Bu Siap sangat tegas, tak seorang anak pun bisa berleha-leha di hadapannya. Semua anak harus bekerja keras. Ia mengajarkan anak-anak mencuci piring dan baju milik mereka sendiri. Harus hemat air dan sabun namun tetap bersih.
Lain lagi dengan Kak Mint, meski sama penyabarnya dengan Ibu Panti dan wangi mulutnya seperti wangi daun mint, ia lebih ceria dan pandai sekali mendongeng. Menjadikan anak-anak selalu bahagia dengan imajinasi yang tak putusnya hadir di kepala Mint.
Pernah suatu saat anak-anak panti tak punya makanan dari pagi sampai siang dan mereka harus menunggu hingga malam menjelang. Mint mengajak anak-anak memetik bunga-bunga segar dan dicucinya bersih-bersih. Ia hidangkan di atas piring lalu dituangi saus Mayo dari botol terakhir yang mereka miliki.
"Lihatlah Kakak! Ini adalah makanan para raja zaman dahulu kala. Sangat lezat!" seru Kak Mint sembari mengunyahnya perlahan seakan bunga-bunga itu memang lezat luar biasa.Â
Matanya memicing dan mulutnya mendecap. Akhirnya semua anak mencicipinya. Bahkan Hati Melati yang tak suka saus Mayo juga ikut serta.
Apa yang terjadi?
Semua anak setuju, itu makanan terlezat yang pernah mereka cicipi. Di hari-hari selanjutnya makanan berupa salad bunga segar selalu menjadi pengganjal perut saat mereka kekurangan makanan.
Ternyata Tuhan punya cara lain dalam mencintai anak-anak tersisih dan terbuang. Dianugerahkan-Nya alam semesta untuk menyiapkan mereka menjadi manusia dewasa yang sempurna, pikir Mint yakin.
Setelah melakukan ritual pemandian jenazah dan sembahyang serta memakamkan Bu Panti, anak-anak itu masih tegar. Bahkan Shabir anak yang paling kecil, usianya masih enam tahun itu terlihat tenang sekali.Â
Mint penasaran hingga akhirnya bertanya pada Shabir.
"Kau tak merasa kehilangan Ibu Panti?"Â