Nampaknya, masih banyak puisi romantis lain yang, seperti "Pada Suatu Hari Nanti," "Hanya," "Sajak-sajak Kecil Tentang Cinta," "Menjenguk Wajah di Kolam," dan lain-lainnya.Â
Beberapa kumpulan cerpen yang pernah diterbitkannya, yaitu Pengarang Telah Mati (2002), Membunuh Orang Gila (2003), Sepasang Sepatu Tua (2019), dan Menghardik Gerimis (2019).
Dia juga menulis novel yang dikembangkan dari puisi yang digubahnya. Yang paling populer adalah novel Hujan Bulan Juni yang ditulisnya pada tahun 2015 lalu. Menyusul kesuksesan novel tersebut, sekuelnya berjudul Pingkan Melipat Jarak (2017).
Atas konsistensinya dalam menghidupi jagat sastra, SDD mendapatkan penghargaan domestik maupun luar negeri. Tribunnews (19/7/2020) melansir, pada 2018 lalu, SDD mendapat penghargaan Anugerah Buku ASEAN (ASEAN Book Award) untuk bukunya yang berjudul Hujan Bulan Juni dan Yang Fana Adalah Waktu.
Pada 1986, Sapardi juga meraih Hadiah Sastra ASEAN (SEA Write Award) dari Thailand. Anugerah Puisi Putra dari Malaysia atas bukunya yang berjudul "Sihir Hujan dari Malaysia" pada 1983.Â
Pakar bidang sastra yang memulai karya awalnya berjudul "Duka-Mu Abadi" ini juga pernah mendapat Anugerah Budaya (Cultural Award) dari Australia pada 1978.
Kumpulan sajak yang bertajuk Perahu Kertas dan mendapatkan penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta. Kemudian, sajak lainnya, yakni bertitel Sihir Hujan (1984) mendapatkan Anugerah Puisi Poetra Malaysia. Hebatnya, puisi tersebut ditulis ketika dirinya sedang jatuh sakit.
Sampai sekarang kita mengenal sosok-sosok romantis di era perjuangan mengusir kolonial, ada Sukarno Presiden RI-I, dia begitu romantis dalam surat-suratnya kepada sang istri, begitu juga tokoh pemuda Sutomo tak kalah romantisnya dalam bersurat kepada istrinya.
Namun ketika mencoba obat mujarab (panasea) sajak-sajak cinta-romantis yang digelar oleh SDD membawanya mulus menjalin kisah, melepas janji sepasang pria-wanita bahkan hingga hinggap ke altar pernikahan. Namun, sekali lagi SDD bukan cuma itu.
Tak Pernah Senyap