Tentu saja, SDD selain menyumbang ke-susastra-an kita, Dia telah menjadi sosok yang berbudi baik menawarkan puisi, cerpen maupun novelnya tak lagi menjomblo (tanpa pasangan). Sekurangnya, Ia telah menyelamatkan mereka dari kesendiriannya. Padahal manusia diciptakan berpasang-pasangan.
Romantisme rupanya menjadi basis kehidupan manusia dan kerap menjelma dalam sapuan puisi dan karya sastra lainnya. Meski kita masih terbata menata aksara dan mengeja menjadi kalimat yang bermakna sekadar picisan pun tak mengapa.Â
Karena sebuah karya, kreasi dan inovasi bermula dari belajar. Saat jatuh pun, sesungguhnya kita sedang belajar bangun.
Membaca SDD serasa kita merayakan puisi penuh keabadian. Karya-karya romantismenya membumi. Kita berada di rumah yang sama yang bernama Indonesia, tapi tentu punya kenangan yang berbeda tentang SDD.Â
Topi golf, syal kotak-kotak, dan kacamata minus juga wajah tirus itu telah lelap selama-lamanya, tapi karya-karyanya tak pernah lelap apalagi senyap di bumi pertiwi. Kami akan meneruskan langkahmu. Sugeng Tindak Bopo Sapardi Djoko Damono.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI