Tahun ini adalah tahun ke sebelas saya bekerja di perusahaan ini. Masih teringat jelas bagaimana perasaan saya, ketika pertama kali diterima kerja di perusahaan ini. Rasanya, sangat senang dan bahagia, akhirnya saya diterima bekerja setelah merasakan susahnya berjuang mencari pekerjaan selepas kuliah.
Bersyukur ditempatkan di posisi yang diidamkan, di kota yang bisa dengan mudah diakses dari rumah sehingga masih bisa berkumpul dengan keluarga, dan memiliki pimpinan dan rekan kerja yang menyenangkan.
Dengan kondisi tersebut, bukan berarti tidak membuat saya pernah berpikir untuk berhenti dari perusahaan ini dan keinginan untuk pindah ke perusahaan lain. Perasaan ingin pindah ke perusahaan lain memang sangat terasa di tahun-tahun pertama saya bekerja. Namun seiring berjalannya waktu, niat untuk pindah ke perusahaan lain tersebut urung saya lakukan.
Setidaknya, selama saya bekerja di perusahaan ini. Saya sudah dipindahkan ke 5 kantor cabang berbeda. 5 kantor cabang dengan pimpinan yang berbeda, rekan kerja yang berbeda dan suasana kerja yang berbeda.
Hal ini --pindah kantor, dengan pekerjaan yang sama-- menurut saya sangat penting untuk dilakukan sebuah organisasi perusahaan yang besar. Karena karyawan dengan pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya rutin dan hanya itu-itu saja (monoton) akan menimbulkan kebosanan dan kejenuhan yang akan mengakibatkan turunnya semangat dan gairah kerja.
Di harapkan dengan memiliki pimpinan baru, rekan kerja baru dan suasana kerja baru kita bisa kembali memiliki semangat dan gairah kerja serta betah di kantor baru. Betah atau tidaknya kita di tempat kerja sebenarnya dapat diketahui oleh diri kita sendiri.
Tanda-tanda seseorang tidak betah di tempat kerja, menurut Pat Olsen yang saya kutip dari kolom Opini Kompas.id dengan judul "Pindah Pekerjaan Atau Bertahan?" oleh Agustine Dwiputri, 13 Maret 2021, antara lain merasa lesu, marah atau mudah tersinggung, tidak bisa tidur nyenyak atau justru berlebihan, mengandalkan minuman/rokok atau makanan tak sehat untuk menghibur diri sendiri, serta menarik diri dari teman dan berbagai aktivitas.
Jika tanda-tanda tersebut muncul pada kita dan kita tidak bisa mengatasi hal tersebut sudah tentu akan merugikan kita sebagai karyawan, merugikan rekan kerja dan merugikan perusahaan. Hal ini mungkin akan berdampak pada pekerjaan dan masa depan kita sebagai karyawan. Bisa jadi promosi kita di tunda, atau bahkan kita bisa saja di berhentikan dari perusahaan tersebut. Jika kita masih mempertimbangkan untuk bekerja di perusahaan ini, kita harus segera berubah.
Namun terkadang, untuk berubah tersebut tidaklah mudah. Dibutuhkan tekad yang kuat dalam diri untuk berubah. Jika tidak ada dorongan yang kuat dalam diri, rasanya percuma saja kita pindah kantor cabang, kita memiliki pimpinan dan rekan kerja baru dan kita memiliki suasana kerja yang baru. Hal tersebut tidak akan banyak membantu sehingga tetap membuat kita merasa tidak betah lagi di perusahaan tersebut.
Lalu bagaimana solusinya untuk tetap bisa kerja di perusahaan yang sama tanpa harus berhenti dan pindah ke perusahaan lain? Solusinya adalah Bahagia saat bekerja! Pertanyaannya adalah bagaimana agar bisa bahagia di tempat kerja
Terinspirasi dari buku "Happier Now" karya Nataly Kogan yang menyatakan bahwa ada lima langkah yang bisa kita lakukan agar kita bisa bahagia di lingkungan kerja, yaitu dengan mengikhlaskan keadaan (acceptance), bersyukur (gratitude), kebaikan yang disengaja (intentional kindness), mengetahui tujuan kita hidup atau peran kita di tempat kerja masing-masing (the bigger why), dan mencintai diri sendiri (self-care).
Mengikhlaskan Keadaan (Acceptance)
Tidak semua yang kita rencanakan atau impikan itu berjalan mulus sesuai dengan harapan kita. Ada kalanya, keadaan tersebut menjadi 360 derajat berbeda dengan apa yang kita harapkan. Pimpinan, lokasi kerja, suasana kerja, rekan kerja ; sebagai karyawan tentu kita tidak bisa memilih keadaan tersebut.
Yang bisa kita lakukan adalah belajar menerima, belajar mengizinkan emosi tidak nyaman tersebut, untuk akhirnya kita bisa memilih langkah yang tepat untuk bertindak sebagai respon terhadap keadaan tidak nyaman tersebut. Apakah keadaan tersebut membuat kita tersiksa ataukah kita memilih untuk Bahagia menerima keadaan tersebut.
Ketika saya mengikuti mentoring "finding inner peace" dengan trainer Jamil Azzaini, menurut beliau bahwa kunci ketenangan hidup itu adalah dengan ridho, rela atau acceptance. Masih menurut beliau ada pakar psikologi dunia, M. Scott Peck, M.D. dalam bukunya "The Road Less Traveled" yang dalam kajian ilmunya sering mengkombinasikan dengan spiritualitas. Beliau menyampaikan bahwa menerima adalah kunci dari kebahagiaan dan ketenangan hidup.
Menerima bukan berarti kita menyukainya, melainkan awal yang baru untuk dapat memilih dan memulai langkah berikutnya. Menerima atau berserah adalah sebuah cara untuk dapat melihat apa yang sesungguhnya terjadi, dengan cara memisahkan reaksi personal kita dari keadaan yang ada, dan selanjutnya, memikirkan langkah yang bisa diambil berdasarkan keadaan tersebut.
Dengan menerima, kita tidak hanya sekedar bereaksi terhadap situasi, melainkan memilih dengan sadar aksi kita berdasarkan situasi yang ada.
Saat kita belajar menerima, kita akan berhadapan dengan perasaan-perasaan yang tidak nyaman. Tahap berikutnya dari menerima adalah kita belajar mengizinkan diri untuk merasakan semua perasaan-perasaan yang tidak nyaman tersebut. Dengan belajar mengendalikan emosi untuk menerima keadaan yang tidak nyaman tersebut untuk terjadi, kita harus bisa menerima, kemudian kita juga harus bisa melihat keadaan yang tidak nyaman tersebut tanpa emosi.
Apabila kita mengizinkan diri kita merasakan semua emosi yang buruk dan pahit, sesungguhnya kita telah meningkatkan kekebalan imun emosi diri kita atas kemungkinan kejadian yang lebih buruk.
Setelah kita sudah mengenali keadaan tidak nyaman tersebut dengan jelas dan sebenar-benarnya, kita baru bisa memikirkan mau berbuat apa, sehingga kita tidak langsung bereaksi secara membabi-buta untuk merespon keadaan yang tidak nyaman tersebut.
Bersyukur (Gratitude)
"Bersyukur pada hal apapun yang sudah kita miliki, sekecil apapun itu dan jangan pernah membandingkan apa yang kita miliki dengan milik orang lain". Nasihat tersebut masih saya pegang teguh hingga sekarang.
Terus mengeluh akan keadaan yang tidak sesuai dengan yang diharapkan malah akan menambah kita terjerembab ke dalam emosi negatif. Agar kita bisa menerima keadaan tersebut, kita harus banyak bersyukur.
Dengan bersyukur membuat kita menyadari adanya hal-hal baik dalam hidup. Untuk bisa menumbuhkan sikap bersyukur memang memerlukan latihan dan proses, tidak bisa terjadi secara cepat atau instan.
Untuk melatih sikap bersyukur ada dua cara, cara yang pertama adalah dengan cara mengingat hal-hal yang dapat memunculkan rasa terima kasih. Misalkan, kita mengingat selama kita bekerja. anak dan istri selalu diberikan kesehatan. Atau kita bisa mengingat kenaikan pangkat atau bonus yang kita terima.
Cara kedua, kita menuliskan jurnal syukur setiap akhir hari. Tuliskan semua hal-hal yang membuat hari ini kita merasa berterima kasih atau bersyukur sebelum kita tidur. Kita bisa menulis di jurnal syukur kita, misalkan perjalanan pulang kantor yang tidak macet, pekerjaan yang selesai sesuai deadlinenya, PJJ anak-anak yang lancar, makan malam bersama istri dan anak, dan banyak lagi.
Dengan bersyukur, sesuai hasil penelitian akan mempengaruhi psikologis dan kesehatan fisik kita. Bersyukur dapat menurunkan tekanan darah, meningkatkan fungsi imun, serta mengurangi gangguan tidur, depresi, kecemasan, dan gangguan penyalahgunaan zat terlarang.
Kebaikan Yang Disengaja (Intentional Kindness)
Manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan orang lain di seluruh kehidupan. Karenanya, Kita sebagai manusia dilahirkan untuk senantiasa selalu berbuat baik.
Namun terkadang, karena hal baik yang kita lakukan tampak remeh sehingga kita tidak peduli atau abai. Padahal perbuatan baik---sekecil apapun, akan membuahkan makna yang tidak bisa kita prediksi dan duga.
Sebagai contoh, Saat pagi kita datang ke kantor kita tersenyum dan mengucapkan "Selamat Pagi" ke sesama rekan kerja kita. Karena hal tersebut dianggap hal sepele, tidak jarang kita cuek. Padahal bisa jadi senyuman dan ucapan "Selamat Pagi" tersebut bisa membuat rekan kerja kita merasa diperhatikan. Â
Mengetahui Tujuan Kita Hidup (The Bigger Why)
Untuk mengetahui "The Bigger Why", cobalah sejenak kita mengingat saat-saat dalam hidup kita yang begitu bermakna dan berarti untuk sesama. Kita bisa tuliskan semua momen tersebut pada buku harian. Berdasarkan apa yang kita tulis, cobalah untuk tidak mengkoreksi maupun menghakimi diri kita. Tidak ada jawaban yang salah dan jangan juga merasa bahwa momen tersebut tidak terlalu bermakna.
Dengan cara tersebut kita akan mengetahui bahwa kita ternyata sangat berarti dan bermakna untuk orang lain. Kita akan menemukan makna diri kita untuk suami atau istri, anak-anak, ayah dan ibu, dan orang lain di sekitar kita.
Seorang psikolog dan penulis buku Flourish, Martin Selignman mendefinisikan bahwa, "Ketika hidupmu bermakna, kamu menggunakan kekuatan dan bakat tertinggimu untuk menjadi bagian yang kamu yakini lebih besar dari itu."
Dengan kata lain, makna adalah benang yang dapat menghubungkan kekuatan terbaik yang ada dalam diri kita dengan sesuatu yang ada di luar diri kita, apakah itu terkait dengan pekerjaan atau sekedar hal yang dilakukan untuk keluarga.
Self-Care
Pernahkah kita menyalahkan diri kita atas kesalahan yang kita lakukan sendiri? Bagaimana rasanya? Bandingkan jika kesalahan dilakukan oleh tim kita atau orang lain?
Menjawab pertanyaan tersebut saya akan berbagi berdasarkan pengalaman yang saya rasakan sendiri. Ketika saya melakukan kesalahan -misalkan saya lupa membawa data untuk sebuah presentasi- saya akan sangat menyalahkan diri saya sendiri. Hal pertama yang saya lakukan adalah mengutuk diri sendiri karena begitu ceroboh dan merasa bodoh karena melupakan hal yang penting.
Hingga saya menyadari bahwa apa yang saya lakukan saat itu secara tidak sadar, saya bersikap begitu kasar terhadap diri sendiri. Padahal diri kita pantas untuk kita sayangi. Menyayangi diri sendiri adalah sebuah sikap untuk memperlakukan diri sendiri dengan cara yang sama ketika kita memperlakukan orang lain yang kita sayangi.
Untuk bisa menyayangi diri kita sendiri kita perlu melakukan perawatan diri (Self Care). Menurut Agustine Dwiputri dalam kolom Opini kompas.id tanggal 05 Oktober 2019 yang berjudul "Merawat Diri Sendiri", bahwa perawatan diri bukanlah tindakan yang egois. Perawatan diri menggambarkan tindakan yang mungkin dilakukan seseorang untuk mencapai kesehatan fisik dan mental yang optimal.Â
Berikut berbagai cara agar kita dapat mengintegrasikan perawatan diri dalam kehidupan sehari-hari, diantaranya:
- Luangkan waktu yang cukup untuk diri sendiri, jadwalkan istirahat setiap hari
- Lakukan hal yang kita sukai, berusaha terlibat dalam sebuah hobi
- Â Jaga diri baik secara fisik maupun spiritual melalui latihan rutin
- Jaga hubungan sosial dan interpersonal dalam diri kita
- Belajar bersikap tegas untuk mengatakan "tidak bisa" ketika kita memang tidak sanggup
- Jangan mencoba menjadi sempurna, memiliki semuanya, atau melakukan semuanya. Mengenali batas kemampuan diri kita dan bersikap realistis
Semoga dengan berlatih menerapkan kelima langkah tersebut dapat membuat kita bekerja dengan bahagia dan pada akhirnya kita tetap bisa produktif ditengah pandemi Covid-19 ini. Selamat berlatih!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H