Kultural
Pemakaian peci selalu identik dengan kehidupan kaum muslim kebanyakan, apalagi pada hari atau bulan besar tertentu seperti saat haji atau ramadan.
Dengan berbagai macam kreasi dan inovasi, peci sebagai alat penutup kepala dengan fungsi sama, yaitu menjaga dahi agar tidak tertutupi rambut saat seorang mulim melakukan sujud.
Dari uraian diatas, tradisi beragama orang muslim dengan mengenakan peci, termasuk praktik pengejawantahan aturan atau tindakan dalam sebuah prosesi peribadatan.Â
Sebenarnya banyak penutup kepala secara kultural dalam hubungannya dengan pelaksanaan peribadatan tertentu, namun peci terlanjur menyebar luas dan akrab digunakan orang-orang muslim dalam kesehariannya.
Bersama peci, tersimpan nilai-nilai luhur terutama berkaitan dengan nilai dari akar budaya bangsa mengenai pentingnya kita mengagungkan kepala dan isinya.
Tradisi masyarakat Sunda misalnya, menyebut beberapa istilah kepala dan penutupnya kedalam tiga istilah saling berkaitan sesuai dengan situasi dan kondisi dalam penggunaan kepala dan tutup kepala.
Ada sebutan mastaka, bertarti kepala. Dalam hal kepala dengan kandungan organ vital bagi manusia seperti otak dan segala fungsinya untuk mengatur kelangsungan hidup tubuh secara mental dan jasmani, maka mastaka perlu dihias dan dilindungi oleh sesuatu bernama mustika.
Bersama dengan mastaka dan mustika, hiduplah sebuah nilai-nilai kemanusiaan yang senantiasa berhubungan dengan realitas Ketuhanan sebagai Sang Maha Pencipta yaitu realitas mistika.
Mistika, dari kata dasar mystic (Bahasa Inggris) menerangkan kepada kita mengenai suatu keadaan manusia yang terus mencari nilai-nilai kebenaran atau keutamaan (ketuhanan) setiap waktu.Â
Pada proses ini, manusia pencari nilai kebenaran ini selalu menyambungkan dirinya bersama dengan keberadaan Tuhan.Â