"Membaca SDD serasa kita merayakan puisi penuh keabadian. Karya-karya romantismenya membumi. Kita berada di rumah yang sama yang bernama Indonesia, tapi tentu punya kenangan yang berbeda tentang SDD."Â
Siapa yang tak mengenal Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono (SDD) yang asli dari Kota Solo 80 tahun silam. Langit Jakarta meredup, SDD meninggalkan kita semua tanggal 19 Juli 2020 lalu, namun dunia sastra kita tak pernah meredup apalagi mati, tapi justru semakin bertaji.Â
Dia merupakan influencer dalam kesusastraan negeri ini. Tak sedikit puisi, cerpen maupun novel lahir terbit dari tangan-tangan halusnya. Utamanya romantisme acap mewarnai goresan-goresan pena atau tuts laptopnya yang tersebar di pelbagai media domestik dan luar negeri, online maupun offline.Â
SDD telah menjadi sosok legendaris bagi siapapun, ia melampaui generasi. Karena tak anak tua, kaum muda hingga siswa juga mahasiswa taka sing lagi di telinga mereka.
Karya-karya monumental penyair yang suka bertopi golf itu acap menjadi referensi percintaan kaum muda. Coba kita simak "Hujan Bulan Juni," dari sanga maestro ini.Â
Tak ada yang lebih tabah, Dari hujan bulan Juni, Dirahasiakannya rintik rindunya, Kepada pohon berbunga itu. Tak ada yang lebih bijak, Dari hujan bulan Juni, Dihapuskannya jejak-jejak kakinya, Yang ragu-ragu di jalan itu. Tak ada yang lebih arif, Dari hujan bulan Juni, Dibiarkannya yang tak terucapkan, Diserap akar pohon bunga itu.
Saking meluas dan digandrungi banyak kalangan, sajak ini sudah menjadi komoditas film di negeri ini.
Kita juga bisa memunguti sajak, "Aku Ingin."Â
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan kata yang tak sempat diucapkan, kayu kepada api yang menjadikannya abu, Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan isyarat yang tak sempat disampaikan, awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.
Puisi ini bahkan selain menjadi bisnis buku, ia sudah beralih wujud menjadi lagu maupun musikalisasi puisi.
Hingga hari ini, kita pun masih mengagumi dan apresiasi padanya. Sebentar waktu boleh kita menyelinap ke dalam puisi, "Yang Fana Adalah Waktu." Kita abadi: memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga sampai pada suatu hari kita lupa untuk apa. "Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?" tanyamu. Kita abadi.Â
Nampaknya, masih banyak puisi romantis lain yang, seperti "Pada Suatu Hari Nanti," "Hanya," "Sajak-sajak Kecil Tentang Cinta," "Menjenguk Wajah di Kolam," dan lain-lainnya.Â
Beberapa kumpulan cerpen yang pernah diterbitkannya, yaitu Pengarang Telah Mati (2002), Membunuh Orang Gila (2003), Sepasang Sepatu Tua (2019), dan Menghardik Gerimis (2019).
Dia juga menulis novel yang dikembangkan dari puisi yang digubahnya. Yang paling populer adalah novel Hujan Bulan Juni yang ditulisnya pada tahun 2015 lalu. Menyusul kesuksesan novel tersebut, sekuelnya berjudul Pingkan Melipat Jarak (2017).
Atas konsistensinya dalam menghidupi jagat sastra, SDD mendapatkan penghargaan domestik maupun luar negeri. Tribunnews (19/7/2020) melansir, pada 2018 lalu, SDD mendapat penghargaan Anugerah Buku ASEAN (ASEAN Book Award) untuk bukunya yang berjudul Hujan Bulan Juni dan Yang Fana Adalah Waktu.
Pada 1986, Sapardi juga meraih Hadiah Sastra ASEAN (SEA Write Award) dari Thailand. Anugerah Puisi Putra dari Malaysia atas bukunya yang berjudul "Sihir Hujan dari Malaysia" pada 1983.Â
Pakar bidang sastra yang memulai karya awalnya berjudul "Duka-Mu Abadi" ini juga pernah mendapat Anugerah Budaya (Cultural Award) dari Australia pada 1978.
Kumpulan sajak yang bertajuk Perahu Kertas dan mendapatkan penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta. Kemudian, sajak lainnya, yakni bertitel Sihir Hujan (1984) mendapatkan Anugerah Puisi Poetra Malaysia. Hebatnya, puisi tersebut ditulis ketika dirinya sedang jatuh sakit.
Sampai sekarang kita mengenal sosok-sosok romantis di era perjuangan mengusir kolonial, ada Sukarno Presiden RI-I, dia begitu romantis dalam surat-suratnya kepada sang istri, begitu juga tokoh pemuda Sutomo tak kalah romantisnya dalam bersurat kepada istrinya.
Namun ketika mencoba obat mujarab (panasea) sajak-sajak cinta-romantis yang digelar oleh SDD membawanya mulus menjalin kisah, melepas janji sepasang pria-wanita bahkan hingga hinggap ke altar pernikahan. Namun, sekali lagi SDD bukan cuma itu.
Tak Pernah Senyap
Tentu saja, SDD selain menyumbang ke-susastra-an kita, Dia telah menjadi sosok yang berbudi baik menawarkan puisi, cerpen maupun novelnya tak lagi menjomblo (tanpa pasangan). Sekurangnya, Ia telah menyelamatkan mereka dari kesendiriannya. Padahal manusia diciptakan berpasang-pasangan.
Romantisme rupanya menjadi basis kehidupan manusia dan kerap menjelma dalam sapuan puisi dan karya sastra lainnya. Meski kita masih terbata menata aksara dan mengeja menjadi kalimat yang bermakna sekadar picisan pun tak mengapa.Â
Karena sebuah karya, kreasi dan inovasi bermula dari belajar. Saat jatuh pun, sesungguhnya kita sedang belajar bangun.
Membaca SDD serasa kita merayakan puisi penuh keabadian. Karya-karya romantismenya membumi. Kita berada di rumah yang sama yang bernama Indonesia, tapi tentu punya kenangan yang berbeda tentang SDD.Â
Topi golf, syal kotak-kotak, dan kacamata minus juga wajah tirus itu telah lelap selama-lamanya, tapi karya-karyanya tak pernah lelap apalagi senyap di bumi pertiwi. Kami akan meneruskan langkahmu. Sugeng Tindak Bopo Sapardi Djoko Damono.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H