditindas dengan susahnya mengikuti belajar dalam jaringan (daring).
Persoalannya kompleks untuk menggelar di sini. Barangkali kita bisa menitipkan beberapa permohonan satu-satu kepada yang berkompeten, kelompok peduli, dll, sehingga sekurangnya bisa menjadi panasea (obat mujarab) anak-anak tak mengingau lagi soal gadget, internet, dll.
Pertama, pemerintah melalui siapapun bahkan bisa lewat program CSR memulai sedikit berempati dengan memberikan kucuran bantuan bukan berupa dana atau uang. Artinya, mari anak-anak dari kalangan bawah ini kita bagikan hadiah yang terindah, paling berimpresi dan selalu diingat sepanjang musim. Apa itu? Kado itu bukan makanan, tidak buku, juga bukan susu tapi juga tidak tas atau sepatu.
Bingkisan terhangat bagi anak-anak yang bergiat menjaga nyala mimpinya itu adalah gadget (HP), bisa pula laptop. Keduanya tentu harus dilengkapi dengan aliran kuota internet dan sambungan jaringan listrik baru yang memadai bagi anak-anak kita di pelosok pedesaan, perbukitan, perbatasan, di bibir hutan, di pinggir pantai maupun anak-anak kita yang terpaksa sedang berjuang menjadi tulang punggung keluarga (terpaksa berperan menjadi ibu sekaligus Bapak dan juga sebagai kakak bagi adik-adiknya).
Kita bisa secara patungan atau keroyokan membantu keluarga-keluarga yang belum beruntung tadi ikut sedikit menikmati merdeka belajar yang diusung Pak Nadiem Makarim.Kita harus memastikan jaringan WIFI dan listrik itu selama berapa tahun atau dana desa yang ada di setiap desa bisa dialihkan penggunannya untuk pembangunan jaringan atau WIFI, sehingga anak-anak ini tak lesu menghadapi jadwal daring dari para guru atau sekolahnya.
Belum lagi jika keluarga itu kembar dan sekolah semua. Atau bahkan anak-anak yang bersekolah dalam keluarga itu jumlahnya banyak. Bisa saja dalam satu keluarga anak yang menempuh bangku sekolah ada 2-3 orang. Bagaimana keluarga itu memenuhi kebutuhan daring anak-anaknya kalau penghasilannya saja hanya sebagai buruh tani, buruh serabutan atau sekadar kuli panggul maupun tukang parkir.
Kita bisa bayangkan, tak kurang 6 bulan, soalan ini juga belum tuntas. Kadang beberapa warga ada juga yang abai dan merasa tak takut lagi atas bahaya pandemi covid-19. Tapi para orangtua dan keluarga yang hidupnya sudah susah itu justru lebih takut jika anak-anaknya drop out alias mutung di tengah jalan gegara merasa tak kuat menahan beban daring yang sejatinya sangat kompleks. Tak cuma urusan HP dan kuota.
Pada saat lain, kita cukup bahagia mendengar dan menyaksikan arus bantuan HP dan kuota internet ke beberapa warga yang kekurangan ini. Pada saat itu juga akan muncul problema baru, seperti keterbatasan paket data/kuota internet.