Belagak tanya-jawab dengan entah siapa, Kang Togok tidak sengaja memasang tampang kecewa dan mutung. Mbak-mbak berbaju putih dengan renda-renda didepannya mulai tak sabar dan beringsut keluar dari duduknya.
'Sudah, Paak..?'
'Sebentar lagi, katanya mau di SMS nomernya.'
'Maaf, Pak. Sudah ada 2 customer menunggu di belakang bapak'
Kang Togog mulai mengendus perlakuan kasar, merasa diusir dan tidak layak berlama-lama di ruangan itu.
'Enggak ada yang nyuruh mereka nunggu.' Ketus Kang Togog.
'Kami harus melayani semua tamu, pak'. Sekilas Kang Togok melirik sejurus ke depan. Benar-benar tampang budak kapitalis yang dihadapinya.
'Mbak, suruh saja bos mbak cari tambahan pegawai baru.'
'Baiklah, Pak. Saudara bapak tadi punya rekening di Bank 'Berdikari?'
'Punya, namanya Mbilung Bin Bagong, dan dia juga ngekos'
'Hubungannya dengan bapak, Om atau sepupu?'
'Yang pasti dia sudah tidak jomblo lagi, mbak...!'
Wanita itu pura-pura tidak menggerutu sembari mengetik sesuatu di komputernya. Kemudian dengan agak cepat mengangkat telepon.
'Selamat siang, benar ini rumah bapak Mbilung?...Bukan ya bu, maaf salah sambung'. Telepon ditutup dan segera menghadapi Kang Togog seperti sedang belajar senyum.
'Maaf sekali, Bapak Togog. sebaiknya setelah ada nomor telepon rumah nanti bapak baru kembali lagi kesini'
'O begitu..ya sudah'