Mohon tunggu...
temali asih
temali asih Mohon Tunggu...

berbagi dan mengasihi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Ruang Waktu Kanz

10 Maret 2019   22:17 Diperbarui: 12 Maret 2019   20:40 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
picgrace.com/mjcstuff

Cahaya lembayung terburai di batas horizon saat suara merdu adzan Maghrib berkumandang memenuhi langit malam. Matahari tenggelam dalam pandangan Kanz. Seperti biasa, Kanz berburu waktu bersama kawan-kawannya untuk shalat di masjid yang sama bertahun-tahun lamanya.

Kanz memiliki sahabat sejati. Ia teramat menyukai Aariz, semua kawan-kawannya bisa memakluminya, Aariz adalah lelaki istimewa, lelaki pelantun adzan paling merdu di Desa Pesantren.

Desa yang jauh dari hingar-bingar perkotaan itu dihuni para santri dari seluruh pelosok negeri. Dipimpin oleh Buya Makarim yang sangat berwibawa. Kanz menyukai tausiah yang diberikan Buya setiap malam minggu, khusus untuk dirinya dan kawan-kawannya.

Bila disandingkan dengan Ustadz Abdul Somad, suara Buya Makarim saat mengaji, jauh lebih indah namun keduanya memiliki selera humor yang sama.

Kanz pernah protes pada Buya Makarim agar memberikan tausiah pada malam Jum'at yang sering dikeramatkan penduduk asli Desa Pesantren. Jawaban Buya diluar dugaan.

"Kau ini, sudahlah tak tampak wujudmu, mau pula menakut-nakuti warga sini, heh?" sentil Buya sambil mendelik tapi senyumnya menyabit membuat roman mukanya tampak lebih lucu.

"Bila aku berceramah malam Jum'at, tanpa ada seorang pun terlihat, nampak bagai kesurupan atau berceramah untuk para hantu," jawab Buya sambil tertawa geli.

"Malam Minggu lebih netral, aku seperti seorang yang sedang latihan berpuisi, masihkah kau keberatan, Ananda Kanz?" tanya Buya dalam mimik serius.

Kanz sekuat tenaga mengoncangkan Pohon Pisang dihadapan Buya, seringkali ia kehilangan kekuatan untuk menampakkan diri hingga berusaha memberi tanda persetujuan dengan cara lain. Daun-daun Pisang kipas membungkuk tunduk.

"Lagi pula muridku, Ananda Aariz, baru bersedia mengaji di kebun ini setiap malam Minggu, maklumlah, usianya baru remaja. Masih banyak rasa takut dalam dadanya."

Lanjut Buya,"Usia Aariz baru lima belas tahun. Kau memang masih remaja juga, tapi usiamu sepuluh kali lipat usianya. Tentu pengalamanmu jauh lebih banyak."

Kali ini persoalan Buya Makarim dan para Jin remaja yang sedang semangat mengaji, selesai. Mereka kembali mendengarkan dakwah dari Buya dengan cermat. Karena Kanz adalah ketua dari para remaja jin, bila ia setuju maka semuanya sepakat.

Pernah satu waktu, lima tahun yang lalu sebelum mengikuti pengajian dari Buya, Kanz dan kawan-kawan menjahili anak-anak santri yang berjumlah hampir dua ribu orang. Ada yang dipindah-pindahkan saat tidur, ditakut-takuti di kamar mandi bahkan disembunyikan di sebuah tempat selama satu minggu.

Buya Makarim bertindak, ia memberi pelajaran untuknya dan kawanannya. Kanz kalah kekuatan, Aariz yang saat itu baru berusia sepuluh tahun bisa ditemukan oleh Buya, dan Kanz mendapat pengalaman berharga tentang kekuatan Tuhan. Kalimat La ilaha ilallah, laa haula walaa quwwata illa billah yang terlontar berulang kali dari mulut Buya hampir membuatnya hangus terbakar.

Semenjak peristiwa itu, Kanz masuk Islam dan bertaubat dari perbuatan jahilnya. Aariz kini menjadi adik angkatnya. Kemana Aariz pergi ia akan mengikuti. Apapun yang dikerjakan Aariz, ia kerjakan jua. Aariz memiliki suara merdu dan senantiasa berbahasa santun begitu pun Kanz bersikap. 

Pada awalnya Aariz merasa risih, Abdullah Kanz sering nampak dalam wujud aslinya, bertelinga panjang dan sangat lebar, memiliki misai dan mata seperti kucing, giginya tajam dan seringainya mengerikan. Lama-kelamaan Aariz terbiasa apalagi bila Kanz merubah dirinya menjadi lelaki tampan namun perawakannya tetap saja sebesar gajah duduk. Pikiran dan tingkah laku mereka semakin lama juga semakin mirip.

oOo

Kanz uring-uringan, Zabrii dan Pandeni sampai letih menghibur dirinya. Akhirnya mereka kabur dalam hitungan detik sudah ada di para-para Masjid Demak. Ratusan kilometer mereka tempuh sekejapan mata. Mereka sedang menikmati semburat jingga di cakrawala yang begitu menawan hati, bersama jutaan kawan lainnya.

Hari pukul sembilan malam, di kamar Aariz tiba-tiba layar monitor dan tuts keyboard bergerak sendiri. Suara klak-klik terdengar ribut. Aariz maklum, Kanz sedang mengirim pesan. Beberapa hari ini sahabatnya itu sedang dilanda cemburu. Sebentar lagi Aariz akan menikah, Kanz merasa khawatir akan kehilangan kebersamaan selama belasan tahun. Aariz berharap Kanz menemukan jalan keluarnya.

Di layar monitor terpampang tulisan Bookman Atiqua, font 14 bold italic, Aariz meneteskan air mata haru, perpisahan itu terasa menorehkan sebuah luka yang teramat dalam. Apa hendak dikata? Aku harus memilih, Lalintan, calon isterinya sangat ketakutan setiap kali Kanz datang bertandang. Sudah empat kali Lalintan pingsan dan mengigau panjang. Memang wanita kabarnya jauh lebih lemah dari laki-laki untuk soal ini.

Aariz duduk tenang di depan layar notebooknya sembari membaca perlahan tulisan yang baru saja diketik oleh Kanz.

Sahabatku Aariz, kau akan berada dalam kehidupan baru, aku tahu, pasti kau akan banyak berubah. Seandainya aku bisa sepertimu, memiliki pasangan hidup yang akan menemani sampai nanti, tentunya aku bisa paham akan kehidupanmu. 

Tapi umurku masih anak-anak, butuh lebih dari tiga ratus tahun agar aku bisa dianggap lebih dewasa dan bisa menikahi salah satu wanita yang kudambakan. 

Aku sudah meminta izin pada Buya Makarim untuk mendekati Khayyrul Amalu, santri baru yang umurnya masih enam belas tahun, mengajinya pun pandai sekali. Aku menyukainya. Semoga kau tak keberatan.

Tertanda Abdullah Kanz Sahabatmu. 

Air mata Aariz mengalir membasahi pipi dan tetesannya nampak jelas di permukaan papan ketik, diusapnya lembut tetesan air hingga pemukaan berhuruf itu separuhnya membasah.

Di sudut kamar, Kanz mengamati tingkah sahabatnya. Ia pun terluka dalam, tapi perpisahan adalah jalan keluar terbaik. Aariz dan dirinya memiliki ruang dan waktu yang jauh berbeda.

Bandung, 10 Maret 2019

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun