Dalam pasal ini mengatur mengenai batasan waktu kerja bagi pekerja. Tapi sayangnya, dalam pasal ini terdapat ketidakjelasan dalam pengaturan waktu kerja tersebut. Publik menilai ketidakjelasan itu nantinya dapat membuka celah terjadinya eksploitasi bagi pekerja. Tidak bisa dipungkiri, bahwa banyak kasus pengusaha yang tidak memberikan upah kepada pekerjanya, dan tidak membayar upah sesuai upah minimum, padahal waktu kerjanya berjalan normal. Hal ini akan dapat menggiring nasib pekerja di bawah lubang eksploitasi.Â
Itu sekilas mengenai pasal-pasal yang banyak mengalami penolakan, dan sebetulnya masih banyak lagi pasal-pasal yang menuai kontroversi misalnya pasal tentang waktu istirahat dan cuti, tenaga kerja asing, uang penghargaan masa kerja, jaminan pensiun, pesangon dst, yang mana tidak bisa dijelaskan semuanya dalam kesempatan ini.
C. Inskonstitusional Bersyarat
Selanjutnya poin terakhir yang membuat UU ini menuai banyak perdebatan dan penolakan yakni mengenai putusan MK terhadap UU Cipta Kerja tersebut. MK telah menetapkan bahwa Undang-Undang Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 cacat formil dan dinyatakan inkonstitusional bersyarat, jika tidak ada perbaikan yang dilakukan dalam kurun waktu 2 tahun sejak putusan diucapkan, maka undang-undang tersebut akan menjadi inkonstitusional secara permanen.Â
Kadang saya bertanya tanya mengapa MK membolehkan ada suatu Undang-Undang yang bertentangan dengan konstitusi apapun itu alasannya, bahkan bersyarat sekalipun. Hal ini juga menimbulkan pertanyaan publik terkait batas waktunya. Kenapa 2 tahun, kenapa tidak 1 tahun, kenapa tidak 3 tahun saja sekalian. Apakah disini MK ingin terjadi suatu inskonstitusional yang kebablasan atau jangan-jangan MK takut dalam membuat suatu keputusan. Sebagian publik menilai bahwa keputusan MK kali ini sudah bersifat final, tapi kenyataannya keputusan MK kali ini masih perempat final. Dikatakan final jika sudah tuntas, tetapi selama 2 tahun itu ada kemungkinan akan terjadinya legal standing. Bukankah hal ini rancu, jika diteruskan tidakkah nantinya akan terjadi kerancuan di dalam kerancuan.
Kesimpulan
Sebagai penutup dari pembahasan  ini, saya tidak akan menyimpulkannya sendiri, biar para pembaca sekalian yang menyimpulkannya sesuai perspektif masing-masing. Tetapi saya akan sedikit mengutip kata kata dari Atiatul  Muqtadir atau lebih dikenal Fathur mantan ketua BEM UGM, pada saat itu, di dalam salah satu acara stasiun televisi dia mengatakan "RUU yang dibahas secara tergesa-gesa, dikebut di akhir periode merupakan sebuah kejanggalan, dan dalam membaca kejanggalan itu hanya ada dua alasan, yang pertama ketidaktahuan atau bahasa halusnya kebodohan dan yang kedua ada kepentingan".
Kemudian saya kembali bertanya-tanya, kira-kira apa kepentingan itu ? Kita lihat saja kedepannya.
Wallahu a'lam bisshawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H