Pemandangan di pojok baca maupun perpustakaan kantor pemerintah mungkin bisa dibilang terlampau sepi jika tak bisa disebut senyap. Hanya 1-2 aktifitas ASN yang enjoy membaca atau menulis pada jam istirahat di kedua titik itu.
Mengapa para ASN kita enggan atau belum berminat memanfaatkan bacaan seperti majalah, buku, koran atau media lainnya. Kecenderungannya, mereka lebih suka berselancar di dunia maya di komputer atau gadgetnya karena lebih menarik dengan berbagai ilustrasi video, film dan game lainnya.
Komentar miring biasa datang dari mereka, membaca dan menulis itu hanya dilakukan orang-orang yang tak punya pekerjaan, hanya membuang-buang waktu atau mereka yang pemalas saja. Padahal dengan melakukan keduanya, akan mengasah kepekaan sosial dan mempertajam intelektual kita.
Ignas Kleden pernah mengatakan, membaca-menulis merupakan kendaraan menuju perbaikan peradaban. Melalui gerakan atau budaya literasi kita bisa mengubah pola pikir dan budaya masyarakat pada perbaikan hidup.Â
Senada, Yasraf Amir Piliang menyebut menulis itu seperti merayu. Tulisan harus mampu menarik pihak lain dan menulis juga laksana menunggang arah angin. Karena menulis merupakan eksplorasi ide, membangun pasar gagasan mungkin mempengaruhi pengambilan kebijakan.
Kita selayaknya mengangkat hormat kepada Ridwan Sururi dari desa Serang, Purbalingga dengan perpustakaan kuda kelilingnya "Kudapustaka," yang menyediakan buku atau bacaan gratis pada sekolah dan warga desa miskin secara periodik 3 kali seminggu.
Kita juga patut bangga dan acung jempol terhadap Walikota Surakarta yang mengalokasikan tak kurang Rp4 milyar APBD nya untuk membangun patung Sukarno sedang duduk dan membaca di area Manahan, Solo. Harapannya, masyarakat mengikuti jejak Bung Karno yang gemar membaca buku.
Ada beberapa penyebab lesunya ASN mengulik literasi di kalangan mereka, seperti budaya akademik belum seutuhnya menjelma pada gedung-gedung bertingkat, ber-AC. Momentum diskusi, brainstorming, kajian internal secara tupoksional membedah isu-isu aktual masyarakat penting didorong dan gerakkan menjadi menu harian di sini. Kemudian, jarang bahkan absennya sosok teladan yang suka membaca dan menulis di institusi tersebut. Harus diakui jika elit organisasi belum memberikan bukti nampaknya akan sulit menggemukkan seruan itu.
Sebentar kita menengok ke belakang, ketika kita duduk di bangku sekolah dasar para guru kita acap menyerukan agar para muridnya sering membaca dan suka menulis, tetapi dia sendiri tak pernah menghasilkan barang satu tulisan fiksi atau ilmiah atau sekadar tulisan jurnalistik di media maupun jurnal. Barangkali itu memicu ASN memberikan alasan pembenar akan malasnya masuk pada wilayah literasi.
Dari uraian singkat di atas, kita dapat berikhtiar untuk membudayakan literasi di kalangan ASN, diantaranya menggelar forum diskusi dan kompetisi penulisan , dll. Dalam hal ini organisasi Korpri bisa menginisiasi sekaligus pioneer-nya. Jalan lain, yakni mendorong pemerintah untuk membuat regulasi yang mewajibkan setiap ASN membuat karya ilmiah atau tulisan populer di media sebagai upaya melatih kemampuan literasi di tingkat lokal.
Membalikkan paradigma yang selama ini salah kaprah, membaca atau menulis hanyalah menghabiskan waktu harus bergeser menjadi menghasilkan sesuatu. Melalui kegiatan literasi ASN bisa mendapat tambahan hidden income. Selain itu anggaran, koleksi dan fasilitas ruang baca atau perpustakaan juga perlu diinovasi. Jangan semua permasalahan diserahkan pada mbah Google.