Mohon tunggu...
temali asih
temali asih Mohon Tunggu... Guru -

berbagi dan mengasihi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Langit pun Bertabik, Pak Guru!

24 November 2018   16:57 Diperbarui: 25 November 2018   13:43 544
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Bu... Ibu harus kuat. Kita pergi ke rumah sakit di kota, di sana ada Teh Yati yang bisa mengawasi ibu. Teh Yati bertugas di sana." Nada suara Nana bergetar. Ia sangat takut kehilangan ibu yang teramat dicintainya.

"Teh Yati sudah berulang kali menghubungi saya lewat telepon kantor. Ia meminta saya untuk segera membawa ibu ke kota."

"Saya bisa pinjam mobil Pak RW untuk mengantar ibu. Hanya butuh satu jam perjalanan." Getaran suara Nana semakin terasa. Sudah puluhan kali ia membujuk ibunya. Puluhan kali pula ibunya menggelengkan kepala.

"Bukan itu yang hendak ibu bicarakan, ini wasiat ayahmu sebelum meninggal. Ia berpesan agar kau menemui seorang sahabat dekatnya, Pak Karta Sawitra. Ini alamatnya." Ibu kembali terbatuk-batuk. Ia menghirup nafas panjang untuk memberinya tenaga agar bisa berkata-kata lebih banyak. Tangannya meraih kartu nama di bawah bantal dan menyerahkan pada Nana.

"Kau temui beliau, katakan almarhum ayahmu hendak memenuhi janji yang terucap puluhan tahun silam, dan mintakan ma'af karena baru memenuhinya sekarang. Seharusnya ibu mengatakan ini sejak sepuluh tahun lalu saat ayahmu baru berpulang. Kau anak yang berbakti, ibu ridha terhadapmu. Sekarang Ibu ikhlas melepasmu. Ibu tahu semua kesulitan hidupmu. Berjanjilah pada ibu, kau akan menemui sahabat ayahmu." Nafas ibu terengah-engah. Keringatnya makin deras mengucur. 

"Allah... Hu... Akbar!" Suara ibu tertahan. Rasa sakitnya mulai tak tertahankan. Anehnya, air muka ibu bercahaya. Meskipun dahinya berkerenyit menahan sakit, mulutnya tak henti bertahlil.

"La... Ila ha ilallah..." Tarikan nafas satu-satu mengiringi ucapan tahlil yang mirip desahan.

"Allah... Allah..." Berulang kali ibunya melafalkan Ashma-Nya dengan kesungguhan. Nana berurai air mata, diciumnya kening dan punggung tangan ibunya berulang kali. Ingin rasanya ia bisa memindahkan rasa sakit yang diderita ibunya saat ini pada dirinya. 

Tak disangka oleh Nana ini adalah pagi terakhir ia berbincang bersama ibunya sebelum berangkat menuju sekolah. Biasanya ia selalu minta ijin untuk pergi ke sekolah dengan memenuhi segala keperluan ibunya terlebih dahulu.  Kini, ibunya pergi untuk selamanya. 

Kakak-kakak dan adiknya hanya bisa menangis ketika dihubungi. Mereka baru bisa berkumpul setelah ibu dishalatkan. Mereka sangat menyesal tidak bisa melepas kepergian ibu dengan baik, mengingat belum banyak bakti yang bisa mereka persembahkan untuk ibu. Nana tak pernah menyalahkan mereka. Semua punya alasannya sendiri. 

Ibu pun tak pernah menuntut apa-apa. Meskipun mereka berempat dibesarkan dengan kasih sayang yang sama, Nana merasa ibu paling menyayanginya. Padahal perawakan dan wajah Nana jauh berbeda dengan yang lain. Hanya Nana yang berkulit putih dan tubuhnya paling tinggi. Garis hidung Nana tinggi dan membengkok, banyak yang menyangka dirinya keturunan Arab atau Mesir.
***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun