Mohon tunggu...
Marjono Eswe
Marjono Eswe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Ketik Biasa
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis Bercahayalah!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Makelar Proposal dan Desa Paradoks

10 Juni 2020   16:06 Diperbarui: 10 Juni 2020   16:53 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kondisi keterpurukan desa semakin diperparah ketika para broker/makelar proposal leluasa berdalih mengurus dan bakal memberikan bantuan ke desa, dengan atau tanpa pandemi sekalipun dengan imbalan tertentu. Hal ini mungkin tidak disadari oleh elit atau tokoh desa yang hanya mengandalkan trust (kepercayaan) belaka karena sudah telanjur dekat, baik dan terbiasa bertemu atau masih ada hubungan darah dengan seseorang pemuka desa bahkan orang yang berpengaruh di desa tersebut.

Beberapa desa memikirkan nasib desanya dengan cara berinisiasi membuat proposal-proposal ke berbagai instansi pemerintah atau berebut kue CSR dari perusahaan, atau menggali donasi dari pihak luar negeri melalui tangan LSM.

Namun demikian beberapa pihak merasa terpanggil untuk turut mengangkat nasib desanya melalui luncuran berbagai program kegiatan baik fisik dan non fisik. Kucuran dana desa lima tahun terakhir nampaknya belum cukup menyantuni kesejahteraan dan keberdayaan masyarakat desa. Masih saja desa miskin (meskipun berkurang).

Diakui atau tidak diakui, pendadayagunaan segenap potensi dan sumberdaya di desa habis-habisan, kutub lainnya, desa telah menjadi sosok yang serakah, dimanjakan dan selalu dikeroyok proyek. Kawatir dana desa tak cukup, maka Provinsi dan Kabupaten pun berintervensi dengan segenap bantuan stimulannya. Bahkan ragam bantuan makin tahun tak juga makin kecil. When enough is enough? 

Penelitian Sudjijono Sastroatmodjo beberapa tahun lalu dari UNNES Semarang menjelaskan bantuan hanya melanggengkan kemiskinan. Hal ini harus cukup hati-hati, karena investasi dana hanya melahirkan kemanjaan sosial. Sudah seharusnya desa dan masyarakat mengarah pada bagimana peraihan sumber-sumber ekonomi baru, sehingga ada kepercayaan hidup dan ketidaksementaraan pendapatan.

Subordinasi

Anehnya, pihak desa maupun masyarakat desa akan lebih agresif ketika desa atau masyarakatnya akan beroleh bantuan. Mereka pun lantas beramai-ramai membentuk kelompok-kelompok baru.

Bila dilihat dari motivasi pembentukan kelompok-kelompok tersebut lebih berfungsi sebagai kelompok sasaran pembinaan dan penyuluhan, bukan sebagai kelompok masyarakat yang berswadaya. Kerap kali terjadi program yang diluncurkan oleh suatu institusi mengenai sasaran secara tumpangtindih, sehingga yang meningkat hanya berkisar pada kelompok (baca orang-orang) tertentu saja. Akibatnya tolok ukur dan pemantauan sulit dilakukan oleh masing-masing institusi dalam menilai keberhasilan program (Syamsulbahri, 1995).

Kecenderungan berorganisasi/kelompok lebih pada ad hoc-instant semata, begitu dana habis tamatlah riwayat organisasi atau kelompok tersebut. Pendonor mengabaikan apa yang disebut transformasi sosio kultur masyarakat. Supra desa mungkin juga hanya sekadar merilis bantuan, surat pertanggungjawaban bahkan mengejar target dan deadline.

Inilah desa paradoks, desa yang kaya tetapi miskin. Hal ini seperti mencari sepatu di atas kepala. Paling menarik adalah masih saja ada desa yang memegang teguh sistem demokrasi permusyawatan menjunjung tinggi marwah Musyawarah Dusun (Musdus) atau Musyawarah Desa (Musdes).

Desa nampaknya sedang belajar bahagia dengan cara mereka. Namun, subordinasi desa masih muncul dibeberapa daerah yang memberi pelabelan/stigma warga miskin dengan penempelan stiker di rumah-rumah, KK miskin, dll. Kondisi ini mungkin bagi Pemda untuk lebih memudahkan pendataan dan distribusi bantuan, namun di sisi lain barangkali bakal memberikan impresi pelemahan psikologis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun