Pada kawasan wisata, di negeri ini punya banyak destinasi yang menjual, hal ini akan menjadi gayung bersambut saat desa beroleh budi menggerakkan, melatih dan memberi bantuan usaha kepada masyarakat dengan bertumpu pada produk desa yang punya nilai beda dan komersial.
Kita juga punya kawasan Sindoro Sumbing, selain menghelat agenda pernikahan tembakau, bisa pula tembakau di sini diolah menjadi komoditas lain atau cinderamata yang memang tak ada duanya.Â
Misalnya, kerajinan tas bahan baku daun tembakau, dll. Demikian juga di kawasan Candi Sukuh dan Cetho, bisa saja desa memfasilitasi gerai produk hasil bumi atau  ikon daun teh yang disulap menjadi oleh-oleh khas desa berhawa dingin.
Satu hal yang tak boleh ditinggal, di luar sumberdaya manusia yang suka belajar dan berkemauan keras untuk membalik kemiskinannya, maka sentuhan atau intervensi teknologi tepat guna menjadi amunisi baru yang dibutuhkan utnuk mendayagunakan produk desa. Artinya, on farm dan off farm harus berimbang, keduanya layak diperjuangkan.
Desa menjadi miskin itu bukan tanpa alasan. Salah satunya adalah miskinnya pengetahuan dan teknologi. Jika hal ini dibiarkan, bukan tak mungkin terjadi powerless. Maka, hilirisasi juga akan mengurangi ketergantungan warga desa dengan para tengkulak yang menguasai pasar produk desa selama ini. Inilah tantangan besar akademisi, lembaga riset dan para inventor teknologi.
Peta jalan menuju budaya hilirisasi produk desa, seyogyanya setiap desa membangun menjadi sentra -sentra produk dengan keunggulan masing-masing dan setiap desa berbeda ikonnya dengan tetap mempertahankan "ke-desa-an," nya.
Untuk mewujudkan desa unggulan ini, perlu kiranya menghormati atas tiga hal besar, yakni fokus pada produk tertentu dan potensial di desa, skala ekonomi cukup besar, dan menjaga stabilitas harga pascapanen.Â
Atau, dengan kata lain, desa mesti memperhatikan 3K, yaitu kuantitas, kualitas dan kontinuitas. Namun tentu, kita harapkan desa tetap menjadi desanya sendiri, soal spirit dan strategi "menjual," yang relevan patut kita adop dari kota.
Bukan Predator
Untuk mendukung hilirisasi maupun komodifikasi produk desa ini, bagi para sarjana baru diharapkan mau kembali ke desanya, tanah kandungnya untuk menggerakkan dan mengolah potensi desa, mengubah produk desa. Maju terus pantang mundur (jurustandur), mengajak warga desa berpikir out of the box bersama-sama mengolah tanah, air dan udara desa menjadi komoditas bernilai tambah.
Hal ini mengingatkan kita atas dedikasi lebih dari 30 ribu pendamping desa di Jateng, juga kisah Muh. Karsim Arifin jebolan ITB yang sanggup membalik nasib petani di Waimetal, Pulau Seram Maluku.