Hari-hari ini, para orangtua sibuk mengurus sekolah anaknya, dan mereka membayangkan, nanti ada yang bersenyum kala anaknya diterima di sekolah impiannya, ada yang riang dapat sekolah dekat rumah, ada yang bangga beroleh sekolah dengan jatah kuota miskinnya,
Ada pula yang bersukacita datang jauh-jauh dari luar kota atau daerah dan lolos pada sekolah favorit meski porsinya kecil. Tapi ada pula anak yang cemberut, sedih bahkan menangis sejadinya lantaran ditolak di sekolah terdekat apalagi favoritnya.
Pengalaman itu menggejala di mana-mana, tak desa juga di kota. Kalau dulu ada gerakan orang tua  asuh untuk membantu biaya pendidikan bagi anak dari keluarga miskin, kemudian ada beasiswa bagi anak cerdas dari keluarga kurang mampu.
Itu semua menandai jika masyarakat peduli dan punya senses of crisis dalam bidang pendidikan. Pada ranah-ranah demikian nampaknya masih dalam konteks yang biasa.
Dalam dunia pendidikan, sadar atau tidak kita pernah mengenal kategori anak yang cerdas dan orangtua tak miskin, lalu ada anak cerdas tapi orang tua miskin, orangtua mampu tapi anak kurang cerdas, kemudian satu lagi anak kurang cerdas dan keadaan orangtua/keluarga miskin .
Untuk klasifikasi satu, jelas tak ada masalah. Jalan keluar untuk klasifikasi kedua, yakni beasiswa, lantas solusi bagi kelompok ketiga, sekurangnya anak masih mau bersekolah tetap saja banyak sekolah yang mau terima. Kemudian soalan pelik muncul pada soalan anak-anak yang tergulung pada kelompok terakhir, tak cerdas dan miskin.
Membantu meringankan beban biaya pendidikan bagi anak cerdas miskin itu biasa, dan kondisi demikian akan menjelma menjadi upaya yang luar biasa ketika masyarakat secara sadar sepenuhnya membantu kalangan anak-anak yang kurang cerdas berlatarbelakang dari keluarga miskin.
Karena, segmen anak-anak yang disebut terakhir itu di segenap lapisan sekolah bermunculan. Nasib anak-anak yang sedemikian kurang cerdas dan miskin ini selama ini barangkali belum berbalik.Â
Artinya, mereka tetap saja terpinggirkan, terabai, terhina bahkan selalu terlemahkan, baik di kelas-kelas sekolah maupun kelas sosial. Sekurangnya, kekerasan verbal acap merenggutnya.
Acap anak-anak yang bernasib seperti itu merasa senyap atas penguatan dukungan baik secara moral dan material. Mereka lebih banyak dipenggal ketika menderas cita-citanya, saat mereka menyampaikan sekadar usul/opini maupun manakala anak-anak ini berbaur dengan anak-anak lain yang menurut ukuran masyarakat jauh lebih cerdas dan beda level.
Mereka tak jarang memanen kemurungan masa depannya, karena mereka dianggap tidak punya dayajual, miskin harapan juga hanya membebani kawan, keluarga, masyarakat dan (mungkin) pemerintah. Inilah yang harus kita pikirkan dan carikan solusinya.
Bagaimanapun juga, anak-anak yang kurang cerdas dan melarat ini juga bagian dari anak-anak Indonesia. Jika kita hanya memikirkan, mendekat, menggaet dan menghidupi anak-anak cerdas, sudah terlampau banyak yang mengurusi.
Di negeri ini bejubel yayasan, komunitas, institusi dan masifnya program mencerdaskan bangsa, tapi nampaknya belum bahkan nihil yang menyentuh kelompok anak-anak kurang cerdas dan miskin ini.
Pada level desa, pemda dan parpol sepertinya persoalan tersebut belum menjadi prioritas dalam program pembangunannya. Pada aras LSM, LBH pun Komite Sekolah kurang riuh dalam soalan satu ini.Â
Coba saja kita buka lembar RKPD pun RPJMD level desa, mungkin kita tak pernah bisa dapatkan alokasi dana untuk menjamin keberlangsungan pendidikan bagi anak-anak "minus," ini.
Bisa saja, dalam perhitungan mereka, anak-anak yang subordinat ini tidak bakal ada untungnya. Sudah nggak cerdas, miskin lagi. Tapi, lagi-lagi, siapa lagi yang bakal memikirkan kelompok ini jika semua lini menolaknya dan mengabaikannya.
Bukankah mereka juga manusia yang sudah berusaha maksimal, namun keadaan juga belum berubah. Tak ada orangtua atau keluarga yang menginginkan anaknya tak cerdas dan miskin. Kaukus pilantropis juga seperti enggan berbuat lebih untuk mengentaskan mereka.Â
Lantas, apa bedanya kita dengan mereka. Sudah seharusnya kita lebih banyak kesempatan dan kemampuan untuk menganulir stigma mereka.
Program-program humanis berjuluk, semacam dompet duafa, dompet peduli, dompet kemanusiaan rasanya juga masih sama saja, tetap saja menyortir bantuan-bantuannya tanpa menyasar mereka. Sungguh, mereka ini sudah jatuh tertimpa tangga.
Mawas Diri
Belum lagi keluarga atau orang tua dari kelompok anak-anak ini yang mungkin kadang kesilap dari daftar penerima bantuan pengentasan kemiskinan dana tau bantuan sembako pun BLT covid-19.Â
Hampir setali tiga uang, pihak akademisi dengan para profesornya pun turut menyokong mereka ke lembah ketidakberdayaannya, karena secara formal maupun kerelawanannya secara personal maupun kolektif absen menyeka terjalnya hidup mereka. Â Â Â Â Â
Instusi pendidikan dan perangkatnya tak sedikit menuding mereka ini biang masalah dan kontributor kegagalan pendidikan. Tapi semestinya, menjadi media mawas diri bagi lembaga pendidikan dan civitas akademiknya untuk tetap merawat mutu pendidikan tanpa mengkambinghitamkan anak-anak yang bernasib kurang baik ini.
Mungkin kita bisa bernafas lega, dengan kartu indonesia pintar (KIP), tetap berlakunya kuota miskin pada setiap sekolah, kemudian beberapa pondok pesantren yang membuka pintu seluas-luasnya bagi mereka tanpa syarat untuk mereka tetap bisa sekolah sekaligus mengaji.
Mungkin juga anak-anak miskin dan dan tak cerdas ini bisa sedikit bersenyum dan tertolong lewat sistem zonasi tahun ini meskipun dengan segenap beban psikologis yang terlampau berat, dll.
Harapan kita, ke depan akan terbit semacam beasiswa, BOS daerah bagi anak-anak kurang cerdas dan miskin ini, atau semacam program khusus atau apapun sebutannya bagi mereka agar tetap mendapatkan hak pendidikannya secara lanjut.
Jangan sampai mereka ini DO gara-gara tak naik kelas berkali-kali apalagi TO sekolah hanya karena urusan tidak mampu membayar iuran/sumbangan sekolah. Save Our Souls (SOS) mereka. Jika tidak, maka lingkaran setan sudah mengintai, kebodohan dan kemiskinan yang berkubang.
Sekali lagi, soalan ini bagian problema negeri dan menjadi saham seluruh stakeholders bertanggung jawab menyelesaikan PR bangsa ini. Jangan sampai anak-anak powerless ini berlanjut menjadi hopeless.
Kita ingin, anak-anak kurang cerdas dan miskin ini tetap genial (riang dan berani) mampu mengganti nasibnya, mengubah dunia. Bukan mengganti takdirnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H