Mohon tunggu...
SYAMSUL BAHRI
SYAMSUL BAHRI Mohon Tunggu... Administrasi - Conservationist

Pensiunan PNS

Selanjutnya

Tutup

Nature

Bencana Asap dan Solusinya

2 Oktober 2019   19:51 Diperbarui: 2 Oktober 2019   19:56 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh Syamsul Bahri, SE[Pensiunn KLHK pengalaman Kerja di TNKS,TNBD dan TNKS] dan Saryono, SP[Conservationist di TNBS]

 Bencana Kebakaran hutan dan lahan, yang menghasilkan bencana asap yang semakin sangat mengganggu, muncul kembali di Indonesia sebagai negara tropis bersama dengan negara lainnya, yang memiliki dimensi kerugian yang cukup luas, bukan hanya ekonomi, kesehatan, bahkan menyangkut kemungkinan produksi tanaman yang menghasilkan buah, karena terganggunya proses penyerbukan yang membutuhkan proses fasilitasi melalui kupu-kupu atau sejenisnya.

 Bencana asap akibat kebakaran hutan dan lahan terutama di kawasan hutan dan lahan gambut berasal dari Provinsi seperti Provinsi Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat, sampai pada tanggal 21/09 ter-data sebanyak 1921 titik yang sudah diketahui dari 2.228 Hot spot sampai Jam 16.00 WIB. Dapat diperinci Provinsi Riau 7,5%, Sumatera Selatan 11,4%, Jambi 21,2%, Kalimantan Selatan 3,9%, Kalimantan Tengah 42,2% dan Kalimantan Barat 13,8. Dari data tersebut untuk Pulau Sumatera Provinsi Jambi dengan Hot spot tertinggi, dan pulau Kalimantan dengan Provinsi Kalimantan Tengah hot Spot tertinggi.  

 Asumsi dari masyarakat dan pejabat masih menganggap kebakaran hutan dan lahan, termasuk kebakaran hutan rawa gambut, masih sering dianggap sebagai suatu bencana alam, yang merupakan proses alami belaka. Faktanya saat ini, upaya pencegahan dan pemadaman kebakaran tersebut, hanya terbatas pada upaya pemadaman yang bersifat Insidentil. Bahkan menurut Saharjo (1999) Secara historis Kebakaran hutan lebih banyak disebabkan dari kegiatan manusia daripada faktor alam yaitu mengatakan 99,9 % kebakaran hutan/lahan oleh manusia, baik disengaja maupun akibat kelalaiannya, yang dipengaruhi oleh cuaca ekstrim dan kondisi ekosistem gambut itu sendiri.

 Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. Sedangkan Bencana asap bisa di kategorikan sebagai bencana luar biasa atau kejadian luar biasa adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan atau kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu. Status Kejadian Luar Biasa diatur oleh Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 949/MENKES/SK/VII/2004

Persoalan Kebakaran hutan dan lahan, terutama di lahan gambut, seyogyannya bukan hanya dilihat bagaimana memadamkan kebakaran secara reaktif, melainkan mengkaji penyebab terjadinya kabekaran merupakan salah satu yang tidak bisa dianggap remeh dan merupakan kajian startegis dalam menghentikan dan mengurangi kabakaran hutan dan lahan terutama di kawasan gambut, jika kita lihat bahwa hutan/lahan gambut berada pada ketebalan gambut yang berbeda, tingkat ketebalan gambut menjadi sesuatu yang penting dalam pengelolaan hutan gambut agar pemanfaatan yang lestari dan dapat memberi benefit ekonomi yang baik dan berkelanjutan, maupun benefit konservasi ekosistem dan lingkungan.

 Jika kita cermati bencana asap akibat dari kebakaran hutan dan lahan terutama kawasan gambut, sesungguh bukan hanya bencana alam, melainkan merupakan bencana luar biasa dan memiliki indikator penyebab yang jelas, dari berbagai lokasi dan kebakaran, dapat di fahami sesungguhnya bencana asap ini di sebabkan oleh kebakaran hutan dan lahan terutama hutan gambut disebabkan oleh faktor antara lain (1) Kerusakan ekosistem Gambut; (2) Faktor manusia; (3) Faktor Iklim ekstrim El-nino, maka di bawah ini kita coba uraikan masing masing faktor tersebut

 Pertama faktor ekosistem gambut, diketahui bersama bahwa Hutan rawa gambut merupakan salah satu ekosistem yang paling rawan terhadap bahaya kebakaran serta merupakan kawasan ekosistem yang rapuh (fragile), sehingga pemanfaatannya harus secara bijak (a wise landuse) dan didasarkan pada karakteristik lahan. Kontribusi terhadap dampak kebakaran hutan rawa sangat besar karena tingginya kandungan karbon dan besarnya jumlah karbon yang dilepaskan pada saat terjadi kebakaran hutan dan lahan gambut.

 Sudah berapa dekade bahkan akan terus menerus tekanan ke kawasan gambut sangat tinggi dalam bentuk konversi lahan yang tidak memperhatikan aspek kelestarian kawasan gambut yang menyebabkan gambut menjadi sumber bencana dan masalah yang luar biasa, seperti efek rumah kaca dan bencana asap dari hasil proses kebakaran hutan dan lahan gambut, pemanfaatan lahan gambut cenderung tidak memperhatikan aspek kelestarian kawasan gambut itu sendiri, bahkan beberapa kebijakan untuk kegiatan perkebunan dan kehutanan berapa dekade kebelakang justru merusak ekosistem gambut itu sendiri, hal ini terjadi alih fungsi hutan gambut menjadi Hutan Tanaman Industri, Perkebunan Kelapa Sawit baik swasta, pribadi maupun nasional, dan bentuk lainnya tanpa memperhatikan aspek pelestarian kawasan gambut, bahkan sampai pada kedalaman gambut > 3 m, bahkan mendekati kedalaman gambut mencapai 9 M[3] gambut dimanfaatkan untuk perkebunan swasta nasional, dan masyarakat secara masif dan Kehutanan terutama HTI.

 

Dalam pembangunan dan pengembangan Perkebunan baik sawit maupun non sawit dan HTI tersebut, tidak dapat dihindari proses pengerigan gambut dalam bentuk pembuatan kanal, dan jenis tanaman yang tidak kondisional dengan ekosistem gambut, sehingga terjadi proses pengeringan dan ekosistem gambut mengalami kerusakan dan akan berubah. Sampai saat ini sangat diketahui bahwa belum ditemukan tekhnologi pekebunan sawit dan HTI yang ramah dengan ekosistem gambut

 

Begitu juga adanya  kebijakan pemerintah melalui Peraturan Pemerintah atau Keputusan Menteri yang memanfaatkan kawasan hutan, terutama kawasan gambut, bahkan dan diikuti oleh adanya tradisi lokal yang diperkuat dengan UU NO 32 tahun 2009 pasal 69 ayat 1 huruf h dan ayat 2, serta pertimbangan nilai ekonomi untuk pembukaan lahan/kebun melalui pembakaran yang tidak terkendali dan menguntungkan secara ekonomi.

 

 

Kedua Faktor Manusia, di samping faktor utama ekosistem, faktor manusia yang berada di sekitar kawasan hutan dan lahan gambut menjadi faktor penting, yang akan menerima langsung kondisi baik atau rusaknya ekosistem gambut atau lestarinya ekosistem gambut, termasuk masyarakat yang akan memberi pengaruh positif atau negatif terhadap ekosistem gambut itu sendiri apa lagi kerusakan ekosistem baik menjadi penyebab kerusakan gambut, maupun yang akan menderita secara langsung akibat bencana asap ini, tentunya dengan tingkat kesadaran lingkungan, pendidikan dan ekonomi yang masih relatif rendah, namun terkait kebijakan perubahan ekonomi yang paling menderita adalah masyarakat sekitar dan berada di kawasan gambut, bukti empiris membuktikan bahwa tingkat pengaruh ekonomi terhadap sebuah kebijakan terutama kenaiak BBM yang akan membawa banyak dimensi kerugian bagi masyarakat sekitar kawasan gambut, terutama akibat kenaikan BBM yang secara langsung mempengaruhi semua line perekonomian, apalagi diperkuat dengan terganggunya transportasi air/sungai/danau/laut di kawasan gambut, akibat bencana asap.

 

Dari kondisi ekonomi, pendidikan, kebutuhan lahan pertanian, yang membawa dampak kesadaran lingkungan relatif rendah, kebutuhan ekonomi semakin tinggi, dan peluang untuk dimanfaatkan pemodal juga cukup tinggi, baik untuk pembakaran dalam rangka land clearing, maupun untuk illegal logging di kawasan gambut, yang jelas perbuatan itu merugikan langsung atau tidak langsung, serta melawan hukum.

 Ketiga Faktor cuaca ekstrim, Cuaca ekstrim adalah fenomena meteorologi yang ekstrim dalam sejarah (distribusi), khususnya fenomena cuaca yang mempunyai potensi menimbulkan bencana, menghancurkan tatanan kehidupan sosial, atau yang menimbulkan korban jiwa manusia. Pada umumnya cuaca ekstrim didasarkan pada distribusi klimatologi, bahwa kejadian ekstrim lebih kecil sama dengan 5% distribusi. Tipenya sangat bergantung pada Lintang tempat, ketinggian, topografi dan kondisi atmosfer.

Cuaca ekstrim ini cenderung disebabkan oleh Efek Rumah Kaca, Siklon Tropis, Pemanasan Global, El Nino, La Nino dan beberapa contoh cuaca ekstrim antara lain hujan lebat, kekeringan, hujan es, angin puting beliung.

 Cuaca ekstrim ini memang kita hanya bisa memprediksi kemungkinan terjadi, yang menjadi faktor cuaca penyebab kebakaran hutan dan lahan terutama di beberapa pulau di indonesia, seperti Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua, namun kita tidak bisa memberikan pengaruh apa-apa terhadap cuaca Ekstrim tsb, terutama akibat dari musim kemarau panjang dari yang disebabkan oleh El Nino, bahwa El-Nino  adalah fenomena memanasnya suhu muka laut di Samudra Pasifik bagian tengah hingga timur. El Nino memiliki dampak yang beragam dalam lingkup skala global. Beberapa negara di kawasan Amerika Latin seperti Peru, saat terjadi El Nino akan berdampak pada meningkatnya curah hujan di wilayah tersebut. Sedangkan di Indonesia secara umum dampak dari El Nino adalah kondisi kering dan berkurangnya curah hujan.

 Kawasan hutan gambut semakin terancam dan tekanan yang sangat besar, karena kemungkinan konversi hutan gambut semakin kuat, dari data dan faktor penyebab bencana asap tersebut di atas, baik faktor ekosistem, faktor manusia dan faktor Cuaca, kondisi hutan gambut yang sangat rentan tersebut akan terus semakin terancam tahun demi tahun, yang artinya bencana asap akan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat periodenisasi 3-5 tahun, bahkan ada kecenderungan semakin lama semakin pendek periodenisasi.

 Dari beberapa literatur yang diketahui, ada kecenderungan jika bencana asap yang disebabkan oleh Kebakaran hutan dan lahan di kawasan gambut ini tidak dikelola dengan baik dan tidak dicegah serta dikurangi, peluang untuk tenglamnya beberapa wilayah menjadi danau atau laut itu sangat besar sekitar >20 tahun yang akan datang.

 Ada kecenderungan bahwa berkaitan dengan bencana asap yang merupakan bencana luar biasa, yang disebabkan oleh terbakarnya hutan dan lahan gambut, pemerintah hanya reaktif untuk memadamkan kebakaran tersebut, justru di samping upaya reaktif pemadaman, ada baiknya melakukan kegiatan pencegahan melalui kegiatan yang kita sesuaikan dengan penyebab terjadinya bencana asap, yaitu faktor Ekosistem gambut, faktor manusia, faktor cuaca ekstrim, secara terencana dan terintegrasi.

 Pertama faktor Ekosistem gambut, bahwa sudah diketahui ekosistem saat ini sudah rusak semenjak beberapa dasawarsa yang lalu, mungkin akibat salah kebijakan Negara terkait dengan pemanfaatan Gambut yang tidak memperhatikan pelestarian gambut itu sendiri, beberapa kegiatan dalam rangka pencegahan dan meminimalkan dampak dari kerusakan ekosistem gambut ini antara lain, yang dilakukan secara TSM (Terstruktur, Sistematis dan masif) antara lain (1) Moratorium perizinan pemanfaatan kawasan gambut untuk perkebunan dan peruntukan lainnya yang sudah secara ketat dan pemberian sanksi hukum maupun sanksi administratif, termasuk Hutan Tanaman Industri; (2) Melakukan evaluasi terhadap perizinan yang telah diberikan kepada perusahaan baik perkebunan/pertanian/pertambangan maupun kehutanan, termasuk untuk Provinsi Jambi evaluasi terhadap pelaksanaan Perda No2 tahun 2016; (3) kegiatan pemulihan ekosistem gambut yang melibatkan partisipasi masyarakat melalui kelompok masyarakat yang didukung melalui pendanaan APBD baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota, di samping yang akan dilaksanakan melalui Satker yang bergerak di bidang tersebut Konservasi dan Badan Restorasi Gambut secara terintegrasi dan terkonsolidasi.

 

 

Faktor Kedua Faktor Manusia, Substansi manusia sebagai pelaku dan obyek pembangunan bahkan sasaran pembangunan menjadi faktor utama, yang tergabung dalam wilayah Administratif Desa, cenderung menjadi kelompok penderita terutama masyarakat dalam dan sekitar kawasan hutan Gambut dan Perusahaan baik perkebunan maupun Non Perkebunan.

 

Perlunya Pelibatan masyarakat dalam bentuk Kelompok masyarakat baik terkait dengan Pemulihan ekosistem, evaluasi terhadap Perusahaan yang memanfaatkan Gambut, serta yang lebih utama lagi masyarakat diharapkan untuk berperan serta aktif untuk kegiatan pencegahan maupun pemadaman melalui Operasional Masyarakat Peduli Api (MPA) yang didukung oleh Dana Desa dalam bentuk Patroli MPA secara terjadwal, Patroli bersama dengan Instansi terkait, Sosialisasi dan penyuluhan secara terus menerus, Pembuatan Peraturan Desa berdimensi adat lokal untuk pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan, membangun sumur bor dan embung di setiap desa di dalam desa juga diharapkan didukung dana desa, bantuan dari perusahaan yang dianggarkan, bukan dari CSR.

 Upaya penegakan hukum yang betul adil, merupakan salah satu upaya untuk penyadaran dini bagi masyarakat baik masyarakat desa, maupun perusahaan, yang cenderung selama ini masih sangat lemah.

 Berdasarkan pengamatan langsung MPA yang terbentuk di Desa, pada umumnya tidak cukup untuk 1 regu, bahkan untuk operasional tidak ada dukungan yang jelas, termasuk asuransi dan insentif para MPA tersebut, sehingga MPA yang ada cenderung belum berdaya guna dan berhasil guna.

 Faktor ketiga Cuaca Ekstrim, cuaca ekstrim yang membawa hawa panas dalam bentuk El-Nino, kedatangan dan kepergiannya sudah bisa diramalkan, tapi tidak bisa dipengaruhi oleh faktor manusia, sehingga manusia hanya bisa menyesuaikan untuk melakukan aktivitas mengurangi dampak dari el-nino ini, terutama upaya-upaya pencegahan dan pemadaman, sehingga upaya reaktif dalam bentuk patroli baik oleh MPA, Manggala Agni, TNI/Polri bisa terjadwal dan terkonsentrasi dengan baik dan terencana.

 Untuk kegiatan evaluasi terutama di terkait implementasi dari beberapa Perda, di beberapa daerah sudah diterbitkan dan terpantau Perda seperti (1) Provinsi Jambi dengan Perda No. 2 tahun 2016, yang diterbitkan setelah Kebakaran Hutan dan Lahan tahun 2016 diketahui bahwa di Provinsi Jambi; (2) Perda kebakaran Hutan dan lahan Kabupaten Ogan Komering Ilir Prop Sumatera Selatan; (3) Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Sumatera Selatan Nomor 8 Tahun 2016 dan Perda No. 1 tahun 2018, tentang perlindungan dan pengelolaan Gambut dan lain-lain.

 Karena dari beberapa data dan informasi Perda ini cenderung belum berjalan dengan efektive dalam rangka pengelolaan gambut serta pencegahan kebakaran hutan dan lahan di kawasan gambut, dengan indikator bencana asap tahun 2019 semakin parah..

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun