Tapi umurku masih anak-anak, butuh lebih dari tiga ratus tahun agar aku bisa dianggap lebih dewasa dan bisa menikahi salah satu wanita yang kudambakan.Â
Aku sudah meminta izin pada Buya Makarim untuk mendekati Khayyrul Amalu, santri baru yang umurnya masih enam belas tahun, mengajinya pun pandai sekali. Aku menyukainya. Semoga kau tak keberatan.
Tertanda Abdullah Kanz Sahabatmu.Â
Air mata Aariz mengalir membasahi pipi dan tetesannya nampak jelas di permukaan papan ketik, diusapnya lembut tetesan air hingga pemukaan berhuruf itu separuhnya membasah.
Di sudut kamar, Kanz mengamati tingkah sahabatnya. Ia pun terluka dalam, tapi perpisahan adalah jalan keluar terbaik. Aariz dan dirinya memiliki ruang dan waktu yang jauh berbeda.
Bandung, 10 Maret 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H