Hal ini menunjukan, bahwa proses pencariannya terhadap kebenaran, senantiasa terus mengingat Tuhan sebagai sang pembimbing. Â
Lain halnya apabila proses pencarian manusia dalam kehidupannya tidak menyandarkan kepada nilai-nilai kebenaran, maka niscaya manusia tersebut ada dalam keadaan teralienasi atau terasing dalam proses pencariannya.
Banyak hal bisa ia temukan dalam proses keterasingannya, namun keniscayaan bahwa apa-apa saja yang ditemukan dalam pencarian tersebut akan sulit terkonfirmasi, mendapat petunjuk dari mana.
Dalam konsep budaya Sunda tersebut, tiga hal yang saling berkaitan diantanranya, mastaka, mustika, dan mistika, seyogiannya menjadi satu kesatuan utuh.Â
Dalam penegrtian mustika, tutup kepala tentunya menjadi mutlak adanya terutama dalam mengungkap nilai-nilai kebenaran dan implementasinya.
Sampai disini, kita boleh mengambil simpulan, bahwa peci sebagai representasi tutup kepala dalam suatu tradisi kehidupan bangsa.Â
Keberadaannya memungkinkan kita terus sadar dengan potensi bangsa sejak lama dan berakar menjadi suatu kekuatan budaya khas.
Khas dalam pengertian ini menjelaskan bahwa kehidupan bangsa Indonesia senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai ketuhanan dalam implementasi keberagaman bentuk-bentuk perjuangannya.Â
Tutup kepala semacam peci adalah sakral, sekaligus memiliki nilai kultural tinggi dalam kehidupan bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H