Ruangan kelas masih kosong, bangku-bangku tersusun terbalik di masing-masing meja. Lantai keramik berwarna putih pucat tak lagi mengkilat, nampak bersih. Ruangan kelas lima yang dipegang oleh Pak Guru Nana Suryana termasuk paling sempit hanya dua setengah kali tiga meter diisi oleh tiga puluh empat siswa. Berdesakan.
Pak Guru Nana adalah guru honorer yang berdedikasi tinggi di sekolah SDN 3 Sukawening. Ia sangat disegani oleh semua guru bahkan kepala sekolah sekalipun. Selain guru paling disiplin, Pak Nana sangat santun dan berilmu tinggi. Gelar sarjana pendidikan diraihnya melalui beasiswa dari universitas di Malaysia. Ia menyelesaikan studinya dengan cepat.Â
Sebenarnya Pak Nana sudah diminta menjadi asisten dosen dan dibiayai untuk melanjutkan S2 di universitas yang sama. Hanya saja ia memilih pulang ke Indonesia karena ingin dekat ibunya yang sudah sepuh dan sakit-sakitan. Ia ingin mengabdikan diri untuk ibu dan negeri yang amat dicintainya, Indonesia.Â
Satu-satunya sekolah dasar yang sangat dekat dengan rumah ibunya hanya SDN 3 Sukawening. Ia tak keberatan mengajar di SD tersebut dengan gaji honorer seperti guru lainnya. Dua ratus ribu perbulan. Ia menyiasati honor yang diterimanya agar cukup untuk perbulan dengan berjalan kaki menuju sekolah, lagi pula jaraknya cukup dekat, lima ratus meter saja.Â
Berpuasa Senin dan Kamis, senantiasa dilakukannya. Membawa bekal nasi dengan lauk-pauk seadanya, sering kali dengan garam saja, ia kerjakan untuk penghematan. Apabila tanaman untuk lalapan di depan rumah sedang berbuah, ia sengaja motong-motongnya untuk dijadikan teman makan yang menyehatkan. Tidak dimasak, untuk menghemat gas, cukup dicucinya bersih-bersih. Bila beruntung, sesekali ia bisa makan enak jika mendapat undangan pengajian sebagai penceramah. Ditambah bonus yang lumayan yang ia sisihkan untuk menyediakan makanan kesukaan ibunya.
"Sikap beri salam!" Teriak Rudi lantang. Ketua kelas lima yang berbadan paling tinggi dan besar. Memberi aba-aba setelah berdo'a.Â
"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh..." Anak-anak serempak memberi salam dengan suara yang khas.
Bila mendengarkan celotehan siswanya, Nana sangat penuh perhatian. Ia dengarkan dengan seksama apa saja pendapat dan curhatan mereka.
"Pak Guru, kemarin Wira memukul saya! Ia meminjam penggaris dan malah menghilangkan penggarisnya. Saya tagih, eh, dia marah!" Deden berseru dengan suara kesal sambil menunjuk ke arah Wira.
"Apa alasanmu Wira? Sampai kau berani memukul Deden? Bukankah bapak ajarkan, setiap barang yang dipinjam harus dikembalikan?" Nana berusaha menengahi perdebatan antara mereka berdua.
"Deden menghina saya, Pak! Ia menyebut-nyebut ayah saya preman dan saya tidak terima. Memang benar, ayah menganggur di rumah! Tapi ayah membantu ibu. Ia mencucikan baju, mengasuh adik bahkan memasak makanan yang lezat untuk kami. Ayah adalah lelaki yang sangat baik hati." Jelas Wira sambil terisak.Â
"Hanya karena ayah punya tato dan dulu pernah jadi tukang parkir di toko swalayan di kota, Deden anggap ayah saya seorang preman. Padahal ayah sudah lama bertaubat sejak kaki kirinya patah tertabrak mobil." Isakan Wira terdengar makin kencang.
Semua murid terdiam. Termasuk Deden. Air muka Deden berubah. Perasaan iba menjalari hatinya. Ia salah sangka, Wira ternyata begitu menderita dengan perkataannya. Perlahan Deden mendekat ke arah Wira. Ia menggenggam tangan temannya bermaksud meminta ma'af. Air mata menetes dipipinya.
"Sa... Saya... Bersalah. Penggaris itu pemberian kakak, sebelum meninggal, kakak memintaku untuk rajin belajar dan satu-satunya benda yang tersisa untuk diberikan kepada saya, penggaris itu. Itu kenang-kenangan yang menghubungkan saya dengan kakak. Setiap saya memegang penggarisnya, saya selau mendo'akan beliau." Suara Deden terbata-bata menceritakan rasa kehilangannya.
Pak Guru Nana menghela nafas panjang sembari meredakan perasaannya yang terbawa haru. Ternyata anak-anak ini menanggung derita yang berat tapi mereka sanggup menjalaninya dengan tabah.
Bagi Nana setiap hari, sekolahnya penuh warna. Warna kehidupan bagai pelangi, meskipun banyak warna gelap namun menyimpan berjuta harapan indah. Ia berharap kisah sedih yang dialami hari ini kelak berbuah persahabatan dan kasih sayang yang indah.
***
Rumah panggung beralaskan bambu tempat Nana dibesarkan terasa lengang. Biasanya kakak perempuan tertua dan adik lelakinya, rajin berkunjung ke rumah ini. Mereka berempat bersaudara. Nana anak ketiga. Kini tinggal dirinya yang belum menikah. Yang lain bahkan ada yang sudah memberi dua atau tiga cucu untuk Ibunya.Â
Yuyun Kurnaesih, ibunya, berusia hampir tujuh puluh tahun. Tapi tidak ada yang bersedia untuk tinggal di sini bersama ibu. Ibupun demikian, tak mau tinggal bersama kakak-kakaknya, ia hanya mau berkunjung dua sampai tiga hari setelah dijemput dan meminta pulang ke rumah ini lagi. Alasannya ia senang tinggal di desa yang jauh dari bisingnya kota. Lagi pula makam ayah ada disamping rumah.Â
Rutinitas ibu berdo'a di makam ayah, setiap hari tidak kurang dari satu jam. Membersihkan makam ayah, seminggu sekali. Hanya saja semenjak sakit-sakitan, tugas membersihkan makam beralih ke tangan Nana.
"Na! Kemarilah! Ibu mau bicara." Ibu memanggil Nana dengan suara lirih.
"Ya bu, ada apa?" Sahut Nana takzim, ia mendekat perlahan ke pembaringan. Disentuhnya tangan ibu dengan penuh kasih sayang. Didekapnya tangan ibunya dipipi. Kulit ibunya semakin keriput, wajah ibunya berpeluh, menahan sakit.Â
"Ibu rasa, ibu akan segera menyusul ayah." Suara ibunya parau. Terbatuk-batuk dan keringatnya mengucur semakin deras.
"Bu... Ibu harus kuat. Kita pergi ke rumah sakit di kota, di sana ada Teh Yati yang bisa mengawasi ibu. Teh Yati bertugas di sana." Nada suara Nana bergetar. Ia sangat takut kehilangan ibu yang teramat dicintainya.
"Teh Yati sudah berulang kali menghubungi saya lewat telepon kantor. Ia meminta saya untuk segera membawa ibu ke kota."
"Saya bisa pinjam mobil Pak RW untuk mengantar ibu. Hanya butuh satu jam perjalanan." Getaran suara Nana semakin terasa. Sudah puluhan kali ia membujuk ibunya. Puluhan kali pula ibunya menggelengkan kepala.
"Bukan itu yang hendak ibu bicarakan, ini wasiat ayahmu sebelum meninggal. Ia berpesan agar kau menemui seorang sahabat dekatnya, Pak Karta Sawitra. Ini alamatnya." Ibu kembali terbatuk-batuk. Ia menghirup nafas panjang untuk memberinya tenaga agar bisa berkata-kata lebih banyak. Tangannya meraih kartu nama di bawah bantal dan menyerahkan pada Nana.
"Kau temui beliau, katakan almarhum ayahmu hendak memenuhi janji yang terucap puluhan tahun silam, dan mintakan ma'af karena baru memenuhinya sekarang. Seharusnya ibu mengatakan ini sejak sepuluh tahun lalu saat ayahmu baru berpulang. Kau anak yang berbakti, ibu ridha terhadapmu. Sekarang Ibu ikhlas melepasmu. Ibu tahu semua kesulitan hidupmu. Berjanjilah pada ibu, kau akan menemui sahabat ayahmu." Nafas ibu terengah-engah. Keringatnya makin deras mengucur.Â
"Allah... Hu... Akbar!" Suara ibu tertahan. Rasa sakitnya mulai tak tertahankan. Anehnya, air muka ibu bercahaya. Meskipun dahinya berkerenyit menahan sakit, mulutnya tak henti bertahlil.
"La... Ila ha ilallah..." Tarikan nafas satu-satu mengiringi ucapan tahlil yang mirip desahan.
"Allah... Allah..." Berulang kali ibunya melafalkan Ashma-Nya dengan kesungguhan. Nana berurai air mata, diciumnya kening dan punggung tangan ibunya berulang kali. Ingin rasanya ia bisa memindahkan rasa sakit yang diderita ibunya saat ini pada dirinya.Â
Tak disangka oleh Nana ini adalah pagi terakhir ia berbincang bersama ibunya sebelum berangkat menuju sekolah. Biasanya ia selalu minta ijin untuk pergi ke sekolah dengan memenuhi segala keperluan ibunya terlebih dahulu. Â Kini, ibunya pergi untuk selamanya.Â
Kakak-kakak dan adiknya hanya bisa menangis ketika dihubungi. Mereka baru bisa berkumpul setelah ibu dishalatkan. Mereka sangat menyesal tidak bisa melepas kepergian ibu dengan baik, mengingat belum banyak bakti yang bisa mereka persembahkan untuk ibu. Nana tak pernah menyalahkan mereka. Semua punya alasannya sendiri.Â
Ibu pun tak pernah menuntut apa-apa. Meskipun mereka berempat dibesarkan dengan kasih sayang yang sama, Nana merasa ibu paling menyayanginya. Padahal perawakan dan wajah Nana jauh berbeda dengan yang lain. Hanya Nana yang berkulit putih dan tubuhnya paling tinggi. Garis hidung Nana tinggi dan membengkok, banyak yang menyangka dirinya keturunan Arab atau Mesir.
***
Nana termenung memandangi kartu nama ditanggannya. Karta Sawitra F.
Sudah sebulan ibu berpulang. Hatinya berbisik untuk pergi memenuhi amanat yang diembannya. Sesaat ia ragu bila harus meninggalkan anak didiknya di sekolah. Bagaimanapun ia cinta pada pekerjaan dan semua anak didiknya. Bila ia terpaksa meninggalkan mereka itu menyakiti perasaannya. Ia pasti merindukan mereka. Dan Nana tahu mereka juga merasakan hal sama.
Nana mendekati sebuah rumah megah dengan pekarangan sangat luas berpagar tinggi, bernomor 2. Ia yakin ini alamat sahabat karib ayahnya. Ia sekarang yang bertanya-tanya, apa yang dijanjikan ayahnya pada sahabatnya itu?
Ir. Karta Sawitra telah berusia 75 tahun, namun badannya masih tegap wajahnya pun nampak berseri-seri saat menyambutnya.Â
"Kau Nana Suryana Fajar?" Pak Karta bukan hanya menyalaminya namun memeluk erat dirinya dengan penuh kasih sayang. Nana mengangguk perlahan. Ia heran Pak Karta bisa mengetahui namanya dengan baik.Â
"Ceritanya panjang, butuh waktu yang lama agar bisa terang-benderang." Lanjut Karta. Perasaannya berbaur antara sakit menahan kerinduan dan rasa bahagia bertemu orang yang berada dihadapannya kini. Sambutan hangat ini diluar dugaan Nana.
"Kau adalah anak lelakiku yang kutitipkan pada Rahmat Rochimat, untuk dia besarkan. Waktu itu aku terpuruk terkena fitnah dan Rahmat yang menolongku untuk membesarkanmu. Ternyata Rahmat baru bisa mengembalikanmu sekarang. Kau mirip sekali ibumu!"
"Mari kita temui ibumu, ia sudah menunggumu sejak lama. Hubungan kami terputus sejak Rahmat pindah rumah. Kami tak tahu alamatnya. Bertahun lamanya aku mencarimu, Nak!" Mata Karta berkaca-kaca.
Nana tersenyum geli, bisa juga ia membayangkan sebuah skenario untuk cerpen yang akan ia buat untuk lomba literasi di sekolah.
Ia ingin melanjutkan dengan kisah bahwa Ir. Karta Sawitra, ayahnya, memberikan bantuan sebagai donatur tetap untuk menggaji guru-guru honorer di sekolahnya yang berjumlah lima orang guru termasuk dirinya.Â
Nana sadar kisah seperti itu hanya ada dalam sinetron dan buku novel, kembali ia tersenyum kecut.
Ia teringat Pak Guru Putra termasuk guru honorer yang paling menderita. Ia memiliki banyak hutang karena harus membiayai sekolah untuk kedua anaknya. Padahal isterinya sudah bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Nana merasa iba bila melihat kedua anak Pak Putra yang kurus kering, seperti dirinya, tapi mereka adalah generasi masa depan seharusnya memiliki kekuatan fisik dan jiwa yang paripurna untuk menggantikan para pemimpin negeri ini kelak.
Sekali lagi ditatapnya kartu nama Karta Sawitra. Sebenarnya apa janji bapak? Siapa dia? Mengapa bapak tak pernah bercerita apapun tentang sahabatnya ini?
Begitu banyak tanya di kepala Nana. Akhirnya ia putuskan meminta ijin kepada Pak Kepala Sekolah selama dua hari untuk menemui Karta Sawitra.
Bandung, 24 November 2018
Selamat Hari Guru
25 November 2018
Teruntuk guru honorer di seluruh Indonesia, "Bangkit dan berjayalah!"
Link selanjutnya
https://www.kompasiana.com/temaliasih/5bfa29b0bde5753cd75402e2/langit-pun-bertabik-pak-guru-2
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H