Mohon tunggu...
Abdul Rahman
Abdul Rahman Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis dan penulis

Kenikmatan yang diberikan Allah juga ujian.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Mawar dari Ambarawa

23 Oktober 2020   06:13 Diperbarui: 23 Oktober 2020   06:47 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Aku ingin menulis tentang mu

Tentang apa saja yang berkaitan dengan mu

Kau tumbuh di udara yang sejuk

Penuh cinta dan kasih sayang

Penuh belaian rindu

Dari ibu yang memiliki sejuta pengorbanan

Namun tetap diam

Walau perih melingkupi hatinya

Walau sakit menemani hari harinya

Walau ketakberdayaan mewarnainya

Kau tak akan tahu betapa dia selalu menyembunyikan sorot matanya

Agar tak terlihat saat menangis

Di balik punggungmu, dia usap dengan tangannya

Yang selalu menyayangimu

Membimbingmu dan menunjukkan betapa hidup penuh warna

Dia ingin daun-daunmu tumbuh mekar 

Hijau

Lebar hingga mudah menangkap cahaya matahari Dia ingin kelopaknya tumbuh merah membara seperti mata telaga yang bening berani mengunggkapkan pendapat

Tapi menjadi sayu ketika menatap yang dirindu

Menjadi indah saat jatuh cinta

Batangnya kokoh menancap ke bumia

Seperti keyakinannya atas sesuatu yang kau anggap benar

Kau lahir dari dua benih berbeda

Dua peradaban berbeda

Ayahmu kemerdekaan berpikir

Ibumu adalah kesetiaan dalam mencinta

Kau tumbuh menjadi pribadi yang berani dalam menentukan pilihan pilihan

Walau kadang sakit ketika salah dalam memilih

Tumbuh di belantara rindu

Merah merona

Harum mewangi

Jika cahaya matahari mengenai daun dan kelopkamu

Seperti enggan berpindah ke kelopak hang lain, dia terus menyinari

Seperti mata kekasih yang terus menatap

Tatkala rindu membuncah di kalbu

Hanya karena kau, belantara rindu itu berubah laksana taman cinta

Penuh tawa

Ceria sepanjang hari

Tentu kau memukau para pencari kebenaran

Ingin memindah kau dan menempatkan pada setting yang lain

Ada yang hanya menatap dari kejauhan 

Dari balik semak dedaunan

Sambil berkata, "tak perlu kau tahu, aku mengagumimu."

Ada juga yang dengan malu - malu lalu sambil berlalu mencium aroma tubuhmu

Dan entah berapa puluh lelaki

Seperti kumbang yang mendekat lalu menghilang tak kuasa menatap auramu

Akarnya kuat menancap ke tanah Ambarawa

Kendati daunnya menjalar hingga ke ibukota

Harumnya dapat tercium dari sudut manapun

Pernah sekali kau melewati pagar berduri

Tak kau hiraukan tubuhmu terluka

Tanggung jawab haruslah dibela

Aku yang berdiri di batas cakrawala kesadaran hanya ingin berpesan 

Jangan dekati dia dengan niat jahat

Nanti terluka

Bukan karena tertusuk oleh durinya

Bukan...

Kau terluka karena melihat betapa menderitanya dia ketika disakiti

Dan berusaha tetap tersenyum sambil menahan tetesan air mata yang akan jatuh dari kelopak matanya

Kalau saja kau tahu bahwa dia adalah mawar tanpa duri

Kau tak akan segegabah itu 

Dia bisa melukai bukan dengan durinya

Tapi dengan cara tidak melukai

Jakarta, 23 Oktober 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun