Mohon tunggu...
Teguh Prasetio
Teguh Prasetio Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Prodi Manajemen dan Jaya Launch Pad-Universitas Pembangunan Jaya

Sangat menyukai mendiskusikan dan membahas kewirausahaan, manajemen, inovasi sosial. Gemar mendengarkan musik dan nonton film dokumenter.

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur

Wirausaha Sosial dan Masalah Sosial

29 Juli 2022   12:53 Diperbarui: 29 Juli 2022   13:04 832
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (www.bps.go.id) perekonomian Indonesia pada triwulan IV 2021, telah mengalami pertumbuhan 5,02% dibandingkan periode yang sama tahun 2020. Hal ini tentu saja merupakan berita yang menggembirakan, mengingat kita masih berada dalam kondisi pandemi Covid19 yang belum sepenuhnya pulih. Sekalipun demikian, terdapat fenomena menarik terkait dengan masalah sosial dimana jumlah masyarakat miskin di perkotaan mengalami kenaikan, dari 7,88% di bulan September 2020 menjadi 7,89% pada bulan Maret 2021(www.bps.go.id). Sebaliknya jumlah masyarakat miskin di perdesaan turun dari 15,51 juta pada September 2020 menjadi 15,37 juta di bulan Maret 2021 (www.bps.go.id).

Fenomena di atas dapat menjadi indikator bahwa di perkotaan, lebih rentan terhadap risiko munculnya masalah-masalah sosial dibandingkan dengan di perdesaan. Sekalipun bukan mustahil masalah sosial juga dapat terjadi di perdesaan, prioritas pemecahan masalah-masalah sosial yang lebih mendesak adalah yang terjadi di perkotaan.

Kemiskinan dan Masalah Sosial

Terjadinya peningkatan kemiskinan di perkotaan dapat menjadi pemicu munculnya masalah sosial. Sejalan dengan hasil penelitian Manshor et al (2020) yang menyebutkan bahwa kemiskinan merupakan faktor utama munculnya masalah sosial. Ada berbagai bentuk masalah sosial yang bisa terjadi di perkotaan, seperti masalah keuangan, kepadatan penduduk, perumahan yang tidak layak huni, tuna wisma, kemacetan lalu lintas dan buruknya transportasi umum, polusi udara, hingga kesehatan mental.

Manshor et al (2020) menggambarkan keterkaitan antara kemiskinan dengan masalah sosial sebagaimana diagram berikut:

kemiskinan-dan-masalah-sosial-62e37045a51c6f4cdf168a92.jpg
kemiskinan-dan-masalah-sosial-62e37045a51c6f4cdf168a92.jpg
Dalam konteks situasi pandemi di Indonesia, maka diagram di atas menjadi semakin relevan. Pandemi telah membuat angka pengangguran meningkat. 3,1 juta orang menganggur akibat bisnis yang terpukul oleh Covid19 sebagaimana disampaikan oleh Menteri Tenaga Kerja pada tahun 2000. Pengangguran membuat penghasilan yang selama ini diterima akan terhenti yang berujung kepada terjadinya kemiskinan. Dan kemiskinan ini berpotensi menimbulkan masalah-masalah sosial.

Ketika terjadi berbagai masalah sosial, maka social entrepreneur (wirausaha sosial) memiliki peran besar untuk menjadi penyedia solusi atas berbagai masalah sosial tersebut melalui inovasi-inovasi sosial yang dilakukan (Samuelson & Witell, 2019).

Ishigaki & Sashida (2013: 433) menggambarkan proses inovasi sosial dalam suatu gambar berikut:

proses-inovasi-sosial-62e370a3a51c6f4cdf168a95.png
proses-inovasi-sosial-62e370a3a51c6f4cdf168a95.png
Proses inovasi sosial dimulai dengan membuat "hub" atau "titik hubung" yang terdiri atas komunitas yang ditargetkan atas dasar kepercayaan (trust) serta melakukan kegiatan yang beragam, seperti melakukan survei dan kajian.

Langkah selanjutnya adalah melakukan klarifikasi atas situasi masalah dan mendorong adanya empati. Pada tahap ini dilakukan survei lapangan dengan mewawancara masyarakat dan pengampu kepentingan lainnya.

Kemudian menciptakan visi dan memformulasikan pengukuran. Pada tahap ini dilakukan workshop yang melibatkan pengampu kepentingan lokal dengan tim pakar/spesialis.

Tahap terakhir adalah melakukan evaluasi atas pengukuran yang dibuat. Disini dilakukan pengujian kecocokan dan kelayakan pengukuran melalui berbagai tingkatan purwarupa (Ishigaki & Sashida, 2013).

Inovasi sosial yang mampu diwujudkan akan menjadi katalisator utama untuk memecahkan masalah-masalah social yang ada. Inovasi social memungkinkan tumbuhnya partisipasi masyarakat dan tergerak untuk memecahkan masalah social yang ada.

Jenis-jenis Wirausaha Sosial

Istilah wirausaha sosial dan kewirausahaan sosial, untuk pertama kalinya digunakan di dalam kepustakaan perubahan sosial pada tahun 60an dan 70an. Istilah ini kemudian semakin dikenal luas pada tahun 80an dan 90an setelah dipromosikan oleh pendiri Asoka, Bill Drayton (Baporikar, 2015: 3).

Penelitian Samuelsson & Witell (2019) mengategorikan wirausaha sosial sebagai individu-individu yang terlibat secara proaktif dalam inovasi sosial, yang memiliki perbedaan tipologi wirausaha sosial (social entrepreneurs), setidaknya ada tiga (3) jenis social entrepreneurs:

  • The Discoverer (Sang Penemu): wirausaha sosial tipe ini merasa mereka harus menggunakan pengetahuan maupun ketrampilannya supaya dapat menanggapi dengan jauh lebih baik daripada tantangan pekerjaan sehari-hari.
  • The Seeker (Sang Pencari): wirausaha sosial ini merasa bahwa bekerja ala kadarnya bukanlah yang mereka ingin lakukan. Wirausaha jenis ini selalu mencari jatidiri baik di dalam organisasi maupun dalam kehidupan pribadinya.
  • The Ranger (Sang Penjaga): wirausaha sosial ini mirip karakteristiknya dengan The Seeker, namun mereka memiliki kompetensi dalam memberi kontribusi secara jauh lebih banyak daripada hanya sekedar citra diri saja.

Zahra et al. (2009) mengusulkan 3 tipologi kewirausahaan sosial yang oleh Betts, Laud & Kretinin (2018) digambarkan sebagai berikut:

tabel-wirausaha-sosial-62e3750508a8b5561c44762a.jpg
tabel-wirausaha-sosial-62e3750508a8b5561c44762a.jpg
Ketiga jenis kewirausahaan sosial di atas sangat relevan untuk dapat diterapkan pada situasi di Indonesia saat ini. Berbagai tipe wirausaha sosial membawa implikasi adanya kebutuhan dukungan yang berbeda pada berbagai tahapan proses inovasi sosial. Lebih lanjut, manakala dikaitkan dengan institusi/lembaga, maka pihak yang terkait dengan platform inovasi sosial perlu memahami mekanisme pendampingan dan pengelolaan wirausaha sosial dalam keseluruhan proses.

Kewirausahaan sosial, menurut Ebrashi (2013) merupakan proses yang meliputi:

  • pencarian terus-menerus hal-hal yang akan membatasi secara kelembagaan dan sosial yang merujuk kepada kesalahan pasar dalam mendistribusikan barang publik secara adil,
  • mengeksperimenkan berbagai ide,
  • menetapkan organisasi-organisasi sosial yang inovatif,
  • memiliki luaran dan dampak sosial yang jelas,
  • menjalankan aktivitas demi mencapai luaran dan dampak sosial tersebut,
  • bekerja bagi pertumbuhan organisasi sosial,
  • memakai indikator-indikator spesifik bagi pengukuran keberhasilan organisasi mencapai dampak sosial yang ditetapkan.

Identifikasi Masalah Sosial

Trevino (2019) telah menguraikan pengertian masalah sosial sebagai suatu kondisi sosial, peristiwa, atau pola perilaku yang dapat memengaruhi kesejahteraan orang lain secara negatif dan diyakini bahwa kondisi, peristiwa, maupun pola perilaku tersebut perlu diperbaiki maupun diubah. Berdasar pemahaman tersebut, maka ketika kondisi sosial, peristiwa atau pola perilaku tidak berpengaruh negatif kepada orang lain, hal tersebut bukan menjadi masalah sosial. Untuk itu, identifikasi masalah sosial perlu dilakukan secara cermat dan hati-hati, agar solusi yang akan diberikan juga efektif.

Masalah sosial sendiri, bisa meliputi aspek objektif, maupun aspek subyektif (Trevino, 2019). Aspek objektif merupakan kondisi-kondisi maupun fakta-fakta empiris yang secara konkret merujuk kepada masalah sosial di luar sana. Sementara aspek subyektif mengacu kepada proses orang menggambarkan/mendefinisikan masalah sosial.

Masalah sosial menjadi penting karena kemampuannya untuk memberi dampak yang luas pada sejumlah besar orang dengan cara yang sama (Hart, 1923). Untuk itu, menyikapi masalah sosial tidak bisa dilakukan dengan kasus-per-kasus atau pun individual, namun perlu dilakukan secara meluas.

Masalah Sosial

Masalah sosial, seringkali dipandang harus dipecahkan oleh pemerintah maupun lembaga nirlaba. Saat ini, pandangan tersebut mulai menipis, karena muncul pendekatan baru dalam mengatasi masalah sosial melalui kewirausahaan sosial (Betts, Laud & Kretinin, 2018). Wirausaha sosial tidak hanya mengejar hasil atas investasinya, namun juga hasil bagi masyarakat.

Wirausaha sosial bahkan bisa memecahkan masalah yang dihadapi oleh masyarakat dan tidak bisa dipecahkan oleh sektor swasta (perusahaan swasta) karena manfaatnya tidak dapat seketika dirasakan. Kebanyakan sektor swasta menuntut manfaat yang seketika bisa dirasakan saat mereka melaksanakan suatu program (Bratasanu, 2020). Kelebihan inilah yang membuat wirausaha sosial lebih efektif saat menghadapi masalah sosial.

Kewirausahaan sosial mendukung konstruk masalah sosial sebagai masalahpengetahuan yang akan mampu dipecahkan melalui inovasi teknis untuk mendorong terjadinya kompetisi di antara wirausaha-wirausaha sosial yang ada (Ganz, Kay & Spicer, 2018). Melalui kompetisi tersebut kemudian akan muncul berbagai inovasi baru yang diyakini efektif menyelesaikan masalah sosial.

Wirausaha sosial berpeluang untuk menawarkan kepada komunitas dimana mereka berada beberapa hal (Bratasanu, 2020):

  • Barang maupun jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat, melalui inovasi untuk memecahkan masalah buta huruf, kemiskinan, ketergantungan pada minuman keras, misalnya.
  • Lapangan pekerjaan baru.
  • Penciptaan modal sosial, untuk mencapai tujuan jangka panjang dan pengembangan sosial.

Penutup

Masalah sosial yang ada di masyarakat memerlukan keterlibatan banyak pihak untuk memperoleh solusi yang efektif. Ketergantungan kepada pemerintah saja sebagai pihak yang diminta bertanggung jawab atas pemecahan masalah sosial, hanya akan membuat masalah tersebut terus ada dalam jangka panjang.

Wirausaha sosial memiliki kesempatan untuk mengambil peran sebagai agen yang akan terlibat dalam pemecahan masalah-masalah sosial, terutama melaui penciptaan inovasi-inovasi sosial.

Perguruan tinggi, dapat memegang peran sebagai instusi yang melahirkan wirausaha-wirausaha sosial melalui proses pembelajaran kewirausahaan yang dikaitkan secara langsung dengan masalah sosial yang ada di sekitar kampus. Dengan adanya interaksi secara langsung tersebut, mahasiswa diharapkan akan memiliki kepekaan dan empati untuk memberi kontribusi bagi pemecahan masalah sosial di masyarakat.

Sumber Pustaka:

  • Baporikar, N. (2015). Incorporating Business Models and Strategies into Social Entrepreneurship.
  • Betts, S.C., Laud, R., & Kretinin, A. (2018). Social Entrepreneurship: A contemporary Approach to Solving Social Problems. Global Journal of Entrepreneurship. Vol. 2 No. 1. Pp. 31-40.
  • Bratasanu, S. (2020). Solving the Social Problems of the Community Through the Contribution of Social Entrepreneurship. Economic Sciences Series. Vol. XX. No. 1. Pp. 277-282.
  • Biro Pusat Statistik (2022), Berita Resmi Statistik, No. 14/02/Th. XXV, 7 Februari 2022
  • Biro Pusat Statistik (2021), Berita Resmi Statistik, No. 53/07/Th. XXIV, 15 Juli 2021
  • Ebrashi, R. E. (2013). Social Entrepreneurship Theory and Sustainable Social Impact. Social Responsibility Journal. Vol. 9 No. 2. Pp. 188-209.
  • Ganz, M., Kay, T., & Spicer, J. (2018). Social Enterprise is Not Social Change. Stanford Social Innovation Review. Spring.
  • Hart, H. (1923). What is a Social Problem? American Journal of Sociology. Vol. 29 No. 3
  • Ishigaki, K. & Sashida, N. (2013). Use of Social Innovation to Solve Problems at the Community Level and Create New Business in the Social Domain. Fujitsu Sci. Tech. Journal. Vol 49, No. 4. Pp. 430-439.
  • Manshor, Z., Abdullah, S., & Hamed, A. B. (2020). Poverty and the Social Problems. International Journal of Academic Research in Business and Social Sciences, Vol. 10 (3), pp. 614-617
  • Samuelsson, P. & Witell, L. (2019). Social entrepreneurs in service: motivations and types. Journal of Service Marketing. Vol. ahead-of-print No. ahead-of-print.
  • Trevino, A. J. (2019). Investigating Social Problems. Edition 2. LA: Sage Publications, Ltd.

Zahra, S. A., Gedajlovic, E., Neubaum, D. O., & Shulman, J.M. (2009). A Typology of Social Entrepreneurs: Motives, Search Processes and Ethical Challenges. Journal of Business Venturing, Vol 24. Pp. 519-532

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun