Pengakuan Adat oleh Hukum Formal, Mengenai persoalan penegak hukum adat Indonesia, ini memang sangat penting karena adat merupakan salah satu cermin bagi suatu bangsa, adat merupakan identitas bangsa dan identitas bagi tiap-tiap daerah. Dalam kasus salah satu adat suku Nuaulu yang terletak di daerah Maluku Tengah, ini butuh kajian adat yang sangat mendetail lagi, persoalan kemudian adalah pada saat ritual adat suku tersebut, di mana proses adat itu membutuhkan kepala manusia sebagai alat atau perangkat proses ritual adat suku Nuaulu tersebut. Dalam penjatuhan pidana oleh sala satu Hakim pada Pengadilan Negeri Masohi di Maluku Tengah, ini pada penjatuhan hukuman mati. Sementara dalam Undang-undang Kekuasaan Kehakiman Nomor 4 tahun 2004 Dalam Pasal 5 ayat (1), hakim harus melihat atau mempelajari kebiasaan atau adat setempat dalam menjatuhan putusan pidana terhadap kasus yang berkaitan dengan adat setempat.
Indonesia merupakan negara yang menganut pluralitas di bidang hukum, di mana diakui keberadaan hukum barat, hukum agama dan hukum adat. Dalam prakteknya (deskriptif) sebagian masyarakat masih menggunakan hukum adat untuk mengelola ketertiban di lingkungannya. Di tinjau secara preskripsi (dimana hukum adat dijadikan landasan dalam menetapkan keputusan atau peraturan perundangan), secara resmi, diakui keberadaaanya namun dibatasi dalam peranannya.
Mengenai pluralisme yang diberlakunya di Indonesia yaitu memberlakukan hukum di masyarakat yaitu hukum barat, hukum agama, dan hukum adat. Yang dimaksud dari hukum barat adalah sistem hukum yang berkembang dari peraturan hukum di benua Eropa, terutama dari Hukum atau Code Napoleon yang dibuat Prancis dan ditetapkan oleh Belanda di Indonesia. Hukum agama adalah sistem hukum yang berdasarkan ketentuan agama tertentu yaitu setiap orang berlaku hukum agama sesuai dengan agama yang dia anut dan percayai, dan sistem hukum agama biasanya terdapat dalam kitab suci.
Keberadaan dari masyarakat adat bisa dianggap sebagai subjek dari hukum itu sendiri, yang di mana artinya masyarakat adat harus mendapatkan perhatian sebagaimana yang melekat pada diri mereka yaitu sebagai subjek hukum ketika hukum itu mengatur tindak tanduk perlakuan dimasyarakat umum. Dasar hukum di Indonesia itu bersumber dari hukum adat yang di mana hukum adat berasal dari masyarakat baik yang tertulis ataupun yang tidak tertulis. Dalam arti sempit sehari-hari, yang dimaksud dengan hukum adat adalah hukum asli yang tidak tertulis berdasarkan kebudayaan dan pandangan hidup bangsa Indonesia yang memberikan pedoman kepada sebagian besar orang-orang Indonesia dalam kehidupan sehari-hari atau dalam hubungan antara yang satu dan yang lainnya, baik di desa maupun di kota. Di samping bagian yang tidak tertulis dari hukum asli, ada pula bagian yang tertulis, yaitu piagam-piagam, perintah-perintah raja, patokan-patokan pada daun lontar, awig-awig (di Bali), dan sebagainya. Dibandingkan dengan yang tidak tertulis, bagian yang tertulis ini adalah sedikit sekali (kecil), tidak terpengaruh, dan sering dapat diabaikannya. Sehubungan dengan unsur hukum adat, terutama unsur asli, terlihat bahwa hukum adat itu bersifat tradisional, yaitu bersifat turun-temurun. Di lain pihak, ada juga unsur yang tidak asli, yaitu yang datang dari luar sebagai akibat persentuhan dengan kebudayaan luar dan pengaruh hukum agama.
Untuk memberi pengakuan formal dan substantif pada hukum tidak tertulis atau yang dipersamakan dengan nilai nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, perancang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia (Pasal 2 ayat 1 dan 2) mencantumkan sebagai sumber hukum pidana, tidak hanya hukum tertulis (peraturan perundang-undangan; lex scripta) tetapi juga hukum tidak tertulis alias hukum yang hidup di masyarakat (usus; custom) dengan disclaimer: sepanjang dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, UUD 1945, hak asasi manusia, dan asas-asas hukum umum yang diakui masyarakat.
Pada Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman yang berbunyi "Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat." Yang di mana maksud dari pasal tersebut adalah yaitu seorang hakim harus mengetahui dan mendalami hukum adat yang berlaku di lingkungan masyarakat itu sendiri. Mengapa demikian, dikarenakan seorang hakim di wajibkan bersikap jujur, adil, profesional, serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, dan berpengalaman di bidang hukum itu sendiri, dan yang paling penting adalah wajib menaati kode etik dan pedoman perilaku kehakiman yang sudah tertuang pada Pasal 5 ayat (2 dan 3) UU No. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman. Hal ini juga dapat berpengaruh pada saat seorang hakim memutuskan sebuah permasalahan di lingkungan masyarakat, yang memiliki atau berpedoman pada hukum yang berlaku di masyarakat hukum adat itu sendiri.
Dalam pasal tersebut mengarahkan kepada hakim bahwa hakim harus mampu memahami latar belakang, sosiologi hukum dan antropologi budaya yang ada dalam suatu daerah. Sebab, berbagai kepercayaan dan nilai-nilai nyatanya hingga kini masih hidup, dipercayai, di praktekkan dan dianggap sebagai hukum di sejumlah daerah. Hakim harus paham nilai yang ada dalam masyarakat merupakan bagian dari knowledge yang harus dimiliki seorang hakim. Di Indonesia, yang terdiri dari beberapa ras, suku, adat, budaya tentunya membuat hakim harus mempunyai knowledge yang luas. Sehingga nantinya hakim dapat memberi putusan yang mengandung keadilan, kepastian dan kemanfaatan bagi masyarakat.
Bahwasannya masyarakat adat sebagai subjek dan hukum itu sendiri harus mendapatkan perhatian. Sebagai subjek hukum, hukum mengatur tindak tanduk dari masyarakat. Â Pada Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 yang menjelaskan di mana maksud dari pasal tersebut adalah yaitu seorang hakim harus mengetahui dan mendalami hukum adat yang berlaku di lingkungan masyarakat itu sendiri. Yang di mana sudah dijelaskan pada Pasal 5 ayat (2 dan 3) UU No. 48 Tahun 2009. Hakim harus mampu memahami latar belakang, sosiologi hukum dan antropologi budaya yang ada dalam suatu daerah. Hakim harus paham nilai yang ada dalam masyarakat merupakan bagian dari knowledge yang harus dimiliki seorang hakim. Di Indonesia, yang terdiri dari beberapa ras, suku, adat, budaya tentunya membuat hakim harus mempunyai knowledge yang luas.
Untuk memberi pengakuan formal dan substantif pada hukum tidak tertulis atau yang dipersamakan dengan nilai nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, perancang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia (Pasal 2 ayat 1 dan 2) mencantumkan sebagai sumber hukum pidana, tidak hanya hukum tertulis (peraturan perundang-undangan; lex scripta) tetapi juga hukum tidak tertulis alias hukum yang hidup di masyarakat (usus; custom) dengan disclaimer: sepanjang dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, UUD 1945, hak asasi manusia, dan asas-asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab.Â
Dasar perundang-undangan berlakunya hukum adat yang berasal dari zaman kolonial dan yang pada zaman sekarang (sampai UU Nomor 19/1964) masih tetap berlaku adalah Pasal 131 ayat 2 sub IS. Menurut ketentuan IS tersebut, bagi golongan hukum (rechtsgroep) Indonesia asli dan golongan Timur Asing berlaku hukum adat mereka. Akan tetapi, jika kepentingan sosial mereka membutuhkannya, pembuat ordonansi (yaitu suatu peraturan hukum yang dibuat oleh badan legislatif pusat/gubernur jenderal bersama-sama dengan volksraad) dapat menentukan hal berikut: 1. hukum Eropa; 2. hukum Eropa yang telah diubah (gewijzigd Eropees recht); 3. hukum bagi beberapa golongan bersama-sama (gemeenschappelijk recht) dan apabila kepentingan umum memerlukannya hukum baru (niew recht), yaitu hukum yang merupakan sintesis antara hukum adat dan hukum Eropa (fantasie recht menurut van Vollenhoven, ambtenaren-recht menurut idsinga).
KESIMPULAN