Hari mulai gelap ketika Karmin mengandangkan angkotnya ke garasi majikannya. Ya Karmin hanyalah sopir angkot yang bekerja pada seseorang juragan yang namanya Paidi. Di desanya Paidi dikenal sebagai seorang serba perhitungan dan kikir. Jangankan uang seribu, uang seratus saja dihitungnya, ditungguinya.Â
"Lha wong kalo kurang seratus saja, ya bukan seribu pula namanya", begitulah ungkapan Paidi yang populer dikalangan masyarakat desanya.
Sore itu seperti hari-hari kemarin sejak ditetapkannya darurat covid-19 oleh pemerintah. Beberapa orang takut untuk keluar rumah, takut tertular virus. Lebih memilih di rumah sambil duduk jigang dan minum kopi.Â
Tapi apakah selamanya begitu? Ya nggak juga, sebab lama-lama uang juga habis, mesti cari lagi. Bayangkan saja berdiam di rumah tanpa pemasukan sama sekali. Lha terus kita makan apa? Ya kalo pemerintah kita memberi subsidi seperti negara tetangga kita. Kalo nggak, ya berarti kita kelaparan.Â
Sebentar kemudian dihelanya nafas dalam-dalam. Jidatnya yang kusam itu terlihat semakin kusam diterpa debu jalanan. Wajahnya murung seperti tak ada lagi gairah fan harapan. Hari ini sepi, setoran angkot sepertinya ngga cukup ada lebih.
"Min, kok hanya segini setornya?" Tanya Paidi.
"Ya juragan, sejak dua minggu ini nggak ada penumpang", Karmin mengeluh
"Min min, ini jaman bebendu. Semua orang di dunia sedang mengalami nasib yang sama. Serba susah, saya juga tahu. Tapi kalo kita lantas nyerah nggak narik angkot terus mau makan apa? Apa mau dikasih rumput?", sergah Paidi.
"Ya juragan"
"Nih untuk kamu", Paidi mengulurkan uang pada Karmin.
"Terima kasih juragan, saya mau pamit", jawab Karmin sambil menerima uang itu
"Ya Min" Jawabnya
Gontai langkah kakinya meninggalkan rumah juragannya. Pikirannya melambung menembus langit yang sudah gelap. Untung juragannya ngasih uang lima belas ribu. Padahal harusnya uang itu pas untuk membayar setor angkot. Entah mungkin juragannya sedang baik hati.
Dibukanya pintu rumahnya, Karmin langsung menuju kamar mandi. Direndamnya semua pakaiannya, dan dan dia mandi. Ah segarnya air ini membuat fikirannya sedikit fresh.Â
"Mak, ini uangnya", dia mberilan uang itu pada istrinya Lastri.
"Lagi sepi ya kang?", tanya Lastri
"Ya, sejak issue virus corona, orang jadi sungkan bepergian, lha wong biasanya kalo pagi dan siang pelajar pada naik angkot, lha ini sepi pada libur", sahut Karmin.
"Ya gimana lagi kang, yang penting bisa untuk kita beli beras. kemarin udah ngutang ke warung tetangga." keluh Lastri.
"Semoga cepat pulih kembali seperti sedia kala, cukuplah derita karena virus ini"
"Ya kang, tak buatkan teh hangat ya kang?", istrinya tersenyum
Ya begitulah, tubuhnya yang lelah seharian penuh membanting tulang hanya dapat Rp. 15.000,- itupun dari pemberian juragannya yang sebenarnya pelit. Entah apa yang bisa membuatnya begitu. Mungkin pandemi ini bisa menyadarkannya. Walaupun tidak sepenuhnya sadar. Lumayan uang segitu bisa untuk nempur beras. Keluarganya masih bisa makan.Â
"Ini kang teh hangatnya, diminum dulu", istrinya menaruh minuman di atas meja, kemudian dia masuk ke dalam kamar ngeloni anaknya yang paling kecil.Â
Sruputtt.... ah nikmatnya teh hangat ini begitu batinnya. Hangatnya teh itu membuat lelahnya hilang seketika hingga akhirnya Karmin tertidur di sofa. Tubuhnya yang kurus itu seperti terhempas diterjang badai kehidupan. Â
Tsunami wabah covid-19 yang membuat ciut hati banyak orang. Gamang menyisiri perjuangan ini. Baginya hidup dan mati itu adalah suratan Illahi. Tidak ada orang yang tahu dan itu adalah hak prerogatif Allah semata. Hidup adalah perjuangan untuk mencari nafkah anak dan istrinya.
Tidur Karmin semakin lelap, selelap mimpi-mimpinya untuk menggenggam dunia. Menggenggam sejumput harapan di atas pandemi covid-19. Tekadnya sudah bulat, apapun yang terjadi dia harus berjuang agar tetap hidup.
Penulis : Teguh Wiyono
KBC-50
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H