Mohon tunggu...
Teguh Gw
Teguh Gw Mohon Tunggu... Guru - Pernah menjadi guru

Pemerhati pendidikan, tinggal di Semarang, Jawa Tengah

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Menulis: Mengasah Nalar dan Rasa Bahasa

25 September 2023   17:19 Diperbarui: 26 September 2023   19:21 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Seorang gadis belia. Berkerudung putih, serupa warna bajunya. Menggendong tas mungil di punggungnya. Mengenakan rok merah panjang hingga menutup mata kakinya. Usai memakai sepatu, dia berpamitan kepada ibunya. Salim dan cium tangan. Sebelum berangkat, ibunya mengecup kening dan mencium kedua pipinya.

"Salam buat Bu Guru, ya, Sayang," pesan ibunda.

Sejurus kemudian, si gadis meninggalkan rumah bersama sepeda mininya.

Kalimat terakhir paragraf pertama saya tulis dengan huruf tebal. Pertanda ada sesuatu di sana. Dalam komunikasi lisan, kalimat seperti itu jamak kita temukan. Saya pun yakin, tidak ada pendengar yang mempersoalkan konstruksi kalimat itu. Pendengar memahami maksud penutur. Tidak terjadi miskomunikasi di antara kedua pihak.

Memang, ketika mendengar kalimat itu terucap, kita serta-merta memahami maksudnya: sebelum gadis itu berangkat, ibunya mengecup kening dan kedua pipi gadis itu (anaknya). Bukankah demikian?

Apakah tidak ada masalah pada kalimat tersebut? Untuk membedahnya, kita lepaskan kalimat tersebut dari konteksnya. Kita bayangkan, kalimat Sebelum berangkat, ibunya mengecup kening dan mencium kedua pipinya itu hadir (lisan atau tulisan) sendirian, tanpa kalimat-kalimat sebelum dan sesudahnya.

Sebelum berangkat, ibunya mengecup kening dan mencium kedua pipinya.

Siapa yang berangkat? Kecil sekali kemungkinannya pendengar/pembaca akan memahami bahwa yang berangkat bukan ibunya. Bahkan sah-sah saja bila pendengar/pembaca bertanya-tanya, "Kening dan pipi siapa yang dikecup dan dicium?"

Kesepahaman (siapa yang berangkat) dan ketidaksepahaman (kening dan pipi siapa) pendengar/pembaca terhadap kalimat tersebut berpangkal pada subjeknya. Kalimat itu sebenarnya majemuk, terdiri dari dua klausa: (1) sebelum ... (subjek) berangkat dan (2) ibunya mengecup kening dan mencium kedua pipinya. 

Kehadiran preposisi sebelum menunjukkan bahwa klausa (1) berfungsi sebagai keterangan waktu untuk klausa (2). Jadi, klausa (1) menjawab pertanyaan, "Kapan ibunya mengecup kening dan mencium kedua pipinya?" dengan keterangan waktu sebelum berangkat. Dapatkah disangkal bahwa yang berangkat adalah ibunya? 

Kalimat majemuk yang salah satu klausanya menjadi bagian dari klausa yang lain, seperti kalimat yang sedang kita bedah ini, disebut kalimat majemuk bertingkat atau kalimat kompleks. Klausa yang menjadi bagian dari klausa yang lain biasanya berupa perluasan salah satu unsur kalimat. Pada kalimat yang sedang kita kupas, klausa (1) merupakan perluasan keterangan waktu. Klausa yang menjadi bagian dari klausa lain disebut klausa subordinatif atau anak kalimat. Sementara, klausa yang lainnya disebut klausa utama atau induk kalimat.

Dalam kalimat kompleks, subjek klausa subordinatif boleh dilesapkan dan tidak menimbulkan salah paham jika subjeknya sama dengan subjek klausa utama, seperti pada contoh-contoh berikut.
(a) Sebelum meninggal, kakekku minta disuapi bubur sumsum.
(b) Karena tersedak, kakekku tidak bisa bernapas.
(c) Ketika hendak diminumi, kakekku tidak merespons.
(d) Setelah diperiksa dokter, kakekku dinyatakan sudah meninggal.

Pada keempat kalimat tersebut, subjek klausa subordinatif sama dengan subjek klausa utama: kakekku. Pelesapan subjek pada klausa subordinatif seperti itu tidak menimbulkan kesalahpahaman. Maksud penutur dan persepsi pendengar/pembaca sama: yang meninggal, tersedak, hendak diminumi, dan diperiksa dokter adalah kakekku.

Jika yang dimaksud oleh penutur pada kalimat yang kita bahas di atas, yang berangkat adalah anaknya, subjek klausa (1) tidak boleh dilesapkan. Jadi, kalimat tersebut semestinya Sebelum dia (gadis itu) berangkat, ibunya mengecup kening dan mencium kedua pipinya. Pemunculan subjek klausa subordinatif yang tidak sama dengan subjek klausa utama ini akan menghilangkan potensi kesalahpahaman pendengar/pembaca. Sebaliknya, jika subjek tersebut tidak dimunculkan, persepsi pendengar/pembaca bisa tergelincir: subjek pada kedua klausanya sama. 

Sekali lagi, penalaran kritis terhadap kerancuan bahasa seperti ini hampir tidak pernah terjadi pada komunikasi lisan. Kaum linguis pun akan dengan mudah memaklumi, memaafkan, dan melupakannya. Mereka tidak berminat mengupasnya, kecuali untuk kepentingan penelitian ilmiah.

Nasib dangling sentence (maaf, saya belum menemukan padanan istilahnya dalam bahasa Indonesia) semacam itu akan berbeda ketika muncul dalam tulisan, terutama tulisan yang melibatkan editor. Seorang editor yang peka, peduli, dan "kurang welas asih" biasanya tidak rela kehadiran kalimat yang mengabaikan nalar bahasa seperti itu mencederai kehormatan penulisnya. Editor jenis ini suka mengasah nalar bahasa si penulis. Alhasil, cepat atau lambat, penulis akan cermat ketika menyusun kalimat. 

Lain cerita bila editor, selain kritis nalar bahasanya, juga punya sifat welas asih yang turah-turah. Editor tipe demikian tidak mau bersusah-susah menunjukkan alur penalaran agar si penulis memahami kekeliruannya lalu mengoreksi sendiri kalimatnya. Dengan ringan tangan, editor serta-merta mencoret, atau bahkan menghapus, kalimat rancu seperti itu lalu menggantinya dengan kalimat yang benar.

Selain nalar bahasa, menulis juga memungkinkan kita (selama tidak alergi terhadap "kekejaman" editor) mengasah rasa bahasa. Kepekaan rasa bahasa dipengaruhi oleh kekayaan diksi dan berkorelasi erat dengan jam terbang penulis di jagat literasi. Makin banyak dan variatif genre tulisan yang dibaca dan ditulis, makin kaya diksi yang dikuasai seseorang.

Mari, kita bandingkan dua paragraf berikut.

(a) Sebuah truk trailer berjalan cepat dari arah Ungaran. Klakson terus-menerus berbunyi keras. Seperti susah dikendalikan, truk tersebut menumbuk sejumlah kendaraan roda dua dan roda empat yang berhenti tertahan lampu merah di pintu tol Bawen. Belasan orang menjadi korban. Sebagian besar mengalami luka ringan dan berat, sebagian lagi wafat di tempat kejadian. Beberapa korban masih terjepit badan mobil yang penyok dan belum berhasil dievakuasi.

(b) Sebuah truk trailer melaju kencang dari arah Ungaran. Klakson tidak henti-hentinya berbunyi keras-keras. Seperti kesetanan, truk tersebut menabrak sejumlah mobil dan sepeda motor yang berhenti tertahan lampu merah di pintu tol Bawen. Korban pun berjatuhan. Selain korban luka ringan dan berat, tidak sedikit korban yang meninggal seketika. Beberapa korban belum berhasil dievakuasi karena tergencet bodi mobil yang ringsek.

Kedua paragraf tersebut berisi berita kecelakaan yang sama. Namun, paragraf (a) dan paragraf (b) pasti memberikan efek emosi berbeda kepada pembaca. Apa sumber perbedaannya? Ya, diksi.

Sekarang kita bandingkan kalimat-kalimat berikut dengan pasangannya masing-masing.

(1a) "Pak, saya boleh ikut latihan silat?" tanya Kancil.
(1b) "Pak, saya boleh ikut latihan silat?" pinta kancil.

(2a) "Bapak takut, kamu tidak bisa mengendalikan emosi," kata ayahnya.
(2b) "Bapak takut, kamu tidak bisa mengendalikan emosi," jawab ayahnya.

(3a) "Tapi boleh, kan, Pak?" tanya Kancil.
(3b) "Tapi boleh, kan, Pak?" bujuk Kancil.

(4a) "Kamu mestinya tahu maksud bapakmu," ucap ibunya.
(4b) "Kamu mestinya tahu maksud bapakmu," sahut ibunya.

(5a) "Kan, Bapak hanya khawatir, Bu," kata Kancil.
(5b) "Kan, Bapak hanya khawatir, Bu," eyel kancil.

(6a) "Bapak tidak ingin kamu jadi jawara liar!" jawab ayahnya.
(6b) "Bapak tidak ingin kamu jadi jawara liar!" tegas ayahnya.

(7a) "Belum mencoba, kan, Pak?" tanya Kancil.
(7b) "Belum mencoba, kan, Pak?" sanggah Kancil.

(8a) "Lupakan niatmu itu! Titik!" kata ayahnya.
(8b) "Lupakan niatmu itu! Titik!" bentak ayahnya.

Kata-kata berhuruf tebal pada kalimat-kalimat (b) memiliki efek emosi yang lebih kuat daripada pasangannya masing-masing pada kalimat-kalimat (a). Kata-kata berhuruf tebal pada kalimat-kalimat (a) tidak salah, tetapi gagal mengantarkan pembaca menyelam ke suasana batin penutur kalimat-kalimat kutipan itu.

Editor punya peran penting dalam mendorong penulis untuk memperkaya perbendaharaan diksi dan mempertajam rasa bahasanya. 

Jadi, jika Anda ingin melatih nalar dan rasa bahasa, mulailah menulis. Jika Anda sudah mulai suka menulis, tingkatkan frekuensinya. Jangan lupa, Anda butuh editor yang "kejam", selain peka dan peduli.

Tabik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun