Instusi pendidikan dan perangkatnya tak sedikit menuding mereka ini biang masalah dan kontributor kegagalan pendidikan. Tapi semestinya, menjadi media mawas diri bagi lembaga pendidikan dan civitas akademiknya untuk tetap merawat mutu pendidikan tanpa mengkambinghitamkan anak-anak yang bernasib kurang baik ini.
Mungkin kita bisa bernafas lega, dengan kartu indonesia pintar (KIP), tetap berlakunya kuota miskin pada setiap sekolah, kemudian beberapa pondok pesantren yang membuka pintu seluas-luasnya bagi mereka tanpa syarat untuk mereka tetap bisa sekolah sekaligus mengaji.
Mungkin juga anak-anak miskin dan dan tak cerdas ini bisa sedikit bersenyum dan tertolong lewat sistem zonasi tahun ini meskipun dengan segenap beban psikologis yang terlampau berat, dll.
Harapan kita, ke depan akan terbit semacam beasiswa, BOS daerah bagi anak-anak kurang cerdas dan miskin ini, atau semacam program khusus atau apapun sebutannya bagi mereka agar tetap mendapatkan hak pendidikannya secara lanjut.
Jangan sampai mereka ini DO gara-gara tak naik kelas berkali-kali apalagi TO sekolah hanya karena urusan tidak mampu membayar iuran/sumbangan sekolah. Save Our Souls (SOS) mereka. Jika tidak, maka lingkaran setan sudah mengintai, kebodohan dan kemiskinan yang berkubang.
Sekali lagi, soalan ini bagian problema negeri dan menjadi saham seluruh stakeholders bertanggung jawab menyelesaikan PR bangsa ini. Jangan sampai anak-anak powerless ini berlanjut menjadi hopeless.
Kita ingin, anak-anak kurang cerdas dan miskin ini tetap genial (riang dan berani) mampu mengganti nasibnya, mengubah dunia. Bukan mengganti takdirnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H