Big Data dapat didefinisikan sebagai data set yang besar atau kompleks.
Dalam industri grosir, ada dua tipe big data yang saat ini diutilisasi secara luas -- data scan dan data panel. Data scan atau EPOS merupakan data yang dikumpulkan dalam toko ketika ada barang terjual atau 'dipindai' di kasir.
 Data ini memberikan data numerik yang besar seperti jumlah yang terjual, harga yang terjual, waktu terjual, dll. Data panel menambahkan kedalaman lebih pada data saat konsumen mengikuti panel.
Data panel akan termasuk data-data lain seperti usia konsumen, jumlah orang dalam satu rumah, tingkat penghasilan dll. Di Australia, data ini normalnya disediakan oleh agensi-agensi seperti IRI atau Nielsen.
Jenis ketiga big data yang banyak supermarket gunakan adalah data kartu. Data ini dikumpulkan melalui aktivitas konsumen: memilih untuk menggunakan kartu loyalitas dan/atau kartu kredit saat mereka membeli produk. Data ini tidak ditawarkan oleh semua toko ritel tetapi normalnya ditawarkan oleh rantai supermarket lebih besar yang menawarkan pelayanan penuh supermarket dalam pasar yang sudah berkembang.
Industri belanja juga mulai mengumpulkan big data dari platform media sosial. Contohnya, jika konsumen meriset topik seperti 'diet paleo' atau 'coklat swiss' sedang tren maka pelaku ritel dapat mengulas jangkauan mereka untuk memastikan mereka memenuhi permintaan konsumen yang terus berubah.
Big data dalam bentuk-bentuk berbeda menawarkan pelaku ritel di Australia peluang untuk memahami konsumennya dengan lebih baik dan membuat penawaran yang sesuai dengan kebutuhan/keinginan konsumen. Tujuan utama dari mengumpulkan sumber-sumber data yang berbeda adalah untuk meningkatkan loyalitas konsumen dengan mempersonalisasi penawaran mereka.Â
Dengan peningkatan di IT, saat ini mungkin untuk mulai menggunakan set data yang berbeda (scan, panel, kartu, media sosial) dan dihubungkan satu sama lain untuk mendapat pemahaman yang lebih menyeluruh tentang konsumen.
Bagaimana Peritel Menggunakan Big Data untuk Mengetahui Perilaku Konsumen
Seperti yang dikatakan pada Australian Food and Grocery Council Supply Chain Survey Report 2016, telah ada fokus yang besar pada loyalitas konsumen, dengan konsumen yang semakin meningkat di berbagai outlet dan pelaku ritel yang harus bekerja keras untuk menarik konsumen.
Salah satu supermarket di Australia, Woolworths menyadari konsumen Australia berbelanja di toko-toko yang berbeda dan peluang yang ditawarkan big data pada mereka untuk memahami dengan lebih baik konsumen mereka serta meningkatkan loyalitas konsumen.Â
Selama bertahun-tahun, supermarket ini telah berinvestasi pada big data untuk memastikan mereka sanggup membuat keputusan yang didasari fakta. Investasi mereka sudah menunjukkan hasil sejak tahun 2014 di mana Woolworths dapat memahami kebutuhan konsumen mereka dan memberikan pengalaman belanja yang lebih baik karena wawasan yang diberikan oleh data.
Perubahan besar yang kini muncul adalah para peritel tidak hanya menginginkan banyak data tetapi juga ingin menggunakan data ini untuk lebih terhubung dengan konsumen mereka dan menawarkan pengalaman yang dipersonalisasi.Â
Secara umum, Amazon dianggap sebagai pemimpin dalam bidang ini karena situs mereka mengutilisasi mesin rekomendasi yang menganalisa data pribadi konsumen seperti riwayat pembelian pengguna, barang-barang di keranjang belanja, barang-barang yang telah mereka sukai dan yang konsumen lainnya lihat dan beli. Website tersebut kemudian mampu membuat rekomendasi yang dipersonalisasi dari barang yang konsumen mereka ingin beli.
Dengan adanya perkembangan IT dalam algoritma dan kecerdasan buatan (AI) yang sedang berlangsung, banyak wawasan yang dapat ditindaklanjuti akan dapat diambil dari big data untuk meningkatkan loyalitas konsumen dengan menciptakan penawaran yang dipersonalisasi.
Bagaimana Pemasok Menggunakan Big Data
Suppliers juga telah berinvestasi dalam big data dan analitik prediktif. Data scan, data panel, dan data kartu telah dikumpulkan untuk tinjauan bisnis internal bersama peritel untuk mendukung bisnis mereka.
Dikarenakan lingkungan perdagangan saat ini, terutama deflasi harga ritel, pemasok barang harus menggunakan data untuk membenarkan biaya dan harga eceran. Jika tidak, peritel akan mengatakan bahwa konsumen membayar harga yang terlalu mahal karena pemasok yang memberi harga tinggi. Dari sini pemasok membutuhkan data untuk digunakan sebagai argumen yang berbasis fakta untuk membenarkan biaya yang dikeluarkan.
Selama tahunan, supermarket besar telah membagikan lebih banyak data dengan pemasok untuk mencoba meningkatkan kolaborasi antara pemasok dan peritel demi terpenuhinya kebutuhan konsumen. Woolworths Supermarket memiliki portal bagi pemasok untuk berbagi informasi dan pada 2017 Woolworths meluncurkan portal Supplier Connect yang memungkinkan pemasok mengakses lebih banyak data.
Tujuan dari berbagi informasi ini adalah agar pemasok dan peritel bekerja bersama untuk mencapai tujuan yang sama.
Resiko bagi pemasok yang tidak mengadopsi pendekatan kolaboratif ini adalah terbatasnya produk yang akan diambil peritel dan bahkan dalam beberapa kasus, peritel akan memutuskan hubungan kerja sama.Â
Pemasok mungkin merasa 'dipaksa' untuk berinvestasi pada big data dan analitik prediktif untuk memelihara atau menumbuhkan bisnis mereka bersama klien ritel mereka. Namun, lingkungan perdagangan saat ini dengan pendatang baru di pasar serta deflasi harga yang menantang, tanpa investasi dalam big data hubungan antara pemasok dan pengecer bisa terkena dampaknya.Â
Data ini juga dapat digunakan untuk mengubah hubungan antara pemasok dan pengecer sehingga pengecer memercayai pemasok ke titik di mana rekomendasi pemasok ditindaklanjuti oleh pengecer dengan sedikit keributan.
Bagaimana Big Data Menguntungkan Konsumen
Semua hal yang dijabarkan di atas sudah mulai diterapkan sejak bertahun-tahun lalu oleh pelaku ritel di luar negeri, sementara di Indonesia sendiri, kebanyakkan masih melakukan cara tradisional yang tidak efisien sehingga pemenuhan konsumen berjalan dengan tidak maksimal. Dengan skala yang terus membesar, sudah seharusnya perusahaan ritel di Indonesia mengadopsi penggunaan big data.Â
Jika membicarakan big data di Indonesia, maka kata yang terbersit adalah Paques. Dengan mengusung self-service analytic, Paques tidak  butuh tim berisi puluhan data scientist untuk mengolah data perusahaan, cukup satu atau dua pelaku industri yang relevan, dan dengan sedikit tuntunan, mereka akan mampu memproses data yang ada dengan efisien. Ini akan mendorong produktivitas perusahaan.
Peningkatan kompetisi dalam industri grosir telah memberikan banyak keuntungan bagi para konsumen karena setiap supermarket 'dipaksa' berinovasi untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Keuntungan selanjutnya bagi konsumen haruslah penawaran yang dipersonalisasi.Â
Dengan menggunakan big data, para pelaku ritel dan pemasok akan mampu memahami dengan lebih baik apa yang konsumen inginkan, kapan dan bagaimana mereka mengembangkan harga dan model distribusi untuk memenuhi kebutuhan tersebut.Â
Penawaran yang dipersonalisasi akan membuat pengalaman belanja konsumen lebih menyenangkan dengan membuat seluruh proses lebih cepat, lebih mudah, dan lebih sederhana, dan Paques mungkin saja dapat memfasilitasi semua itu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI