Seseorang begitu saja mengetik dalam kolom status sebuah grup Facebook atau FB berlatar nama institusi "BMKG", dengan tulisan "gempa".
Apakah grup FB itu resmi, terpercaya atau tidak, terutama berkaitan nama institusi yang dicatutnya, agak sulit memastikannya.
Namun, grup sudah terlanjur diikuti oleh puluhan ribu anggota didalamnya.
Status tanpa ada penjelasan apapun, kemudian mengundang respon anggota grup lain dengan berbagai tanggapan.
Ada yang menanyakan maksud status dan ada juga yang menyampaikan kekesalan atas ulah orang berbuat seenaknya melalui status yang ditulisnya.
Sebagian lain menghujat, dengan alasan dirinya sebagai korban dahsyat gempa bumi di suatu daerah tertentu dan mengaku trauma dengan kejadian yang pernah menimpanya itu.
Jadi kalau ada info gempa, ia langsung terperanjat dan bergegas bersiap-siap melakukan upaya penyelamatan dini diri dan keluarganya.
Media sosial (medsos) berbasis online, marak berada di tengah-tengah warga sejak teknologi internet diperkenalkan luas.
Keriuhan orang membuat akun, terjadi dimana-mana.
Tujuannya macam-macam terutama menyangkut eksistensi atau pengakuan keberadaan diri seseorang diantara lautan manusia di dunia.
Media sosial memang bisa melambungkan profile seseorang dan tidak sedikit mereka bercita-cita menjadi viral atas unggahan konten yang dibuatnya.
Tetapi, isi unggahan itu kadang baik atau bahkan sama sekali tidak mengindahkan kaidah-kaidah menyangkut penayangan informasi bagi publik.
Menayangkan apapun dan asal terkenal saja, sementara resiko lain yang ditimbulkan baik bagi dirinya atau orang lain, mudah diabaikan.
Pemberitaan beberapa waktu lalu, ada orang harus berurusan dengan hukum gara-gara menayangkan info soal akan adanya bencana gempa bumi besar menimpa Jakarta.
Tidak lama berselang, orang bersangkutan diamankan aparat dan mendekam di penjara dalam beberapa waktu.
Seolah tidak jera, info bohong kebencanaan berulang lagi menyebar pada waktu-waktu berikutnya dalam tempat berbeda.
Dan pelakunya pun menanggung konsekuensi berhadapan dengan penegak hukum dan berakhir tragis meringkuk di balik terali besi.
Kita menyayangkan, penggunaan media sosial belum sepenuhnya diikuti pemahaman secara menyeluruh para penggunanya.
Belum lagi, banyak pemilik akun medsos merupakan anak-anak yang secara aturan dilarang memiliki akun medsos sebelum memasuki usia tertentu.
Bagaimana anak-anak dibawah umur bisa membuat akun medsosnya, padahal syarat membuat akun biasanya menyertakan identitas diri dari kartu identitas kependudukan resmi yang dikeluarkan pemerintah.
Dasar pemahaman pengguna medsos kepada kelayakan aturan yang suka dikesampingkan, otomatis menimbulkan dampak lanjutan terutama menyangkut norma-norma penayangan informasi.
Berjubelnya grup-grup medsos (termasuk WA Grup, Istagram dan lain-lain) menggunakan nama-nama institusi resmi untuk subjek persoalan yang sama, hal ini pun menambah panjang kebingungan publik khususnya warga yang membutuhkan info benar mengenai bencana yang sedang dialaminya.
Kita akhirnya bertanya, apakah keadaan semacam ini selanjutnya akan dilakukan penertiban?
Misalnya, semerawutnya grup-grup medsos  "palsu" institusi resmi dapat segera ditindak dengan pendekatan penegakan hukum terutama setelah RKUHP disahkan belum lama ini.
Info simpang siur kebencanaan yang akhir-akhir ini berkembang berpengaruh juga kepada proses pendistribusian bantuan relawan.
Banyak usaha baik untuk membantu korban bencana menjadi kandas ditengah jalan karena info-info bohong yang menyebar dan terlanjur diterima para dermawan kebencanaan.
Antisipasi
Laman news.detik.com pernah memuat ssbuah berita tentang "Polisi Tangkap Penyebar Hoax Gempa di Grup FB Prabowo For NKRI" pada 4 Oktober 2018 lalu.
Disebutkan media tersebut, Polisi menangkap lagi seorang netizen berinisial M karena diduga menyebarkan hoax terkait bencana alam. M ditangkap di Pekanbaru.
Kejadian berulang yang dialamai ini nyata di tengah-tengah kehidupan warga.
Bukan saja grup institusi resmi kebencanaan, medsos politik pun dibanjiri info yang tidak ada kaitannya dengan kebencanaan.
Pembuatan sebuah akun grup, sejak awal memberikan kejelasan mengenai info apa saja yang boleh atau tidak masuk menjadi materi yang dapat dimuat.
Tetapi, masih saja orang sesuka hati menebar info semaunya sendiri.
Jadi, antara subjek grup dan berita di dalamnya, sering tidak nyambung.
Campur baur info dalam sebuah grup akan menimbulkan presepsi macam-macam. Misalnya saja antara perisriwa politik dikaitkan dengan kebencanaan, pendapat disambung-sambungkan.
Padahal secara disiplin dua subjek bahasan itu berbeda satu sama lain.
Orang dalam grup menjadi terganggu pemikirannya. Grup-grup medsos tertentu cenderung mencipta anggota-anggotanya menjadi kurang optimal memilah informasi.
Anehnya lagi, kemudian banyak yang kecanduan hoax.
Tanpa pikir panjang, hoax mudah menyebar karena kemudahan menggunakan fasilitas berbagi yang ada dalam aplikasi medsos.
Mengatasi semua ini, jauh-jauh hari lembga pemerintah semacam Kementerian Informasi atau Kominfo melakukan sosialisasi agar kita terhindar dari hoax.
Dalam hal ini ada beberapa hal yang dapat kita lakukan guna terhindar dari hoax terutama di dunia maya.
Lima tips ini setidaknya akan membantu kita bijak bermedsos hingga antisipasi hoax:
1. Awas, Cermatlah dengan Judul Provokatif
Judulnya menggemparkan. Tujuannya agar orang mudah tertarik.
Judul info hoax biasanya menggunakan kalimat yang sensasional dan provokatif.
Bisa saja si pelaku mengutif info resmi, namun data dipelintir untuk mendukung kehendak sendiri.
Kaimat diubah-ubah akhirnya mengaburkan isi sebenarnya info resmi itu dan tersebar.
Saat menemui hal seperti ini, segera lakukan konfirmsi kepada pihak berkompeten.
Tanyakan langsung kepada lembaga resmi berkaitan penanganan masalahnya serta mencari informasi pembanding sehingga kita memperoleh info seimbang sebelum memutuskan mengambil tindakan, misalnya membagikan info ke pihak lain.
2. Amati Situs Yang Digunakan
Mengunggah info di dunia maya bisa melalui saluran berbagai situs.
Namun, dalam situs-situs itu ada yang memang kompeten dan ada juga yang meragukan.
Situs berbasis blog, misalnya, teemasuk jenis situs meragukan.
Apalagi lama-laman medsos pribadi yang dipergunakan secara perseorangan, hindari untuk dijadikan referensi berita atau info resmi.
Ada situs-situs kredibel untuk dipilih baik itu dari saluran pemerintah atau situs lembaga lain yang dapat dipercaya.
Dari data yang diperoleh, bahwa  Dewan Pers, menyebutkan ada 43.000an lebih situs atau portal berita.
Sementara itu, hanya 300an portal saja yang lolos verifikasi sebagai situs berita.
Kita waspada memilih portal berita ini karena ribuan situs berita berada diluar pengawasan Dewan Pers. Ini berbahaya!
3. Periksa Fakta
Suatu kejadian bisa saja diberitakan orang dengan berbagai gaya dan cara.
Dari penyajiannya pun ada yang utuh atau hanya penggalannya saja.
Info yang disajikan memengaruhi cara berpikir orang.
Dalam melihat fakta kejadian inilah, kita dituntut mencari secara utuh informasi.
Dapatkan fakta dari lembaga-lembaga terpercaya. Ada baiknya hindari mendapat fakta dari sumber bersifat perseorangan atau pihak-pihak yang diragukan kenetralan pijakannya.
4. Cek Gambar atau Foto, Jangan Terkecoh!
Aplikasi berbasis pengeditan gambar atau video, saat ini terbilang mudah untuk diperoleh.
Belajar sebentar saja, orang bisa langsung praktek edit berbagai macam gambar.
Celakanya, kalau edit-edit gambar untuk tujuan memanipulasi informasi, bisa menciptakan keadaan kacau.
Gambar-gambar hasil manipulasi visual bertebaran di internet. Jangan mudah terkecoh, dapatkan fakta gambar sebenarnya dari sebuah kejadian dengan berbagai cara pengecekan yang bisa kita lakukan.
5. Bergabung dengan Grup Diskusi Anti Hoax
Cari sedapat mungkin tempat atau grup-grup resmi pemberi informasi publik.
Tempat atau grup itu bisa kita datangi secara langsung atau melalui saluran yang dibuka dan mudah diakses warga.
Bergabung, diskusi dan tanyakan segala sesuatu mengenai info yang kita butuhkan.
Bertukar pikiran bersama orang-orang yang langsung memahami masalah serta mendapatkan penempatan tugas terkait hal itu.
Kita bisa berdiskusi dengan siapa pun sebagai cara membangun wawasan dan memahami wacana atau fakta. Namun segala kepastian kebenaran info, tetap sandarkan kepada pihak-pihak berkompeten.
Semakin maju teknologi, tidak selamanya diikuti oleh perkembangan kemampuan individu-individu secara menyeluruh.
Negara kita masih perlu banyak berbenah dan meningkatkan kualitas sumber-sumber daya terkait informasi.
Publik semakin terbuka cara berpikirnya namun masih banyak juga yang sulit mengikuti perkembangan.
Informasi kebencanaan harus tersaji dengan baik. Masyarakat diimbau juga agar tidak main-main dengan penyebaran info bohong kebencanaan.
Kita bisa bijak bermedsos agar mengurangi beban derita dan kecemasan saudara-saudara kita yang tertimpa bencana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H