Mohon tunggu...
Tengah Malam di Bulan Juli
Tengah Malam di Bulan Juli Mohon Tunggu... Ilmuwan - Peneliti, Konsultan, Guru, Jurnalis

Tengah Malam di Bulan Juli adalah sebuah novel yang menceritakan tentang seorang peneliti yang bekerja di luar bidang yang dia inginkan. Meskipun begitu, hal itu terpaksa dia lakukan karena pekerjaan yang dia inginkan tidak ada di Indonesia. Namun, kejadian itu tidak memaksa dia untuk menyerah begitu saja. Itulah inti dari novel ini. Cerita mengenai kehidupan peneliti disinggung di novel fiksi ini dengan balutan idealisme melawan realita

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Fenomena Peneliti Muda sebagai Ujung Tombak Perkembangan Teknologi di Indonesia

3 Februari 2019   17:45 Diperbarui: 3 Februari 2019   18:16 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Peneliti muda. Beberapa orang terutama yang berkecimpung di dunia penelitian tentu mengenal istilah ini. Istilah lain dalam bahasa Inggrisnya disebut Young Scientist (YS). Kalau kita sering membaca koran atau media massa online, maka hampir setiap tahunnya kita sering melihat berita anak Indonesia bawa pulang medali emas, perak, atau perunggu dari negara A, B, C,....... mulai dari juara di tingkat lokal sampai internasional.

Berita ini selalu ada setiap tahunnya mulai dari tahun 2000-an atau mungkin sebelum saya lahir pun sudah sering berita ini ada. Lantas, apa hubungannya peneliti muda dengan anak Indonesia yang bawa medali di lomba sains eksak atau sosial? Merekalah yang disebut young scientist.

www.pexels.com
www.pexels.com
Jadi, buat apa bahas peneliti muda? Apa yang dimaksud dengan peneliti muda? Pertama, saya akan membahas definisi peneliti muda dulu. Katanya peneliti muda sudah mengalami perubahan definisi. 

Menurut Early Career Scientist (ECS), definisi Young Scientist (YS) adalah orang yang berumur 35  tahun ke bawah dan sudah mendapatkan gelar S1/S2/S3 dalam kurun waktu 7 tahun. Itulah definisi YS.

www.pexels.com
www.pexels.com
Sekarang, mari membahas alasan mengapa topik mengenai YS penting untuk dibicarakan. Alasan utama adalah semakin banyak anak muda yang menjadi YS, apapun bidang yang mereka tekuni. Motifnya pun macam-macam mulai dari materi sampai kepuasan batin berdasarkan pengalaman saya. Selain itu, dunia pendidikan dan pemerintah pun "mempromosikan" tentang pentingnya kebutuhan peneliti di Indonesia. 

Kompetisi ilmiah pun sudah semakin banyak mulai dari OSN sampai CYS. Namun, ada pertanyaan yang mengganjal dalam diri saya ketika  mendekati masa lulus kuliah di bidang bioteknologi. Pertanyaan itu adalah sudah belasan bahkan puluhan tahun Indonesia membuat kompetisi ilmiah (OSN sudah lebih dari 10 tahun dan PIMNAS pun sudah 30 tahunan dilaksanakan) tapi kenapa perkembangan sains di Indonesia kok gitu-gitu aja? (yang lagi kuliah di bidang eksak pasti tahu apa yang saya maksud). 

Seperti yang saya tulis sebelumnya, hampir tiap tahun, anak muda Indonesia mendapatkan bawa medali (belum termasuk partisipan lombanya yang bisa jadi kemampuannya juga baik tapi kurang beruntung tidak juara) tapi sekali lagi, perkembangan sainsnya juga masih kurang. Apakah orang Indonesia kurang cerdas? Nggak juga karena mereka masih bisa kok bersaing dan dapat medali di ajang internasional. Jadi, masalahnya di mana? Sementara itu, masyarakat juga punya persepsi bahwa peneliti Indonesia tidak didukung oleh pemerintah (meskipun sebenarnya pemerintah juga mendukung perkembangan peneliti Indonesia melalui lomba OSN, PIMNAS, dan lomba lainnya).

www.pexels.com
www.pexels.com
Kalau mengenai masalahnya di mana, saya rasa saya terlalu muda untuk menjawab pertanyaan semacam itu tapi menurut saya sendiri ada kalanya peneliti juga sebaiknya tidak boleh terlalu menggantungkan diri pada pihak manapun itu. Mereka harus bisa bergantung pada diri mereka sendiri. Maksudnya? Mereka juga harus berbenah diri mereka sendiri sebelum bisa ditolong oleh pemerintah atau pihak manapun itu. Berbenah diri? Ya, itu kata yang saya pakai. Artinya, mereka pun melakukan kesalahan yang menyebabkan mereka kesulitan mendapatkan dana penelitian sampai penghasilan untuk mencukupi kebutuhan keluarga mereka sendiri mungkin. Kok bisa? 

Pengalaman saya ketika menjadi peneliti adalah kesulitan dalam berkomunikasi. Ketika saya ketemu jurnal yang menarik dan ingin tahu lebih dalam, kadang saya rela kontak email mereka. Lucunya, biasanya yang membalas email saya adalah orang luar negeri sedangkan peneliti Indonesia sampai detik ini pun belum pernah membalas email saya.  Saya sampai gagal paham apa salah saya terhadap mereka. Bayangkan jika yang mengirim email itu investor, bukankah mereka sudah kehilangan kesempatan untuk mendapatkan hibah penelitian dengan tindakan seperti itu?

www.pexels.com
www.pexels.com
Selain masalah di komunikasi, masalah lainnya sistem kerja sama antar universitas. Saya tidak tahu sekarang seperti apa tapi berdasarkan pemahaman saya beberapa tahun yang lalu, ada beberapa universitas yang kadang tidak mau kerja sama dengan universitas yang secara peringkat di atasnya mereka. Kenapa mereka tidak mau? Alasannya karena yang mendapat kredit nantinya adalah universitas yang peringkatnya di atas universitas itu meskipun yang punya ide adalah universitas yang peringkatnya lebih rendah.

Jadi, saat ada ide biasanya eksekusi penelitiannya dilaksanakan oleh universitas itu sendiri meskipun sebenarnya proses penelitian bisa lebih cepat dan maksimal jika kerja sama dengan universitas yang peringkatnya di atas universitas tersebut.  Sekali lagi, saya tahu informasi ini dari pengalaman orang-orang dan alasan ini pula yang mendasari mereka tidak mau kerja sama dengan universitas lain. Anda bisa mengkoreksi saya jika saya salah mengenai hal ini.

www.pexels.com
www.pexels.com
Selanjutnya, masalah lain dari kenapa penelitian di Indonesia gitu-gitu aja adalah karena beberapa talenta peneliti berbakat memutuskan untuk "keluar dari jalur". Misalnya, dulunya anak OSN sains begitu sudah lulus kerjanya di bank atau tempat non sains lainnya. Saya tidak menghakimi mereka yang melakukan itu. 

Saya justru memaklumi jika mereka melakukan itu karena pada awal karir sebagai peneliti muda di Indonesia biasanya mereka tidak dibayar sepeserpun karena keterbatasan dana penelitian. Tentu saja itu adalah resiko yang cukup besar terutama untuk orang-orang yang harus menghidupi keluarga mereka. Bayangkan saja, kita melakukan kegiatan penelitian yang perlu kemampuan khusus dan harus terampil tapi resikonya tidak dibayar. Kalau dibayar, biasanya di bawah UMR. Tidak tragis gimana coba? Itulah yang saya alami. Saya membuat primer untuk melacak DNA virus dan saya tidak dibayar. 


Jadi, itulah fenomena yang terjadi pada peneliti muda di Indonesia. Mereka setiap tahun membawa nama Indonesia di kancah Internasional menjuarai sesuatu, dapat medali tapi mereka pun juga menjadi "kurang tajam" pada akhirnya karena masalah komunikasi, birokrasi, dan perubahan visi. 

Sekali  mungkin opini saya bisa salah tapi kenapa saya memberi tahu ini semua? Bukankah, artikel ini berarti menjelekkan peneliti, dan lulusannya? Bukankah ini akan mengurangi antusiasme generasi mudah untuk menjadi peneliti? Mungkin ya, artikel saya bisa mempengaruhi generasi muda untuk tidak menjadi peneliti. Namun, seperti video di atas, ada pertanyaan yang harus mereka tanyakan sebelum mereka menjadi peneliti. 

"Do you want to be a scientist or appear to be a scientist?

Karena untuk mencintai sesuatu, kita tidak boleh hanya tahu kelebihannya tapi juga harus tahu kekurangan pada bidang itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun