Pendahuluan
Pemberlakuan UU Cipta Kerja merupakan terobosan hukum yang diterapkan oleh aparat pemerintah untuk mengoreksi hyper regulasi perundang-undangan yang bertentangan atau serupa. Perancangan undang-undang hak cipta kerja No.11 Tahun 2020 menggunakan pendekatan Omnibus Law dengan mengumpulkan undang-undang pada prinsip yang berbeda. Pendekatan ini diadopsi dengan harapan dapat menyederhanakan perizinan dan memiliki dampak yang kuat pada investor dengan dampak positif pada pembangunan ekonomi dan lapangan kerja. Dengan adanya UU Cipta Kerja, semua pihak ingin meningkatkan investasi sebesar-besarnya, menciptakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya untuk mengurangi  pengangguran. Namun kenyataanya Undang-Undang ini tidak berjalan sesuai yang diharapkan, banyak menuai perdebatan sehingga menimbulkan berbagai banyak problematika, yang mana dalam hal ini penulis akan sedikit membahas mengenai problematika-problematika tersebut.
Pembahasan
Undang-Undang Cipta Kerja disahkan secara resmi dalam Sidang Umum Anggota DPR pada 5 Oktober 2020 dan ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 2 November 2020 dan kemudian menjadi UU No 11 Tahun 2020. Naskah peraturan ini telah ditetapkan, tetapi telah mengalami revisi beberapa kali sebelumnya, baik dari segi jumlah halaman maupun penghapusan pasal yang terkandung dalam Undang-Undang tersebut. Undang-Undang ini juga menggunakan metode Omnibus Law untuk mempermudah dalam pembentukannya. Konsep ini berfokus pada penyederhanaan peraturan  dengan menghapus atau mengubah banyak peraturan sekaligus.
Pengesahan UU Cipta Kerja menimbulkan berbagai persoalan, sehingga masyarakat juga  turut ambil dalam memprotes pengesahan UU Cipta Kerja ini. Dalam proses penyusunan UU itu sendiri, berbagai kontroversi muncul, dan publik menyatakan pendapatnya bertentangan dengan UU tersebut. Dalam hal ini setidaknya ada tiga poin yang akan penulis jelaskan mengapa Undang-Undang ini banyak menuai perdebatan dan penolakan dari kalangan publik, di antaranya sebagai berikut :
A. Pembentukan atau pembuatannya dikebut secara terburu-buru.
Penyusunan UU Cipta Kerja yang dirasa terburu-buru menimbulkan banyak kecurigaan, apalagi saat UU ini dibuat, setidaknya itulah yang memperkuat kecurigaan dengan terus membahas regulasi ini dalam kondisi pandemi pada saat itu. Sikap terburu-buru itu makin nampak ketika dalam proses pembuatannya dilakukan pada 3 Oktober 2020, pada waktu itu DPR telah mengesahkan RUU Hak Cipta Kerja Tingkat I Omnibus Law, disetujui oleh tujuh dari sembilan fraksi. Setelah itu, pembahasan Tingkat II dilanjutkan pada sidang paripurna yang dijadwalkan 8 Oktober 2020. Namun, di tengah perjalanan, sidang paripurna mendadak  digelar pada sore hari tanggal 5 Oktober 2020. Sesuai dugaan, undang-undang tersebut disahkan oleh enam fraksi, fraksi PAN menerima dengan beberapa catatan dan hanya dua fraksi yang menentang, yakni Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Terburu-buru dalam menyusun suatu Undang-Undang dapat melanggar setidaknya satu prinsip atau asas yakni prinsip atau asas kecermatan. Pada kenyataannya, pelanggaran prinsip atau asas ini, ditakutkan nantinya akan menciptakan sebuah jurang hukum yang disebut (legal gap).
B. Terdapat beberapa pasal-pasal yang bermasalah dan menuai banyak kontroversi.
Walaupun Undang-Undang ini sudah disahkan dan ditanda tangani oleh presiden, tetapi sebenarnya terdapat pasal-pasal yang menuai banyak perdebatan mulai dari pasal tentang pendidikan, pers, lingkungan hidup sampai ketenagakerjaan. Tapi kali ini penulis hanya akan fokus membahas mengenai pasal-pasal yang bermasalah pada klaster ketenagakerjaan yang mana hal ini mencuri perhatian publik dan menuai banyak penolakan mulai dari kalangan buruh, mahasiswa, akademisi, sampai pengamat politik. Berikut pasal-pasal pada klaster ketenagakerjaan yang dianggap bermasalah :
- Pasal 88B UU CIPTAKER No.11 Tahun 2020, yang berbunyi :
(1) Upah ditetapkan berdasarkan:
a satuan waktu; dan/atau
b. satuan hasil.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai upah berdasarkan satuan waktu dan/atau satuan hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal ini memberikan kebebasan kepada pengusaha untuk menentukan upah yang diberikan kepada pekerja sebagai dasar penghitungan upah. Berarti dengan kata lain tidak ada jaminan bahwa upah minimum digunakan untuk menentukan upah di suatu sektor, karena pengusaha bebas menentukan upah berdasarkan per satuan.
-Pasal 91 yang berbunyi :
(1) Pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi hukum, dan pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 91 tersebut merupakan pasal dari UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003, tetapi dalam UU CIPTAKER Nomor 11 Tahun 2020 pasal tersebut dihapus. pasal ini memuat kewajiban pengusaha untuk membayar upah pekerja dengan gaji yang memenuhi standar upah minimum sesuai dengan undang-undang. Jika pasal ini dihapus secara tidak langsung memberikan celah bagi pengusaha untuk lebih cenderung membayar upah rendah kepada pekerja dan melakukan sikap semaunya sendiri karena tidak ada lagi sanksi yang mengikat mereka.
-Penghapusan Pasal 59 UU Ketenagakerjaan mengenai perubahan status PKWT menjadi PKWTT.Â
Dalam UU Ketenagakerjaan sebelumnya, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) tadinya dibatasi paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama 1 tahun. Dalam UU Cipta Kerja PWKT yang semula dibatasi menjadi tidak dibatasi karena tidak dijelaskan dengan pasti batas waktu tertentunya sebagaimana yang tercantum dalam pasal 56 UU Cipta kerja pada BAB IV tentang Ketenagakerjaan. Jika pasal yang sebelumnya dihapus artinya tidak ada batasan aturan sampai kapan seorang pekerja bisa dikontrak, akibatnya bisa saja pekerja kontrak tersebut menjadi pekerja kontrak seumur hidup. Kebijakan ini dikritik oleh banyak pekerja karena menunjukkan sikap pemerintah yang terlalu lemah dalam melindungi kepastian hukum bagi para pekerja.
-Pasal 77 UU CIPTAKER No 11 Tahun 2020
Dalam pasal ini mengatur mengenai batasan waktu kerja bagi pekerja. Tapi sayangnya, dalam pasal ini terdapat ketidakjelasan dalam pengaturan waktu kerja tersebut. Publik menilai ketidakjelasan itu nantinya dapat membuka celah terjadinya eksploitasi bagi pekerja. Tidak bisa dipungkiri, bahwa banyak kasus pengusaha yang tidak memberikan upah kepada pekerjanya, dan tidak membayar upah sesuai upah minimum, padahal waktu kerjanya berjalan normal. Hal ini akan dapat menggiring nasib pekerja di bawah lubang eksploitasi.Â
Itu sekilas mengenai pasal-pasal yang banyak mengalami penolakan, dan sebetulnya masih banyak lagi pasal-pasal yang menuai kontroversi misalnya pasal tentang waktu istirahat dan cuti, tenaga kerja asing, uang penghargaan masa kerja, jaminan pensiun, pesangon dst, yang mana tidak bisa dijelaskan semuanya dalam kesempatan ini.
C. Inskonstitusional Bersyarat
Selanjutnya poin terakhir yang membuat UU ini menuai banyak perdebatan dan penolakan yakni mengenai putusan MK terhadap UU Cipta Kerja tersebut. MK telah menetapkan bahwa Undang-Undang Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 cacat formil dan dinyatakan inkonstitusional bersyarat, jika tidak ada perbaikan yang dilakukan dalam kurun waktu 2 tahun sejak putusan diucapkan, maka undang-undang tersebut akan menjadi inkonstitusional secara permanen.Â
Kadang saya bertanya tanya mengapa MK membolehkan ada suatu Undang-Undang yang bertentangan dengan konstitusi apapun itu alasannya, bahkan bersyarat sekalipun. Hal ini juga menimbulkan pertanyaan publik terkait batas waktunya. Kenapa 2 tahun, kenapa tidak 1 tahun, kenapa tidak 3 tahun saja sekalian. Apakah disini MK ingin terjadi suatu inskonstitusional yang kebablasan atau jangan-jangan MK takut dalam membuat suatu keputusan. Sebagian publik menilai bahwa keputusan MK kali ini sudah bersifat final, tapi kenyataannya keputusan MK kali ini masih perempat final. Dikatakan final jika sudah tuntas, tetapi selama 2 tahun itu ada kemungkinan akan terjadinya legal standing. Bukankah hal ini rancu, jika diteruskan tidakkah nantinya akan terjadi kerancuan di dalam kerancuan.
Kesimpulan
Sebagai penutup dari pembahasan  ini, saya tidak akan menyimpulkannya sendiri, biar para pembaca sekalian yang menyimpulkannya sesuai perspektif masing-masing. Tetapi saya akan sedikit mengutip kata kata dari Atiatul  Muqtadir atau lebih dikenal Fathur mantan ketua BEM UGM, pada saat itu, di dalam salah satu acara stasiun televisi dia mengatakan "RUU yang dibahas secara tergesa-gesa, dikebut di akhir periode merupakan sebuah kejanggalan, dan dalam membaca kejanggalan itu hanya ada dua alasan, yang pertama ketidaktahuan atau bahasa halusnya kebodohan dan yang kedua ada kepentingan".
Kemudian saya kembali bertanya-tanya, kira-kira apa kepentingan itu ? Kita lihat saja kedepannya.
Wallahu a'lam bisshawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H