Melewatkan hari Minggu di pagi hari, berburu jajanan pasar bisa menjadi hal mengasyikan.
Pasar kaget atau pasar dadakan yang muncul sesekali sehari saja dalam rentang waktu satu minggu itu, menawarkan produk-produk lokal yang digemari banyak konsumen.
Di Kota Bandung atau kota berjuluk "Kota Kembang", banyak area pelataran parkir, jalan besar atau halaman sebuah fasilitas umum tertentu di pergunakan sementara untuk car free day, aktivitas warga berolah raga pagi juga menikmati kuliner.
Pelataran jalan Pasar Induk Gedebage menjadi salah satu tempat dikunjungi orang untuk jalan-jalan pagi hingga jajan panganan pasar.
Langkah saya tertuju kepada suatu kerumunan orang di salah satu sudut pasar.
Dari kejauhan asap mengepul dari sebuah tungku pembakaran berbahan bakar kayu.
Saat sudah mendekat, nampak di atas tungku berjejer wajan-wajan kecil terbuat dari tanah liat.
Ada sekitar 8 wajan tanah liat lengkap dengan tutup mungil terbuat dari bahan sama yang sudah berwarna hitam.
Orang-orang mengantri, memesan bergantian makanan yang sedang dimasak di atas wajan tanah liat itu.
Apa yang orang-orang pesan saat itu, tiada lain adalah "surabi".
Memesan beberapa jenis surabi yang dijajakan disana. Mulai dari surabi polos, surabi oncom dan surabi telor atau campur-campur toping sesuai selera.
Pesan beberapa dengan tiga varian rasa sekaligus untuk disantap bersama-sama anak dan istri yang juga turut saya jalan-jalan hari minggu.
Hawa Bandung yang cukup dingin pagi itu, orang-orang memilih  berkumpul disekitar tungku.
Saya ambil posisi mendekat tungku hangat perapian sambil menunggu giliran dapat surabi matang.
Kehangatan tungku menambah saya betah jajan disana.
Kumpulan orang menyantap surabi, menurut pedagangnya, mereka  sudah ada dari sejak pukul tiga pagi bersamaan meja jualan surabi mulai digelar.
Yang jajan di pagi buta adalah mereka yang punya aktivitas berjualan di pasar induk.
Bergeser ke waktu agak siang, baru pengunjung yang jajan sehabis berolah raga atau jalan jalan pagi.
Pedagang surabi mangkal sampai dengan adonan habis. Rata-rata pukul 09.00, jongko sudah tutup.
Menikmati surabi lebih enak selagi hangat dan disantap di tempat.
Meski ada juga sebagian yang membawa pulang untuk disantap di tempat lain.
Habis beberapa biji surabi hangat, jongko pun nampak bergegas tutup.
Menunggu sisa adonan yang belum matang di atas wajan tanah, seorang pegawai jongko surabi lain sudah nampak bergegas membereskan peralatan dagang pada pagi hari itu.
Khas
Saya rela antri untuk memperoleh jajanan khas Bandung yaitu surabi.
Karena rasanya yang enak, cukup mengenyangkan, dan bisa sebagai makananan saat sarapan.
Sudah lama panganan ini dijajakan di Bandung dan terbilang bertahan dari sejak dulu.
Laman KOMPAS.com mencatat, konon, kuliner tradisi Jawa Barat tersebut sudah ada sejak 1923.
Dalam sejarahnya, serabi berasal dari Bahasa Sunda yaitu "sura" yang artinya besar.
Surabi masuk makanan tradisional dengan cara penyajiannya yang khas terutama tungku perapian dan wajan tanah liat.
Olahan surabi berbahan dasar sederhana yaitu berupa tepung beras dan santan. Ditambah bumbu penyedap rasa jika diperlukan.
Isian atau toping surabi bisa bermacam-macam. Di Bandung sendiri, sajian surabi sudah memiliki inovasi tersendiri yaitu varian rasa yang beragam.
Berbeda dari pilihan rasa surabi saat awal ada, yaitu surabi polos dengan campuran gula merah yang dicairkan atau dinamakan kinca.
Sekarang kita bisa memilih surabi dengan aneka rasa manis atau asin dengan isi dari mulai coklat, keju, tempe, kornet, sosis, oncom, telur dan banyak lagi.
Pilihan mengembangkan isi surabi, menurut para pedagang sebagai salah satu cara menjaga surabi bertahan menjadi panganan tradisional namun tetap mampu mengikuti trend zaman.
Waktu konsumsi surabi sebetulnya bisa kapan saja. Selain pagi, ada juga pedagang surabi menjajakan dagangannya pada saat sore atau tengah malam.
Surabi tergolong makanan akrab di tengah masyarakat.
Ada diantara penjual surabi menjajakan dagangannya di warung kelontong yang beroperasi hampir 24 jam.
Dengan cara ini, warung kelontong suka tambah ramai. Apalagi saat udara terasa dingin pada pagi atau malam hari.
Sambil menunggu surabi matang, pemesan suka sengaja ikut menghangatkan badan dekat tungku kayu bakar.
Dulu memang surabi itu tergolong makanan sederhana saja. Penikmatnya pun hanya kalangan khusus menengah ke bawah.
Namun kini, penikmat surabi berasal dari banyak golongan.
Hal ini disebabkan karena surabi sudah masuk kepada sajian berkarakter dan mampu dikemas secara inovatif dan dipastikan masih memiliki banyak penggemar.
Penjualan surabi sudah mulai banyak mengikuti trend pasar saat ini yaitu penjualan berbasis digital.
Surabi sebagai komoditi makanan dengan khas dan penikmatnya tergolong stabil, mampu mengangkat pengusaha kecil atau UMKM bertahan dalam situasi krisis.
Bahkan, cara bertahan para pedagang surabi dalam persaingan pasar lokal, termasuk memiliki jurus jitu mendongkarak keadaan serta sanggup pulih lebih kuat pada saat pandemi Covid 19 menimpa Indonesia.
Surabi sudah menjajaki berbagai tantangan zaman. Kekhasan surabi dinilai mampu produksi panganan ini bertahan.
Eksistensi surabi memberi inspirasi kepada kita, bahwa kekhasan itu sebetulnya memiliki caranya sendiri bertahan.
Benturan zaman dan juga persaingan dalam hal bisnis pasti akan selalu ada di era modern saat ini. Tetapi yang original tetap akan selalu dicari, seperti orang masih tertatik dengan surabi di era digital ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H