Data penelitian dari berbagai negara telah menunjukkan bahwa kawula muda yang melakukan seks konsensual, merasakan kenikmatan, dan menggunakan perlindungan/kontrasepsi cenderung memiliki kesejahteraan mental positif. Faktanya, negara-negara dengan sikap toleran terhadap seks (namun anti kekerasan seksual) adalah negara-negara demokratis paling aman dengan indeks perkembangan manusia paling tinggi di dunia seperti negara-negara Skandinavia, Denmark, Belanda, Jepang, Australia, dan Selandia Baru.
Sebagai simpulan, tulisan ini telah memaparkan mengapa pasal perzinahan seharusnya tidak disahkan jika kita masih menginginkan demokrasi, kebebasan beragama, progresi budaya, hak reproduktif perempuan, dan hak untuk bebas dari rasa takut, intimidasi, dan persekusi.
Ada dua hal yang saya khawatirkan (atau curigai) seputar dukungan yang begitu kuat dari politisi, akademisi, dan masyarakat umum bagi revisi pasal ini. Pertama, akademisi yang mendukung revisi ini tampaknya adalah akademisi yang abai dan bukan pakar di bidang ini --mereka bukan peneliti seksualitas, tidak punya publikasi seksualitas di jurnal bereputasi, dan bahkan mungkin tidak pernah membaca hasil-hasil penelitian tentang seksualitas.
Kedua, yang lebih mengkhawatirkan, adalah mereka-mereka yang mendukung pasal ini nampaknya memiliki ideologi politik yang bertentangan dengan demokrasi, yaitu mencoba memaksakan moralitas agama mereka pada seluruh aspek kehidupan berbangsa. Ini adalah usaha merongrong Pancasila.
*tulisan ini sudah pernah tayang di sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H