Mohon tunggu...
Marjono Eswe
Marjono Eswe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Ketik Biasa
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis Bercahayalah!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pandemi dan Pakeliran

22 Juli 2020   17:10 Diperbarui: 22 Juli 2020   17:05 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kita itu kaya. Punya beragam wayang: ada wayang kulit, golek, potehi, suket, kertas/kardus, klitik (karucil), beber maupun wong. Lumbung pementasan wayang kulit, khususnya kita bisa berkunjung ke Solo, Jogja, Semarang, dan daerah lainnya.

Pakeliran wayang kulit, khususnya di tengah masyarakat semakin pudar, hal ini terindikasi dari sepinya penonton dalam setiap pementasannya. Gedung Ki Nartosabdo, Cagar Budaya Sobokarti mapun Teater Lingkar mungkin menjadi saksi atas keringnya minat atau animo masyarakat terhadap pakeliran wayang kulit di poros pulau Jawa ini.

Kondisi demikian, kala disandingkan panggung seni pertujukan lain yang cukup banyak menyedot perhatian penonton, yakni pertujukkan live musik (dangdut, pop, rock, jazz), film, sinetron maupun seni teater. Apalagi musim pandemi sekarang ini, pergelaran seluruh seni budaya belum dibuka alias masih dibatasi untuk menekan penyebaran virus covid-19 atas kerumunan dan kontak fisik lainnya.

Terdapat anggapan, menghidupkan seni wayang bakal menghabiskan anggaran, karena meskipun budaya wayang lahir sejak nenek moyang tetapi sampai kini nasibnya tidak beranjak membaik, hanya sosok "wayang," yang bergegas dan gemetar di pakeliran. Dunia pewayangan kerap dipandang hanya sebatas seni pinggiran dan berimpresi murahan. Hal ini mungkin masyarakat lebih melihat wayang banyak ditampilkan di wilayah pinggir, yaitu pedesaan dan bahkan tidak pernah ada tarifnya jika (hanya) menonton.

Tafsir di atas tidak bisa disalahkan, karena kita kembali kepada para role model yang di depan.  Konsep keteladan bapak kepada anak sangat kental dalam masyarakat Jawa, apalagi di Semarang. Agenda merti desa, perkawinan atau pesta supitan pun sudah sepi dari tanggapan wayang (kulit), kecuali bagi warga yang sugih mblegedhu. Padahal pertunjukan wayang sebagai bagian ihtiar melestarikan dan mengembangkan heritage budaya yang adiluhung ini, sehingga mampu memberikan entry point valensi konstruktif dalam menyelesaikan setiap permasalahan pembangunan.

Terbit pelajaran berharga terbit dari dan oleh seni wayang kulit, seperti falasafah hidup, ajaran atau tuntunan kesalehan serta kearifan lokal, di samping itu media wayang kulit cukup strategis sebagai corong pembangunan. Melalui wayang kita bisa mengintrodusir dan menyosialisasikan berbagai program pemerintah, misalnya penanggulangan kemiskinan, menurunkan angka kematian ibu dan bayi, memberdayakan masyarakat dalam bencana banjir atau rob maupun antisipasi krisis air bersih di pedesaan yang berbukit gamping yang terjal maupun kampanye atau edukasi protokol kesehatan pencegahan covid-19..

Minusnya pengunjung atau rendahnya animo masyarakat menghadiri dan menikmati pertunjukan wayang kulit di beberapa kota, karena, mulai bahkan sudah tergerusnya bahasa jawa kita yang mungkin saja kalah pamor dengan bahasa indonesia atau bahasa asing lainnya. Rata-rata pertunjukan wayang kulit berbahasa jawa dan anak-anak muda merasa sulit untuk mengikuti alur itu dan waktunya terlampau lama, bahkan hingga dini hari. Sedangkan esok paginya mereka harus mengikuti pelajaran atau kuliah maupun bekerja. Padahal nikmatnya wayang jika kita menyantapnya secara utuh bukan sporadis.

Selanjutnya, penyokong kedua, yakni wayang kulit belum menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Dahulu pemerintah acap menggelar petunjukkan wayang sejak pusat hingga level desa, sekarang barangkali bisa dilihat berapa frekwensi wayang kulit menjelma dalam pakeliran pada acara peresmian gedung, pembukaan acara tertentu. Nampaknya, kita juga banyak yang memuja kreatifitas kelompok band anak muda tertentu (barat dan domestik) atau hanya sekadar iringan solo keyboard yang lebih banyak menggema tatkala sesi pembuka dan penutup satu event dihelat.

Penyandera lainnya adalah belum optimalnya peran fungsi kelembagaan seni budaya di daerah. Katakanlah, PEPADI, Dewan Kesenian Kabupaten/Kota, Perguruan Tinggai, Institusi pemerintah yang menangani bidang kesenian maupun pengelola Museum Wayang dalam melakukan inovasi dalam pewayangan ini sehingga masyarakat "gandrung" dan hormat kepada dunia wayang.

Lompatan sederhana bisa dilakukan agar warisan budaya wayang tidak terpinggirkan dan menjadi "cinta abadi" masyarakat, diantaranya memasukkan seni budaya wayang kedalam pendidikan meskipun pada konten dan konteks lokal. Perhelatan wayang di mall barangkali juga perlu dilakukan sebagai upaya introdusir seni itu kepada kaum muda dan masyarakat urban umumnya.

Selain itu, juga memasukkan wayang dalam perangkat gadget sehingga mudah dijangkau anak muda. Hal ini pernah dilakukan mahasiswa Unnes dengan E-Wayang dan pertunjukkan wayang tanpa dalang beberapa tahun lalu di Sobokarti Semarang.

Wayang-wayangan

Barangkali boleh dijajaki terobosan, kemungkinan dunia pewayangan maupun catatan harian seorang Dalang yang diangkat ke dalam film layar lebar. Kita tidak perlu malu belajar dari Kisah Soekarno, Soegijo, Achmad Dahlan maupun  kelas film dokumenter ala Eagle Award. rasanya  kita juga perlu menimba ilmu dari pakeliran ala wayang kampung sebelah (sudah closing) di salah satu TV swasta di negeri ini yang justru banyak diminati kaum muda. Atau satu lagi, di tengah pandemi menggelar pakeliran wayang secara virtual atau digital, seperti dilakukan  Ki Dalang Seno Nugroho dari Bantul  Jogyakarta.

Eman rasanya kalau wayang kita ini mengungsi di negeri sendiri, karena Solo, Jogyakarta, punya ISI, Taman Budaya, gedung yang memadai, seperti gedung Ki Nartosabdo, Sobokarti maupun Sriwedari. Bahkan Memiliki Museum Wayang pula. Sederet Dalang kondang juga bermukim di sini, sebut saja Anom Suroto, Manteb Sudarsono, Sugito Purbocarito, Enthus Susmono, Warseno Slenk, Joko Edan, Purbo Asmoro, dll -- merupakan dalang senior, sedangkan kepada dalang muda kita bangga, seperti Bayu Aji atau Sindhunata, bahkan dalang wanita kesohor, seperti Suparsih, Giyah Supanggah, Sofiah, Cempluk Suprihastutik, Sri Wulan Panjang Mas dan lainnya.

Maka, penting kita optimalkan pakeliran wayang sebagai media memberdayakan masyarakat melalui nilai-nilai integritas, gotong royong dan etos kerja maupun nilai keutamaan (key value) lainnya.  Untuk itu, barangkali segitiga emas (pemerintah, masyarakat dan industri maupun kampus) perlu berembug, bermusyawarah medekatkan wayang ke dalam jantung warga. Bukan wayang-wayangan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun