Mohon tunggu...
temali asih
temali asih Mohon Tunggu... Guru -

berbagi dan mengasihi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebelum Tiga Belas

14 Februari 2019   13:37 Diperbarui: 14 Februari 2019   16:03 494
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://babyology.com.au

Bayi-bayi telah lahir dari rahim seorang ibu yang tak pantas disebut ibu. Mulut rahimnya memang menjadi jalan lahir bagi ketiga anak kembar yang gagal digugurkan.

Anak-anak itu lahir tanpa tahu siapa ayah sebenarnya. Ibu mereka adalah seorang istri tanpa ikatan perkawinan. Seseorang yang disebut ibu telah memilih jalan mudah, memeroleh kekayaan dan kenikmatan duniawi sesaat. 

Ibu yang tak pernah mau membesarkan mereka dengan kasih sayang yang sejati. Sampai mereka remaja, tak pernah sekali pun ibu mereka menampakkan batang hidungnya sekedar memanggil nama dan menatap wajah mereka. 

Hanya uang bulanan yang diberikan melalui kurirnya, cukup sekadar hidup di panti asuhan yang sederhana dan jauh dari keramaian kota. Jauh dari jangkauan mereka bila satu saat ingin bertemu.

Mereka tak tahu seperti apa rupa ibunya. Tapi Ibu Panti memberi sedikit petunjuk karena merasa iba. Nama ibu mereka Selebrita Hedonisma, orang memanggilnya Nona Sinism. Ia tak bersedia dipanggil dengan sebutan nyonya karena dirinya merasa  belum pernah menikah.

Masih menurut Ibu Panti, ibu mereka adalah wanita yang sangat cantik dan ahli meracik minuman yang bisa membuat seseorang awet muda lebih lama dan penuh vitalitas. Selebihnya tak ada informasi apapun yang diberikan. 

Bagai tak ada ikatan yang hadir antara  ibu dan anak, nama mereka pun adalah pemberian Ibu Panti yang merasa kasihan pada ketiga anak kembar tersebut.

Tepat ketika umur mereka dua belas tahun, Ibu Panti menerangkan satu persatu arti nama mereka.

"Hati Melati, kuberi namamu seperti wajahmu yang putih bersih. Matamu bulat dan indah, kaulah anak tertua yang kuharap berhati mulia." Ibu Panti menatap mata Hati lekat. 

Sepenuh do'a ia panjatkan agar Hati memiliki warna hati seputih Melati.
Hati Melati menganggukkan kepala. Binar matanya menunjukkan kebahagiaan yang hampir terenggut di setiap tahap kehidupannya. Rasa lapar, letih, rindu dan perasaan terbuang seperti yang dirasakan adik-adiknya.

"Belantara Cinta, namamu kuambil dari bentuk rambutmu yang paling tebal seperti hutan belantara. Jerit tangismu sanggup mendatangkan perasaan cinta padaku."

"Aku menyukai saat kau tersenyum bahkan menangis. Bersamamu perasaan ragu untuk membesarkan kalian lenyap sudah," senyum tulus Ibu Panti membuat Cinta meneteskan air mata. Belantara Cinta merasa yakin bahwa dirinya dilahirkan dari rahim Ibu Panti.

"Tegar Lindung, kau bayi lelaki yang paling tabah. Tanpa tangis dan air mata. Kau teramat kecil, hampir saja tak bisa diselamatkan. Namun, Tuhan berkata lain. Kau masih bernafas bahkan kini tumbuh sebagai lelaki yang berperawakan kekar."

"Ibu pastikan dengan namamu agar kaulah yang melindungi kedua kakak perempuanmu." suara Ibu Panti terdengar bersemangat. 

Itu adalah hari terakhir mereka berbincang hangat, sebelum Ibu Panti meninggalkan mereka untuk selamanya.

Tak ada air mata yang mengiringi kepergian Ibu Panti. Semuanya terdiam membeku. Ke dua belas anak lainnya pun berduka tanpa mengeluarkan setetes air mata ratap.

Mengapa?

Dalam persaksian mereka Ibu Panti adalah ibu yang paling mulia dari seluruh ibu manapun di dunia.

Bagaimana tidak? Ibu Panti memberikan cinta yang tulus yang mengalir setiap waktu. Bila mereka merengek karena sakit, ia menimang mereka dan membacakan beribu do'a agar bisa sembuh seperti sediakala.

Saat pasokan makanan hampir habis, semua anak diberi jatah dengan porsi dikurangi. Namun jatah makan Ibu Panti tak diambilnya. Ia akan membagi rata jatah makannya untuk mereka, cukup baginya sesapan tulang sisa dan remah-remah nasi milik anak-anak. 

Saat mengajari anak-anak berhitung dan membaca, ia bertindak menjadi guru penyabar sedunia. Tak ada cemoohan yang pernah terlontar, berpuluh kali pujian selalu terdengar saat anak-anak mau mencoba mengeja dan berhitung.

Wajah tirus dan tubuhnya kurus karena sering menahan lapar. Tubuhnya acapkali oleng karena letih. Pekerjaannya yang berat hanya dibantu oleh saudara sepupu dan anak perempuannya. Anak-anak memanggil mereka Bu Siap dan Kakak Mint. 

Bu Siap sangat tegas, tak seorang anak pun bisa berleha-leha di hadapannya. Semua anak harus bekerja keras. Ia mengajarkan anak-anak mencuci piring dan baju milik mereka sendiri. Harus hemat air dan sabun namun tetap bersih.

Lain lagi dengan Kak Mint, meski sama penyabarnya dengan Ibu Panti dan wangi mulutnya seperti wangi daun mint, ia lebih ceria dan pandai sekali mendongeng. Menjadikan anak-anak selalu bahagia dengan imajinasi yang tak putusnya hadir di kepala Mint.

Pernah suatu saat anak-anak panti tak punya makanan dari pagi sampai siang dan mereka harus menunggu hingga malam menjelang. Mint mengajak anak-anak memetik bunga-bunga segar dan dicucinya bersih-bersih. Ia hidangkan di atas piring lalu dituangi saus Mayo dari botol terakhir yang mereka miliki.

"Lihatlah Kakak! Ini adalah makanan para raja zaman dahulu kala. Sangat lezat!" seru Kak Mint sembari mengunyahnya perlahan seakan bunga-bunga itu memang lezat luar biasa. 

Matanya memicing dan mulutnya mendecap. Akhirnya semua anak mencicipinya. Bahkan Hati Melati yang tak suka saus Mayo juga ikut serta.

Apa yang terjadi?

Semua anak setuju, itu makanan terlezat yang pernah mereka cicipi. Di hari-hari selanjutnya makanan berupa salad bunga segar selalu menjadi pengganjal perut saat mereka kekurangan makanan.

Ternyata Tuhan punya cara lain dalam mencintai anak-anak tersisih dan terbuang. Dianugerahkan-Nya alam semesta untuk menyiapkan mereka menjadi manusia dewasa yang sempurna, pikir Mint yakin.

Setelah melakukan ritual pemandian jenazah dan sembahyang serta memakamkan Bu Panti, anak-anak itu masih tegar. Bahkan Shabir anak yang paling kecil, usianya masih enam tahun itu terlihat tenang sekali. 

Mint penasaran hingga akhirnya bertanya pada Shabir.

"Kau tak merasa kehilangan Ibu Panti?" 

Shabir menggeleng dan berujar," Bu Panti telah selesai dengan segala deritanya. Ia kini berada di surga-Nya. Bagaimana mungkin aku bersikap kejam, memintanya hidup bersama kami yang selalu lapar dan merengek padanya?"

Kakak Mint malah berlari menuju kamarnya, ia membenamkan kepalanya dalam-dalam pada bantal tidur ibunya. Ternyata anak-anak itu sangat mencintai ibunya melebihi cinta Mint pada Sang Bunda. Mint menangis perlahan. Ia tak ingin anak-anak lainnya mendengar rintihannya.

oOo

Di depan pagar tinggi sebuah rumah megah, ke tiga anak kembar saling pandang. Mereka yakin, rumah itu sesuai dengan alamat yang tercantum dalam secarik kertas yang digenggam Hati Melati.

Tegar mencoba bicara pada seorang satpam yang berada di sebuah pos jaga, tak jauh dari pagar yang terkunci grendel besi super besar. 

Tak lama kemudian mereka diperbolehkan masuk dan diantar menuju sebuah kamar yang berpintu selebar tiga  lemari pakaian mereka. Sangat lebar.

"Masuklah! Duduklah disampingku," suara seorang wanita yang nampak sangat lemah terbaring di ranjang ukuran jumbo yang muat untuk tidur sepuluh orang anak.

Ranjang gagah dan megah itu hanya ditempati seorang wanita cantik yang terlihat sangat ringkih. Lingkaran matanya menghitam dan bola matanya agak mencuat keluar. Wajahnya memang putih mulus dan berhidung bangir tapi terlihat mengerikan dengan mata seperti itu apalagi bibirnya tampak sangat pucat.

"Yang mana Hati Melati?" suaranya parau dan penglihatannya pun buruk.

"Saya," sahut Hati sambil mendekat ragu-ragu ke arah wanita itu.

Wanita itu berusaha menggerakkan tangannya menggapai wajah Hati dan menyusuri perlahan.

"Aku menyesal telah meninggalkan kalian di panti," suara lirih wanita yang katanya ibu kandung mereka, terdengar teramat pelan dan samar.

Belantara Cinta yang paling dulu meneteskan air mata, kebenciannya pada ibu kandung telah lama sirna. Apalagi saat menyaksikan ibu mereka dalam keadaan sakit parah. 

Demikian pula dengan Tegar, sebelum melihat keadaan ibunya yang sekarang, ia selalu membayangkan seorang wanita dengan api neraka muncul di kedua matanya. Seringai serigala dan gigi-gigi tajam sering hadir menghiasi mimpinya bila ia teringat akan sosok seorang ibu.

Lenyap sudah khayalan buruknya selama ini. Keadaan wanita ini lebih mengerikan dari yang disaksikannya dalam mimpi. 

"Ternyata aku salah duga, kupikir kalian adalah neraka bagiku," wanita itu terbatuk-batuk dan darah segar muncrat dari mulutnya. 

Kain alas di atas dadanya telah penuh dengan darah. Bau anyir menyeruak tajam di seluruh ruangan. Pengharum ruangan beraroma Lavender kalah oleh bau amis yang menyengat.

"Apa perlu kupanggilkan suster, Bu!" Hati Melati memberanikan diri bertanya pada sosok cantik yang mengerikan itu.

Wanita itu menggelengkan kepala. Ia memaksa duduk dan bersandar pada susunan bantal yang sangat lembut. 

"Aku mohon pengampunan dari kalian, aku telah salah duga selama ini."

"Aku ingin kalian tinggal di sini, ini adalah rumah kalian." nafasnya menderu. Sepertinya ia mengeluarkan segenap tenaganya untuk bicara.

Mereka bertiga saling tatap akhirnya menganggukkan kepala. Siapa pula yang bakal tega tak mengindahkan keinginan seorang ibu yang hampir sekarat. Ia keracunan minuman yang diraciknya sendiri. Terlalu takut untuk menjadi tua hingga segenap cara ia coba.

Seminggu kemudian, Ibu dan tiga anak kembar sedang berjalan-jalan di taman sekitar rumah. Tegar yang mendorong kursi roda ibunya. Hati sibuk membenahi tikar yang akan dijadikan alas untuk mereka makan bersama. 

Wajah ibu mereka kini mulai merona, nafsu makannya kembali membaik. Kesehatan tubuh ibu semakin meningkat. Hati, Cinta dan Tegar telah berusaha keras agar ibunya bisa pulih seperti sediakala.

Kejadian di taman saat seminggu berlalu adalah merupakan kenangan terindah mereka. Malam harinya ibu mereka dilarikan ke rumah sakit dan masuk ICCU. Ternyata jantungnya tak cukup kuat menerima kejadian yang sangat membahagiakan hatinya.

Selama sebulan, kebersamaan mereka akhirnya sirna.  Anak kembar tiga itu menjadi piatu yang ditinggalkan oleh dua orang ibu tanpa seorang ayah pun padahal usia mereka belum genap tiga belas tahun. 

Tamat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun