Wayang-wayangan
Barangkali boleh dijajaki terobosan, kemungkinan dunia pewayangan maupun catatan harian seorang Dalang yang diangkat ke dalam film layar lebar. Kita tidak perlu malu belajar dari Kisah Soekarno, Soegijo, Achmad Dahlan maupun  kelas film dokumenter ala Eagle Award. rasanya  kita juga perlu menimba ilmu dari pakeliran ala wayang kampung sebelah (sudah closing) di salah satu TV swasta di negeri ini yang justru banyak diminati kaum muda. Atau satu lagi, di tengah pandemi menggelar pakeliran wayang secara virtual atau digital, seperti dilakukan  Ki Dalang Seno Nugroho dari Bantul  Jogyakarta.
Eman rasanya kalau wayang kita ini mengungsi di negeri sendiri, karena Solo, Jogyakarta, punya ISI, Taman Budaya, gedung yang memadai, seperti gedung Ki Nartosabdo, Sobokarti maupun Sriwedari. Bahkan Memiliki Museum Wayang pula. Sederet Dalang kondang juga bermukim di sini, sebut saja Anom Suroto, Manteb Sudarsono, Sugito Purbocarito, Enthus Susmono, Warseno Slenk, Joko Edan, Purbo Asmoro, dll -- merupakan dalang senior, sedangkan kepada dalang muda kita bangga, seperti Bayu Aji atau Sindhunata, bahkan dalang wanita kesohor, seperti Suparsih, Giyah Supanggah, Sofiah, Cempluk Suprihastutik, Sri Wulan Panjang Mas dan lainnya.
Maka, penting kita optimalkan pakeliran wayang sebagai media memberdayakan masyarakat melalui nilai-nilai integritas, gotong royong dan etos kerja maupun nilai keutamaan (key value) lainnya. Â Untuk itu, barangkali segitiga emas (pemerintah, masyarakat dan industri maupun kampus) perlu berembug, bermusyawarah medekatkan wayang ke dalam jantung warga. Bukan wayang-wayangan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H