Mohon tunggu...
Marjono Eswe
Marjono Eswe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Ketik Biasa
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis Bercahayalah!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Makelar Proposal dan Desa Paradoks

10 Juni 2020   16:06 Diperbarui: 10 Juni 2020   16:53 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Rahim kita adalah desa. Tidak sedikit pejabat negara hingga petinggi daerah pun bermula dari sana. Banyak pula keputusan-keputusan penting negeri ini lahir dari desa. Desa telah memberi sejumlah harapan dan mimpi bagi kesejahteraan masyarakat.

Fenomena desa masih dianggap miskin dari masa ke masa, bahkan ketika pandemi covid-19 sampai pembahasan rencana jangka menengah pembangunan daerah, nyaris semua bentuk hambatan dan atau kendala pembangunan tertuju kepada desa.

Tudingan, seperti pemudik liar (ngeyel) dominasi dari pedesaan, masih rendahnya kapasitas sumberdaya manusia desa, kurangnya teknologi desa dan masih banyak hal lainnya mengapriori desa. Penduduk miskin kita per September 2019 sebesar 9,22 % (24,79 juta jiwa) dan kantong terbesar kemiskinan ada di desa, yakni turun dari posisi 12,85% (maret 2019) menjadi 12,60% (September 2019).

Broker Proposal

Melihat keterpinggiran, ketidakberdayaan dan membaca kemiskinan desa lantas banyak pihak tergerak dan terdorong untuk melunasi hutang mereka kepada ibu kandungnya (desa), Sebut saja, dahulu ada Gerakan Terpadu Pengentasan Kemiskinan (Gerdutaskin), lantas muncul Inpres Desa Tertinggal (IDT), hingga dana desa bahkan varian program atau gerakan yang berorientasi pada mengangkat harkat martabat masyarakat desa dalam aspek luas bertebaran.

Kita mungkin masih ingat ada pula Gerakan Kembali ke Desa, Rintisan Desa Berdikari, 1 OPD 1 Desa Miskin, dll. Di tataran Kab/Kota tidak ketinggalan ada juga Mbangun Deso Noto Kutho, Bangga Suka Desa dan gerakan serupa lainnya.

Desa diasumsikan sebagai wilayah yang potensial dengan sumberdaya alam dan manusianya, cuma mereka belum ada prakarsa untuk menentukan tindakannya, oleh karenanya tidak salah jika ada intervensi dari pihak luar.

Pihak luar yang belakangan banyak berkontribusi atas kemajuan desa, di samping pembinaan dari instansi pemerintah, juga ada LSM/NGO, fasilitator maupun pendamping desa, dan pihak-pihak yang peduli kepada nasib desa di masa mendatang.

Sudah saatnya kita mengundang para sarjana masuk desa. Hal ini layak didorong positif, karena sebagian besar para lulusan perguruan tinggi berburu pada ranah pegawai negeri, ambtenar atau sosok bos pengusaha, bekerja di lembaga perbankan.

Salah satu indikasi yang mencuat adalah tidak sedikit perguruan tinggi baik negeri maupun swasta yang memiliki fakultas pertanian, namun demikian para sarjana lulusan tersebut barangkali manakala disodori kuesioner peminatan pekerjaan pasca diwisuda, mereka jarang atau hanya sedikit prosentasenya yang memilih menjadi seorang petani. Kebanyakan kita masih bermental buruh.

Tak bisa dipungkiri, kesejahteraan petani sering dipermainkan oleh para tengkulak atau kapitalis. Pada umunya petani kita masih sebatas peasant belum farmer. Mungkin ini hanya sebentuk pengingkaran atas nasib masyarakat desa yang tak berdaya.

Kondisi keterpurukan desa semakin diperparah ketika para broker/makelar proposal leluasa berdalih mengurus dan bakal memberikan bantuan ke desa, dengan atau tanpa pandemi sekalipun dengan imbalan tertentu. Hal ini mungkin tidak disadari oleh elit atau tokoh desa yang hanya mengandalkan trust (kepercayaan) belaka karena sudah telanjur dekat, baik dan terbiasa bertemu atau masih ada hubungan darah dengan seseorang pemuka desa bahkan orang yang berpengaruh di desa tersebut.

Beberapa desa memikirkan nasib desanya dengan cara berinisiasi membuat proposal-proposal ke berbagai instansi pemerintah atau berebut kue CSR dari perusahaan, atau menggali donasi dari pihak luar negeri melalui tangan LSM.

Namun demikian beberapa pihak merasa terpanggil untuk turut mengangkat nasib desanya melalui luncuran berbagai program kegiatan baik fisik dan non fisik. Kucuran dana desa lima tahun terakhir nampaknya belum cukup menyantuni kesejahteraan dan keberdayaan masyarakat desa. Masih saja desa miskin (meskipun berkurang).

Diakui atau tidak diakui, pendadayagunaan segenap potensi dan sumberdaya di desa habis-habisan, kutub lainnya, desa telah menjadi sosok yang serakah, dimanjakan dan selalu dikeroyok proyek. Kawatir dana desa tak cukup, maka Provinsi dan Kabupaten pun berintervensi dengan segenap bantuan stimulannya. Bahkan ragam bantuan makin tahun tak juga makin kecil. When enough is enough? 

Penelitian Sudjijono Sastroatmodjo beberapa tahun lalu dari UNNES Semarang menjelaskan bantuan hanya melanggengkan kemiskinan. Hal ini harus cukup hati-hati, karena investasi dana hanya melahirkan kemanjaan sosial. Sudah seharusnya desa dan masyarakat mengarah pada bagimana peraihan sumber-sumber ekonomi baru, sehingga ada kepercayaan hidup dan ketidaksementaraan pendapatan.

Subordinasi

Anehnya, pihak desa maupun masyarakat desa akan lebih agresif ketika desa atau masyarakatnya akan beroleh bantuan. Mereka pun lantas beramai-ramai membentuk kelompok-kelompok baru.

Bila dilihat dari motivasi pembentukan kelompok-kelompok tersebut lebih berfungsi sebagai kelompok sasaran pembinaan dan penyuluhan, bukan sebagai kelompok masyarakat yang berswadaya. Kerap kali terjadi program yang diluncurkan oleh suatu institusi mengenai sasaran secara tumpangtindih, sehingga yang meningkat hanya berkisar pada kelompok (baca orang-orang) tertentu saja. Akibatnya tolok ukur dan pemantauan sulit dilakukan oleh masing-masing institusi dalam menilai keberhasilan program (Syamsulbahri, 1995).

Kecenderungan berorganisasi/kelompok lebih pada ad hoc-instant semata, begitu dana habis tamatlah riwayat organisasi atau kelompok tersebut. Pendonor mengabaikan apa yang disebut transformasi sosio kultur masyarakat. Supra desa mungkin juga hanya sekadar merilis bantuan, surat pertanggungjawaban bahkan mengejar target dan deadline.

Inilah desa paradoks, desa yang kaya tetapi miskin. Hal ini seperti mencari sepatu di atas kepala. Paling menarik adalah masih saja ada desa yang memegang teguh sistem demokrasi permusyawatan menjunjung tinggi marwah Musyawarah Dusun (Musdus) atau Musyawarah Desa (Musdes).

Desa nampaknya sedang belajar bahagia dengan cara mereka. Namun, subordinasi desa masih muncul dibeberapa daerah yang memberi pelabelan/stigma warga miskin dengan penempelan stiker di rumah-rumah, KK miskin, dll. Kondisi ini mungkin bagi Pemda untuk lebih memudahkan pendataan dan distribusi bantuan, namun di sisi lain barangkali bakal memberikan impresi pelemahan psikologis.

Menjadi perhatian bersama, RPJMDes di atas belum dimanfaatkan oleh institusi pemerintah dalam pengalokasian bantuan. Harus terintegrasi dalam satu perencanaan untuk semua, sekurangnya terintegrasi dengan Basis Data Terpadu (BDT) atau Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), sehingga segala bentuk bantuan ke desa lebih terfokus dan sesuai dengan harapan masyarakat desa. BDT pun pada musim pandemic pun mesti update dengan kondisi lapangan terkini, artinya chros cek atau survei bluuskan menjadi bagian akurasi data BLT maupun bantuan lainnya bagi terdampak covid-19.

Dari snapshot di atas, untuk membantu secara riil dan positioning desa selama ini, sepertinya masih perlu penguatan relasi internal dan ekseternal serta bantuan yang berkonten edukatif dan pemberdayaan. Memang banyak lembaga kemasyarakat dan lembaga desa yang bermunculan di desa, namun selama ini peran fungsinya belum optimal. Badan Kerjasama Antar Desa (BKAD), misalnya.

Sekali lagi perhatian besar terus kita tumpukan dan curahkan kepada desa, karena masyarakat terbesar di desa, kekurangberuntungan juga ada di desa. Ingat, kembali dan berbuat nyata (hanya) untuk desa merupakan momentum yang memberikan tempat paling terhormat bagi desa dan masyarakat desa. Karena melaluinya, masyarakat desa sebagai pemilik program. Sudah waktunya masyarakat membangun. Kita gelorakan peduli pada desa, kita colek Holobiskontulbaris, meski hidup dalam satu ranjang (desa) tapi punya mimpi yang berbeda.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun