Mohon tunggu...
Marjono Eswe
Marjono Eswe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Ketik Biasa
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis Bercahayalah!

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Budaya Coffe dan Literasi ASN

8 Juli 2020   17:07 Diperbarui: 8 Juli 2020   17:05 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Pemandangan di pojok baca maupun perpustakaan kantor pemerintah mungkin bisa dibilang terlampau sepi jika tak bisa disebut senyap. Hanya 1-2 aktifitas ASN yang enjoy membaca atau menulis pada jam istirahat di kedua titik itu.

Mengapa para ASN kita enggan atau belum berminat memanfaatkan bacaan seperti majalah, buku, koran atau media lainnya. Kecenderungannya, mereka lebih suka berselancar di dunia maya di komputer atau gadgetnya karena lebih menarik dengan berbagai ilustrasi video, film dan game lainnya.

Komentar miring biasa datang dari mereka, membaca dan menulis itu hanya dilakukan orang-orang yang tak punya pekerjaan, hanya membuang-buang waktu atau mereka yang pemalas saja. Padahal dengan melakukan keduanya, akan mengasah kepekaan sosial dan mempertajam intelektual kita.

Ignas Kleden pernah mengatakan, membaca-menulis merupakan kendaraan menuju perbaikan peradaban. Melalui gerakan atau budaya literasi kita bisa mengubah pola pikir dan budaya masyarakat pada perbaikan hidup. 

Senada, Yasraf Amir Piliang menyebut menulis itu seperti merayu. Tulisan harus mampu menarik pihak lain dan menulis juga laksana menunggang arah angin. Karena menulis merupakan eksplorasi ide, membangun pasar gagasan mungkin mempengaruhi pengambilan kebijakan.

Kita selayaknya mengangkat hormat kepada Ridwan Sururi dari desa Serang, Purbalingga dengan perpustakaan kuda kelilingnya "Kudapustaka," yang menyediakan buku atau bacaan gratis pada sekolah dan warga desa miskin secara periodik 3 kali seminggu.

Kita juga patut bangga dan acung jempol terhadap Walikota Surakarta yang mengalokasikan tak kurang Rp4 milyar APBD nya untuk membangun patung Sukarno sedang duduk dan membaca di area Manahan, Solo. Harapannya, masyarakat mengikuti jejak Bung Karno yang gemar membaca buku.

Ada beberapa penyebab lesunya ASN mengulik literasi di kalangan mereka, seperti budaya akademik belum seutuhnya menjelma pada gedung-gedung bertingkat, ber-AC. Momentum diskusi, brainstorming, kajian internal secara tupoksional membedah isu-isu aktual masyarakat penting didorong dan gerakkan menjadi menu harian di sini. Kemudian, jarang bahkan absennya sosok teladan yang suka membaca dan menulis di institusi tersebut. Harus diakui jika elit organisasi belum memberikan bukti nampaknya akan sulit menggemukkan seruan itu.

Sebentar kita menengok ke belakang, ketika kita duduk di bangku sekolah dasar para guru kita acap menyerukan agar para muridnya sering membaca dan suka menulis, tetapi dia sendiri tak pernah menghasilkan barang satu tulisan fiksi atau ilmiah atau sekadar tulisan jurnalistik di media maupun jurnal. Barangkali itu memicu ASN memberikan alasan pembenar akan malasnya masuk pada wilayah literasi.

Dari uraian singkat di atas, kita dapat berikhtiar untuk membudayakan literasi di kalangan ASN, diantaranya menggelar forum diskusi dan kompetisi penulisan , dll. Dalam hal ini organisasi Korpri bisa menginisiasi sekaligus pioneer-nya. Jalan lain, yakni mendorong pemerintah untuk membuat regulasi yang mewajibkan setiap ASN membuat karya ilmiah atau tulisan populer di media sebagai upaya melatih kemampuan literasi di tingkat lokal.

Membalikkan paradigma yang selama ini salah kaprah, membaca atau menulis hanyalah menghabiskan waktu harus bergeser menjadi menghasilkan sesuatu. Melalui kegiatan literasi ASN bisa mendapat tambahan hidden income. Selain itu anggaran, koleksi dan fasilitas ruang baca atau perpustakaan juga perlu diinovasi. Jangan semua permasalahan diserahkan pada mbah Google.

One Man One Book

Kampanye literasi secara masif melalui penyebaran virus dan vaksin literasi bagi ASN masih relevan dilakukan agar mereka tidak menjadi chauvinist sempit, tetapi menuju sosok yang inklusif terhadap lalulintas pendapat dan informasi lain.

Rute lain bisa dilakukan dengan model one man one book atau mewajibkan satu orang ASN memberikan sumbangan atau bantuan satu buku bagi institusinya untuk keperluan kenaikan pangkat atau mutasi ASN hingga purna. Model seperti ini dalam hemat penulis bahwa ASN tidak akan jatuh miskin, tetapi sebaliknya bakal mengkayakan, karena secara tidak tidak langsung menaburkan spirit pilantrophy, semangat untuk terus berbagi.

Jalur lainnya lagi yang dapat ditempuh adalah dengan memberikan hadiah buku kepada para staf atau crew institusi itu dengan buku pada hari ulang tahunnya. Bukan setumpuk uang atau barang lux. Karena dengan membaca buku kita akan mencecap makna jariyahnya.

Jika sekarang sedang booming Kafe, tak ada salahnya Kantin Kantor disulap dengan sensasi "Kafe Buku." Di sana menyediakan aneka makan minum ataupun khusus frasa kopi dengan bejibun varian buku yang atraktif untuk sedikit memompa budaya literasi ASN. Melihat upaya sederhana itu, Bung Karno akan bersenyum bangga, seandainya dia masih hidup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun