Pembahasan
وَاَنْزَلْنَآ اِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ اِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ
Artinya: Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan. (QS. An-Nahl: 44)
Menurut penulis, terjemahan pada ayat ini tepatnya pada kata وَاَنْزَلْنَآ yang diterjemahkan oleh penerjemah, terjemahannya bagi saya kurang tepat, karena اَنْزَلْنَآ merupakan Fi’il Madhi (kata kerja lampau) seharusnya terjemahan yang tepat ialah “dan telah kami turunkan kepadamu”.
Terjemahan pada ayat ini menggunakan strukturar penerjemahan jumlah fi’liyyah yang muta’aadi, yang mana membutuhkan akan maf’ul (Objek). Pada penerjemahan struktur jumlah Fi’liyyah pada ayat diatas menggunakan pola (S P O) atau Subjek, Predikat, dan Objek.
Dan metode yang digunakan dalam penerjemahan ayat diatas adalah metode harfiyah yaitu Penerjemahan dilakukan dengan mengkonversi kontruksi gramatika bahasa sumber ke dalam kontruksi bahasa penerima yang paling dekat. Namun, kata-kata tetap diterjemahkan satu demi satu tanpa mempertimbangkan konteks pemakaiannya. Metode ini pun digunakan sebagai tahap awal dari kegiatan penerjemahan untuk memecahkan kerumitan struktur nas.
Sementara itu pada Al-Qur’an terjemahan Kementerian agama tahun 2012 ayat ini diterjemahkan sebagai berikut: “dan kami turunkan Ad-zikr (Al-qur’an) kepadamu, agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkan”.[1]
Nah, disini ada sedikit perbedaan dalam penerjemahan yang ada pada artikel dan terjemahan kementerian agama RI, Pada terjemahan artikel kata “kepadamu” diletakkan sebelum kata “Al-qur’an”, sementara itu pada terjemahan kementerian agama RI kata “Al-Qur’an” diletakkan sebelum kata “Kepadamu”. Disini dapat kita pahami ada perbedaan dalam hal Ta’dim dan Ta’hir. Tetapi maksud dan tujuan pada ayat ini tetaplah sama.
Secara umum penerjemahan Al-qur’an dibagi menjadi 2 macam: terjemahan harfiyah dan tafsiriyah, tergantung dengan susunan dan struktur bahasa asal yang diterjemahkan. Terjemahan ini identik dengan terjemahan laterlek atau terjemahan lurus, yaitu terjemahan yang dilakukan kata demi kata. Muhammad Husayn Al zhahabi membagi terjemahan harfiyah ini dalam dua bagian, antara lain:[2]
Terjemahan harfiyah bi-mitsl yaitu terjemahan yang dilakukan apa adanya, terikat dengan susunan dan struktur bahasa asal yang diterjemahkan.
Terjemahan harfiyah bighairi al-mitsl pada dasarnya sama dengan terjemahan tadi hanya saja sedikit lebih longgar keterikatannya dengan susunan dan struktur bahasa asal yang akan diterjemahkan.
Sedangkan untuk tafsiran surah an-Nahl 44 ini, sebagaimana yang ditafsirkan oleh Prof. Quraish Sihab dalam Tafsir al-Misbah, : “Para rasul itu Kami kuatkan dengan beberapa mukjizat dan bukti yang menjelaskan kebenaran mereka. Kami turunkan kepada mereka kitab–kitab yang menjelaskan beberapa ketentuan yang membawa maslahat.
Kami turunkan kepadamu, wahai Muhammad, Alquran untuk menjelaskan kepada manusia pelbagai akidah dan hukum yang terkandung di dalamnya. Juga agar kamu mengajak mereka untuk merenungkan isinya, dengan harapan mereka mau merenungkan dan menjadikannya sebagai pelajaran sehingga mereka mendapatkan kebenaran”.
Sedangkan dalam tafsiran jalalain pada surah An-Nahl 44 sebagai berikut: “(Dan Kami turunkan kepadamu Adz-Dzikr) yakni Al-Qur'an (agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang diturunkan kepada mereka) yang di dalamnya dibedakan antara halal dan haram (dan supaya mereka memikirkan) tentang hal tersebut kemudian mereka mengambil pelajaran daripadanya”.
Sedangkan penafsiran ringkas dari Kemenag RI pada surah An-Nah 44 sebagai berikut: “Para rasul itu kami utus dengan membawa keterangan-keterangan berupa mukjizat yang membuktikan kenabian dan kerasulan mereka. Dan sebagian dari mereka membawa kitab-kitab yang berisi hukum, nasihat, dan aturan yang menjadi pedoman bagi kehidupan kaumnya. Dan Kami turunkan adz-dzikr, yakni Al-Qur'an, kepadamu, wahai Nabi Muhammad, agar engkau menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka berupa tuntunan dan petunjuk dalam kitab tersebut agar mereka tahu dan mengikuti jalan yang benar dan agar mereka memikirkan hal-hal yang menjadi pelajaran untuk kemaslahatan mereka di dunia dan akhirat”.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى أَهْلِ بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ وَعَبْدُ الرَّجُلِ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ أَلَا فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Artinya: dari [Abdullah bin Umar] radliallahu 'anhuma, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "ketahuilah Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya atas yang di pimpin, penguasa yang memimpin rakyat banyak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya, setiap kepala keluarga adalah pemimpin anggota keluarganya dan dia dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya, dan isteri pemimpin terhadap keluarga rumah suaminya dan juga anak-anaknya, dan dia akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap mereka, dan budak seseorang juga pemimpin terhadap harta tuannya dan akan dimintai pertanggung jawaban terhadapnya, ketahuilah, setiap kalian adalah bertanggung jawab atas yang dipimpinnya." ( Bukhari 6605)
Menurut penulis terjemahan pada hadis diatas masih ada yang kurang tepat, seharusnya pada terjemahan أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ di tambahkan kata “sesunggunya” kerena أَلَا merupakan huruf taukid yang fungsinya untuk menenkankan kata selanjutnya, meka terjemahannya menjadi “ketahuilah sesunggunya” selanjutnya terjemahan pada kalimat فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ yang semulanya diterjemahkan “penguasa yang memimpin rakyat banyak “ menurut saya sangat laterlek, seharusnya terjemahan yang tepatnya yaitu “pemimpin negara” karena kepemimpinan dengan jumlah rakyat banyak biasanya identik dengan suatu negara atau bangsa.
Selanjutnya pada kata وَعَبْدُ الرَّجُلِ yang semulanya diterjemahkan “budak seseorang” menurut saya terjemahan ini kurang tepat kerena terjemahan yang tepat ialah : ”seorang budak”.
Dan di akhir teks hadis tepatnya pada kalimat فَكُلُّكُمْ رَاعٍ penerjemah tidak menerjemahkan kalimat tersebut seharusnya terjemannya adalah “setiap kalian adalah pemimpin” lengkapnya “ketahuilah sesunggunya setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian bertanggung jawab atas yang dipimpinnya."
Dan juga pada redaksi dalam hadist ini yang berbeda dengan redaksi yang ada pada artikel lain[3]. Seperti contoh: Dipenggalan awal hadis ini menggunakan kata “ألا” sementara itu dalam artikel lain kata “"الا tidak disebutkan. Kata "ألا" sendiri memiliki arti ketahuilah, ini merupakan salah satu huruf taukid.
Dan pada penerjemahan teks hadist diatas menggunakan metode terjemahan semantik, karena penerjemahannya lebih berorientasi pada struktur semantis dan sintaksis Bsu. Sedapat mungkin mempertahankan panjang kalimat dan juga terikat pada Bsu. Selain itu juga biasanya penerjemahan semantik lebih kaku, lebih kompleks, tlebih teperinci, tetapi lebih pendek dari Bsu.
Sementara itu, Imam Abu Dawud juga meriwayatkan hadist yang sama, akan tetapi redaksi hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud lebih pendek dibandingkan dari hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori. Terjemahan dari hadis yang diriwayatkan oleh imam Abu Dawud Ialah "Seorang laki-laki adalah pemimpin bagi keluarganya dan ia bertanggung jawab atas mereka, seorang wanita adalah pemimpin bagi rumah suaminya dan anaknya, dan ia bertanggung jawab atas mereka.
Seorang budak adalah pemimpin bagi harta tuannya, dan ia bertanggung jawab atasnya. Maka setiap dari kalian adalah adalah pemimpin yang bertanggung jawab atas kepemimpinannya." (HR Abu Dawud).[4]
Disini dapat kita lihat bahwa ada beberapa konteks hadis yang diriwayatkan oleh imam Bukhori yang tidak dicantumkan oleh Imam Abu Dawud Seperti:
1. Ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin
2. Dan setiap kalian akan diminta pertanggungjawaban atas yang dipimpin
3. penguasa yang memimpin rakyat banyak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya
Ketiga poin diatas dicantumkan oleh imam Bukhori dalam kitab nya akan tetapi tidak dicantumkan oleh imam Abu Dawud.
Sementara itu, untuk tafsiran dari hadist ini sendiri ialah: Kata "Raa'in" (pemimpin) menurut para ulama adalah orang yang menjaga, yang mendapat amanah dan yang harus memilih yang baik dalam mengurusnya, yakni terhadap sesuatu atau orang yang di bawah kepengurusannya. Hadits ini menunjukkan, bahwa setiap orang yang memiliki bawahan, maka dituntut berlaku adil dan menegakkan kemaslahatan baik yang terkait dengan agama maupun dunianya.
Oleh karena itu, semua orang yang diangkat Allah sebagai amin (penanggung jawab) terhadap sesuatu, maka ia harus melakukan nasihah (yang terbaik) di dalamnya, mengerahkan kesungguhan dalam memelihara dan mengurusnya.
Hadits ini juga memerintahkan kita untuk mengerjakan kewajiban dan memenuhi hak, berbuat baik dalam bekerja dan dalam memimpin. Maksud "diminta pertanggungjawaban" adalah ditanya tentang tindakan yang dilakukannya dan tentang orang yang dipimpinnya; apakah melakukan tugas atau kewajibannya dengan baik atau tidak.[5]
Sayyidina Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah, sebagaimana dikutip Imam al-Ghazali dalam kitab Ihyaulumiddin
إذا مات العالم ثلم في الإسلام ثلمة لا يسدها الا خلف منه
Artinya “Jika satu ulama wafat, maka ada sebuah lubang dalam Islam yang tak dapat ditambal kecuali oleh generasi penerusnya”.
Menurut penulis, pada terjemahan إذا مات العالم terjemahan yang paling tepat adalah “jika seorang ulama meninggal”. Dan pada kalimat لا يسدها yang semulanya diterjemahkan “tidak dapat ditambal” menurut saya pemilihan kata nya pada terjemahan itu tidak tepat, seharusnya kata yang sesuai ialah “tidak dapat ditutupi”. Kesimpulannya terjemahan yang tepat adalah “Jika seorang ulama wafat, maka ada sebuah lubang dalam Islam yang tidak dapat ditutupi kecuali oleh generasi penerusnya”.
Penerjemahan pada teks diatas termasuk kedalam kategori penerjemahan teks keagamaan, dan metode yang dipakai dalam menerjemahkan perkataan Ali bin Abi Thalib RA diatas ialah metode penerjemahan kata demi kata. Mengapa dikatakan penerjemahan kata demi kata, karena penerjemah hanya mencari padanan kata bahasa sumber dalam bahasa sasaran tanpa megubah susunan kata dalam terjemahannya. Dengan kata lain, susunan kata dalam kalimat terjemahan sama persis dengan susunan kata dalam kalimat aslinya.
Melalui metode ini penerjemahan dilakukan antarbaris. Terjemahan untuk tiap kata berada di bawah setiap bahasa sumber. Urutan kata bahasa sumber dijaga dan dipertahankan. Kata diterjemahkan satu demi satu dengan makna yang paling umum tanpa mempertimbangkan konteks pemakaiannya. Kata yang berkonteks budaya diterjemahkan secara harfiah pula. Metode ini digunakan untuk memahami cara operasi bahasa sumber dan untuk memecahkan kesulitan nas, sebagai tahap awal kegiatan penerjemahan.
Maka dari penjelasan diatas, saya berpendapat penerjemahan pada perkataan Ali bin Abi Thalib RA telah spesifik dan sesuai dengan kaidah yang berlaku dalam penerjemahan teks berbahasa arab dan teks keagamaan.
Lalu apa yang dapat kita ambil sebagai pelajaran dari perkataan Ali bin Abi Thalib diatas, Meninggalnya ulama adalah musibah yang tak tergantikan, dan sebuah kebocoran yang tak bisa ditambal. Wafatnya ulama laksana bintang yang padam. Meninggalnya satu suku lebih mudah bagi saya daripada meninggalnya satu orang ulama.
Wafatnya ulama akan berpotensi melahirkan wafatnya dunia, dalam pengertian menjadi gelapnya jiwa-jiwa manusia, Kematian seorang ulama adalah kebocoran di dalam Islam dan tidak bisa ditutup meskipun malam dan siang datang silih berganti.
Sayyidina ‘Abdullah bin Mas’ud r.a. dalam sebuah riwayat mendorong manusia untuk mendekati para ulama dan mengambil keberkahan ilmu mereka, dan karena ilmu hanya dapat diraih dengan belajar. Para syuhada juga disebutkan kelak sangat cemburu dengan kedudukan para ulama kelak di Hari Kebangkitan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali, Terjemah Ihya’ Ulumuddin Jilid V. Semarang: CV Asy-Syifa, 1994
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya: Juz 1-30, Jakarta: Duta Surya, 2012
https://mujahiddakwah.com/2021/06/wafatnya-ulama-dan-berkahnya-ilmu/
https://quranhadits.com/quran/16-an-nahl/an-nahl-ayat-44/
https://risalahmuslim.id/quran/an-nahl/16-44/
https://risalahmuslim.id/setiap-kalian-adalah-pemimpin/
https://tafsir.learn-quran.co/id/surat-16-an-nahl/ayat-44
https://umma.id/article/share/id/1002/234217
https://www.republika.co.id/berita/qhkcel430/rasulullah-ingatkan-semua- pemimpin-diminta-tanggung-jawabnya
Muhammad Husayn Al-Dzahabi, At-tafsir Wa Al Mufassirin,(tt,tpn 1976), Hal.29-30
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H