Sampai kapan desa tak lagi disebut sebagai penyokong terbesar kemiskinan negeri ini dan bagaimana solusinya. Pertanyaan itu biasa muncul dalam seminar, workshop, FGD, dll.
Desa kita sarat potensi SDA, tapi produk desa tersebut lebih banyak dijual dalam bentuk mentah, sehingga hasil yang didapat pun jauh lebih kecil ketimbang produk lain yang sudah menperoleh sentuhan pengolahan lanjut.
Desa-desa penghasil sayuran di lereng Merbabu, Magelang ketika produk desanya, berupa sayur-mayur hanya dijual langsung ke pengepul, dipastikan harganya rendah.
"Hilirisasi itu seksi sebagai salah satu kunci pembangunan desa. Industri-industri skala kecil dengan prosesing di bangun di desa. Nanti hasil ini baru dikirim ke kota."
 Sentra padi Delanggu dengan ikon berasnya,  hamparan desa penghasil buah nanas segar di Belik Pemalang, jika mereka berhenti hanya pada bahan baku, memproduksi beras, buah-buahan saja.   Pada spot inilah, nilai tambah nihil. Kecil sekali, sehingga sulit untuk mendongkrak kesejahteraan pelaku ekonomi di desa.
Hal ini tentu akan berbeda keuntungan yang digenggam setelah  diolah, dikemas, punya HKI, atau sekadar di pasok ke mal/minimarket, dll.
Begitu juga, desa sentra kopi di Temanggung maupun Wonosobo yang biasa bergaya hidup mewah saat panen, kini sudaha saatnya tak hanya menjual produk kopi desanya dalam bentuk murni glondongan.
Tapi mesti harus diolah menjadi berbagai komoditas menarik, misalnya dijadikan ikon oleh-oleh bagi pelancong meski packaging sederhana, awet bahkan murah, tapi barangkali punya sesuatu yang mampu mencuri hati pelanggan. Apalagi bisa menembus mall sekelas starbuck.
Apalagi, saat ini lagi booming cafe di mana-mana, tak hanya di kota, desa bahkan di gang-gang sempit bertaburan warung-warung kopi. Di Kota Kecamatan bahkan desa hingga kampung, di tengah sawah pun terbit coffe dengan konsep alam, pertanian dan taman.
Pengolahan produk bahan mentah menjadi bahan olahan atau siap konsumsi oleh masyarakat desa menjamin keuntungan berlipat dan membuat produk desa naik kelas.
Itulah hilirisasi produk desa. Melalui hilirisasi ini, barangkali desa tak semata hanya bergantung pada dana desa, tapi malah sebaliknya bisa membuka lapangan usaha dan atau kerja baru bagi masyarakat karena tak sedikit menyerap tenaga kerja tanpa butuh skill tinggi.
Pada kawasan wisata, di negeri ini punya banyak destinasi yang menjual, hal ini akan menjadi gayung bersambut saat desa beroleh budi menggerakkan, melatih dan memberi bantuan usaha kepada masyarakat dengan bertumpu pada produk desa yang punya nilai beda dan komersial.
Kita juga punya kawasan Sindoro Sumbing, selain menghelat agenda pernikahan tembakau, bisa pula tembakau di sini diolah menjadi komoditas lain atau cinderamata yang memang tak ada duanya.Â
Misalnya, kerajinan tas bahan baku daun tembakau, dll. Demikian juga di kawasan Candi Sukuh dan Cetho, bisa saja desa memfasilitasi gerai produk hasil bumi atau  ikon daun teh yang disulap menjadi oleh-oleh khas desa berhawa dingin.
Satu hal yang tak boleh ditinggal, di luar sumberdaya manusia yang suka belajar dan berkemauan keras untuk membalik kemiskinannya, maka sentuhan atau intervensi teknologi tepat guna menjadi amunisi baru yang dibutuhkan utnuk mendayagunakan produk desa. Artinya, on farm dan off farm harus berimbang, keduanya layak diperjuangkan.
Desa menjadi miskin itu bukan tanpa alasan. Salah satunya adalah miskinnya pengetahuan dan teknologi. Jika hal ini dibiarkan, bukan tak mungkin terjadi powerless. Maka, hilirisasi juga akan mengurangi ketergantungan warga desa dengan para tengkulak yang menguasai pasar produk desa selama ini. Inilah tantangan besar akademisi, lembaga riset dan para inventor teknologi.
Peta jalan menuju budaya hilirisasi produk desa, seyogyanya setiap desa membangun menjadi sentra -sentra produk dengan keunggulan masing-masing dan setiap desa berbeda ikonnya dengan tetap mempertahankan "ke-desa-an," nya.
Untuk mewujudkan desa unggulan ini, perlu kiranya menghormati atas tiga hal besar, yakni fokus pada produk tertentu dan potensial di desa, skala ekonomi cukup besar, dan menjaga stabilitas harga pascapanen.Â
Atau, dengan kata lain, desa mesti memperhatikan 3K, yaitu kuantitas, kualitas dan kontinuitas. Namun tentu, kita harapkan desa tetap menjadi desanya sendiri, soal spirit dan strategi "menjual," yang relevan patut kita adop dari kota.
Bukan Predator
Untuk mendukung hilirisasi maupun komodifikasi produk desa ini, bagi para sarjana baru diharapkan mau kembali ke desanya, tanah kandungnya untuk menggerakkan dan mengolah potensi desa, mengubah produk desa. Maju terus pantang mundur (jurustandur), mengajak warga desa berpikir out of the box bersama-sama mengolah tanah, air dan udara desa menjadi komoditas bernilai tambah.
Hal ini mengingatkan kita atas dedikasi lebih dari 30 ribu pendamping desa di Jateng, juga kisah Muh. Karsim Arifin jebolan ITB yang sanggup membalik nasib petani di Waimetal, Pulau Seram Maluku.
Stakeholders bisa mengambil peran di sana tanpa menonjolkan sektoralnya dengan dan atas nama desa. Desa dengan dominasi pertanian dan buruh taninya seolah njomplang dalam tingkat kesejahteraannya dengan kota.
Upaya ini sedikitnya juga mendorong kaum milenial kembali aktif dan tak malu turun ke sawah dengan menggotong konsep dan praktik modernisasi desa.
Hilirisasi itu seksi sebagai salah satu kunci pembangunan desa. Industri-industri skala kecil dengan prosesing di bangun di desa. Nanti hasil ini baru dikirim ke kota. Syukur, soalan hulu ke hilir, diselesaikan di desa.
Untuk mewadahi berbagai produk desa, Koperasi maupun BUMDes juga bisa berkontribusi, memediasi menuju tahapan menjadi Bulog mandiri bahkan korporat yang konsisten melakukan hilirisasi produk desa, merawat nasib desa, bukan predator desa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H