Bagaimanapun juga, anak-anak yang kurang cerdas dan melarat ini juga bagian dari anak-anak Indonesia. Jika kita hanya memikirkan, mendekat, menggaet dan menghidupi anak-anak cerdas, sudah terlampau banyak yang mengurusi.
Di negeri ini bejubel yayasan, komunitas, institusi dan masifnya program mencerdaskan bangsa, tapi nampaknya belum bahkan nihil yang menyentuh kelompok anak-anak kurang cerdas dan miskin ini.
Pada level desa, pemda dan parpol sepertinya persoalan tersebut belum menjadi prioritas dalam program pembangunannya. Pada aras LSM, LBH pun Komite Sekolah kurang riuh dalam soalan satu ini.Â
Coba saja kita buka lembar RKPD pun RPJMD level desa, mungkin kita tak pernah bisa dapatkan alokasi dana untuk menjamin keberlangsungan pendidikan bagi anak-anak "minus," ini.
Bisa saja, dalam perhitungan mereka, anak-anak yang subordinat ini tidak bakal ada untungnya. Sudah nggak cerdas, miskin lagi. Tapi, lagi-lagi, siapa lagi yang bakal memikirkan kelompok ini jika semua lini menolaknya dan mengabaikannya.
Bukankah mereka juga manusia yang sudah berusaha maksimal, namun keadaan juga belum berubah. Tak ada orangtua atau keluarga yang menginginkan anaknya tak cerdas dan miskin. Kaukus pilantropis juga seperti enggan berbuat lebih untuk mengentaskan mereka.Â
Lantas, apa bedanya kita dengan mereka. Sudah seharusnya kita lebih banyak kesempatan dan kemampuan untuk menganulir stigma mereka.
Program-program humanis berjuluk, semacam dompet duafa, dompet peduli, dompet kemanusiaan rasanya juga masih sama saja, tetap saja menyortir bantuan-bantuannya tanpa menyasar mereka. Sungguh, mereka ini sudah jatuh tertimpa tangga.
Mawas Diri
Belum lagi keluarga atau orang tua dari kelompok anak-anak ini yang mungkin kadang kesilap dari daftar penerima bantuan pengentasan kemiskinan dana tau bantuan sembako pun BLT covid-19.Â
Hampir setali tiga uang, pihak akademisi dengan para profesornya pun turut menyokong mereka ke lembah ketidakberdayaannya, karena secara formal maupun kerelawanannya secara personal maupun kolektif absen menyeka terjalnya hidup mereka. Â Â Â Â Â