Barangkali 1 minggu s/d 1 bulan tak ada persoalan, tapi menginjak bulan selanjutnya kemurungan itu lantas muncul, belum lagi ditingkah dengan sulitnya menemukan sinyal internet di ceruk pedesaan yang cukup jauh, absen bahkan nihilnya BTS operator selular tertentu. Kabar terbaru dari beberapa sekolah di Kota Semarang akan ada bantuan kuota internet 10 GB bagi setiap anak. Ini berita yang cukup menyejukkan dan layak diapresiasi tentunya.
Problematik lain pun nampaknya masih menghinggapi kita semua, saat para orang tua diminta ijin atau persetujuannya jika akan dilakukan sekolah tatap muka. Yang menjadi naif di sini adalah, ketika surat tersebut diluncurkan atau dikirim atau diantar ke rumah oleh para guru tanpa disertai penjelasan menyangkut beberapa hal.
Pertama, metode belajarnya seperti apa pada saat tatap muka di kelas. Apakah kelompok besar, kelompok kecil atau individual atau lagi mungkin model shifting? Kedua, tanpa diberikannya pemahaman orang tua mengenai berapa lama jam belajar di sekolah di saat pandemi ini. Ketiga, bagaiman sarana prasaran sekolah maupun kelas yang akan menghela kelas tatap muka.
Pilot Project
Di sini tentu menjangkau kesiapan protokol kesehatan, seperti jika perlu ada rapid tes, handsanitizer, pengukuran suku tubuh, masker, tak melakukan kontak fisik, dilarang bertukar masker, tak boleh berganti-ganti tempat duduknya, tak disarankan sharing peralatan sekolah atau bagaimana jaminan pengawasan sekolah saat anak-anak belajar di lembaganya. Juga apakah di sekolah tersedia tenaga medis yang siap selama tatap muka.
Ketika hanya sekadar ACC atau persetujuan keluarga atau orangtua siswa, justru mEmberikan kesan seolah yang paling bertanggungjawab jika ada sesuatu yang tak diharapkan akan dikembalikan pada pundak orangtua. Harapannya, memang semua baik-baik saja.
Pada aras lain, kita harus bangga pada sekolah atau guru yang melakukan home visit karena siswanya berlatar belakang keluarga berpendapatan rendah dengan melakukan pembelajaran di rumah siswa untuk menggelar kegiatan belajar mengajar.Atau terimakasih juga pada guru yang menghelat pembelajaran langsung di rumahnya dengan cara mengundang siswanya secara bergantian 1-2 kali seminggu untuk menuntaskan soalan belajar siswanya.
Sebagian warga lagi, rela sharing WIFI-nya bagi anak-anak terdekat untuk menunaikan belajar daring. Jika semua kepala desa atau desa bersepakat memberdayakan masyarakat, termasuk membantu anak-anak dalam belajar daring, praktis sudah tak ada masalah. Artinya, membantu meringankan beban pemerintah yang sedang berjuang bersama seluruh masyarakat membebaskan dari agresi covid-19.
Kita sepakat dengan Gubernur Jateng, Ganjar Pranowo yang saat ini sedang melakukan pilot projek kegiatan belajar mengajar tatap muka sesuai kebiasaan baru pada 6 SMA/SMK Negeri di Jawa Tengah. Ini dilakukan dengan sangat hati-hati, SOP tatap muka kita terapkan dengan penuh kedisiplinan. Kita tentu tidak ingin belajar mengajar tatap muka ini malah menjadi cluster baru yang memakan korban
Mari julurkan kebaikan kita, sorongkan harta kita, ulurkan sedikit rejeki kita untuk membalik kemurungan menjadi kegembiraan anak-anak kita. Semua itu tak bisa berjalan sendiri, kita perlu keroyokan, gotong royong menyelamatkan masa depan anak-anak kita, generasi bangsa percaya diri menganyam dan menjemput masa depannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H