Saya justru memaklumi jika mereka melakukan itu karena pada awal karir sebagai peneliti muda di Indonesia biasanya mereka tidak dibayar sepeserpun karena keterbatasan dana penelitian. Tentu saja itu adalah resiko yang cukup besar terutama untuk orang-orang yang harus menghidupi keluarga mereka. Bayangkan saja, kita melakukan kegiatan penelitian yang perlu kemampuan khusus dan harus terampil tapi resikonya tidak dibayar. Kalau dibayar, biasanya di bawah UMR. Tidak tragis gimana coba? Itulah yang saya alami. Saya membuat primer untuk melacak DNA virus dan saya tidak dibayar.Â
Jadi, itulah fenomena yang terjadi pada peneliti muda di Indonesia. Mereka setiap tahun membawa nama Indonesia di kancah Internasional menjuarai sesuatu, dapat medali tapi mereka pun juga menjadi "kurang tajam" pada akhirnya karena masalah komunikasi, birokrasi, dan perubahan visi.Â
Sekali  mungkin opini saya bisa salah tapi kenapa saya memberi tahu ini semua? Bukankah, artikel ini berarti menjelekkan peneliti, dan lulusannya? Bukankah ini akan mengurangi antusiasme generasi mudah untuk menjadi peneliti? Mungkin ya, artikel saya bisa mempengaruhi generasi muda untuk tidak menjadi peneliti. Namun, seperti video di atas, ada pertanyaan yang harus mereka tanyakan sebelum mereka menjadi peneliti.Â
"Do you want to be a scientist or appear to be a scientist?
Karena untuk mencintai sesuatu, kita tidak boleh hanya tahu kelebihannya tapi juga harus tahu kekurangan pada bidang itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H