Contoh lain adalah poligami yang telah berabad-abad menjadi pola keluarga di Indonesia, apakah berarti poligami adalah "budaya Indonesia" yang harus dipertahankan di abad 21 ini? Ketidakadilan dan penindasan terhadap perempuan secara historis juga adalah "budaya" kita, hingga baru-baru ini saja setelah diskursus feminis masuk ke Indonesia. Hanya karena seks-hanya-dalam-penikahan adalah naratif yang dominan dalam praktik kultural Indonesia saat ini, bukan berarti praktik itu selalu-begitu-di-masa-lalu, semua-harus-begitu-di-masa-kini, dan harus-menjadi-begitu-di-masa-depan. Budaya selalu bergeser dan berubah, dan saya berharap "budaya Indonesia" terus bertransformasi menjadi budaya yang lebih manusiawi, ramah, menghargai hak asasi, demokrasi, dan kebebasan individu.
Argumen tipikal lain dalam debat pasal perzinahan ini adalah demonisasi "seks bebas" sebagai alat kolonialisme modern Barat yang hendak menjajah Indonesia kembali secara budaya. Barat diposisikan sebagai agresor, sang liyan, imoral; sementara Indonesia itu murni, innocent, korban imperialisme. Dikotomi ini dengan cepat membangkitkan sentimen nasionalis.
Namun, mungkin perlu dipikirkan kembali, hanya karena sesuatu itu berasal dari luar/asing, bukan berarti hal itu pasti buruk, imperialis, atau bertentangan dengan "budaya Indonesia."
Demokrasi, misalnya, adalah produk peradaban asing; seperti halnya sains, teknologi, handphone, laptop, dan kendaraan bermotor. Haruskah kita boikot semua produk ini hanya karena mereka dari luar/asing? Agama-agama besar di Indonesia pun bukan merupakan produk lokal kita. Hindu dan Buddha dari Asia Selatan dan Tengah, Konghucu dari Tiongkok, Kristen dan Katolik datang bersama dengan penjajah Eropa, dan Islam bersama pedagang-pedagang Gujarat. Tidak satu pun "asli" Indonesia. Haruskah kita larang semua agama ini karena mereka bukan "budaya kita"? Bukan berarti kita tidak perlu kritis dengan pengaruh "asing," yang terpenting adalah menimbang-nimbang dampaknya secara komprehensif bagi seluruh rakyat Indonesia, bagi kesejahteraan dan kesehatan kita, bagi demokrasi dan kedamaian kita.
Demikian pula dengan agama, sering dijadikan dasar untuk mendemonisasi dan mengkriminalkan seks di luar pernikahan. Saya sudah berargumen sebelumnya bahwa moralitas (agama) tidak sama dengan hukum. Di sini saya akan menunjukkan problem lain: interpretasi mana dari ajaran mana dari agama mana yang menentang seks di luar nikah? Seperti budaya, agama bukanlah entitas tunggal dan menetap. Dalam setiap agama selalu ada keragaman teologi, ajaran, dan interpretasi.
Dalam agama saya Kristen Protestan misalnya, ada beragam pendapat tentang seks di luar nikah. Di kubu yang satu, ada gereja-gereja yang mengonfirmasi nilai budaya dominan tentang seks-hanya-dalam-pernikahan dan menginterpretasi Alkitab sesuai nilai budaya ini. Di kubu yang lain, ada teolog-teolog yang menolak klaim sederhana seperti itu, karena sebenarnya tidak ada larangan eksplisit di Alkitab.
Di Perjanjian Lama misalnya, ketika seorang lelaki melihat seorang gadis di jalan dan memerkosanya, hubungan seks itu tidak dihukum dengan rajam (seperti halnya jika perempuan itu adalah istri orang lain), tetapi si pemerkosa harus menikahi si korban. Si korban harus seumur hidup berpasangan dengan pemerkosanya. Hukum ini tentu tidak dipraktikkan lagi di zaman sekarang, sekali pun tertulis secara eksplisit di Alkitab. Kedua kubu mengklaim pendapatnya didasarkan oleh interpretasi yang akurat terhadap Alkitab.
Dalam negara demokrasi, keragaman interpretasi moralitas agama harus dilindungi, selama tidak merampas hak dan kebebasan orang lain. Sekali pun seandainya mayoritas agama-agama di Indonesia menentang seks di luar nikah, pasal perzinahan tetap tidak dapat dibenarkan menjadi aturan hukum, demi kebebasan beragama dan berkeyakinan kita.
Secara sosial-psikologis, revisi pasal perzinahan mendorong (re)viktimisasi perempuan dan anak-anak. Penyintas perkosaan oleh pacar (date rape) misalnya, akan makin takut melapor ke pihak berwajib karena ia dapat dipenjara karena telah melakukan seks di luar nikah. Saat ini tidak ada pengecualian dalam pasal tersebut, artinya semua seks di luar nikah dapat dihukum termasuk mereka yang dipaksa. Pasal ini jelas-jelas menjadikan perkosaan makin sulit dilaporkan.
Selain mengkriminalisasi penyintas, pasal perzinahan juga mengkriminalisasi pekerja seks komersil (PSK) karena seks dengan klien mereka bukan dalam ikatan penikahan. Riset-riset telah membuktikan bahwa seorang perempuan menjadi PSK umumnya bukan karena ia ingin atau bercita-cita menjadi PSK, namun keputusan menjadi PSK seringkali datang dari kondisi kesulitan dan keterpaksaan. Regulasi kesehatan, perlindungan hak, dan pemberdayaan PSK adalah langkah yang lebih baik daripada mengkriminalkan mereka. Selain itu, persekusi dapat meningkat drastis dengan adanya pasal perzinahan yang memberikan dasar hukum bagi tindakan anarkis-moralis-main hakim sendiri tersebut.
Menakut-nakuti adalah strategi yang khas digunakan kelompok konservatif dalam berpolitik: tanpa pasal perzinahan, anak-anak cucu-cucu kita akan bebas berhubungan seperti binatang, dapatkan Anda membayangkan itu terjadi? Gambaran seperti ini dengan cepat mengundang respon reaktif; namun, kita mungkin perlu mencari tahu dahulu apa yang telah diteliti secara ilmiah tentang hal ini.