Suku boti menurut sejarah, pada abad ke 18 mulanya marga Benu yang menempati wilayah yang dikenal dengan  sebutan paha'luman-paha'tena (sebuah wilayah yang tidak berpenghuni karena angker secara magis).Â
Setelah berhasil dihuni lewat berbagai pelaksanaan ritual yang dinamai dengan sebutan faut (batu -batu) elak (batu bertangga),nama Faut Elak artinya batu bertangga  sebagai tempat perlindungan bagi keluarga Benu beserta pengikut pengikutnya.
Sejarah Suku Boti
Berdasarkan sejarah terbentuknya, Boti ini adalah buah pemikiran dari beberapa orang yang memiliki pemikiran untuk membuat sebuah kelompok.Â
Sekelompok orang-orang itu terdiri dari dua belas marga, antara lain: Tefu, Nabu, Neolaka, Asbilak, Tekfan, Tefamnasi, Kao, Naat, Natonis, Lunesi, Tanesib, Benu. Kedua belas marga ini bukanlah orang-orang yang berbeda, melainkan mereka adalah saudara yang berasal dari leluhur yang sama.Â
Dari dua belas marga ini terbentuk suatu kelompok masyarakat yang membentuk Rezim pemerintahan adat yang diperkirakan rezim ini terbentuk sebelum tahun 1955, dalam hal ini yang dituakan dari kedua belas marga tersebut untuk menjadi pemimpin mereka, ialah marga Benu.
Pada mulanya Boti adalah nama leluhur mereka yaitu Boti Benu yang menjadi Tamukung Boti sejak tahun 1915-1936. Namun ketika adanya perubahan sistem pemerintahan berdasarkan ketetapan UUD No 64 tahun 1958 tentang pembentukan daerah tingkat I yang di dalamnya termasuk NTT, maka terbentuklah Boti menjadi sebuah pemerintahan yang terstruktur berdasarkan UUD.Â
Desa Boti berdiri sebagai pemerintahan Negara pada tanggal 2 Juni tahun 1955 dan seterusnya hingga terbentuknya Desa gaya baru pada tahun 1974.Â
Nama Boti tetap dipakai sebagai sebuah Desa dengan ciri khasnya sebagai sebuah wilayah Adat hingga sekarang yang berada di pulau timor kabupaten timor tengah selatan, nusa tenggara timur (NTT).
Kondisi sosial Suku Boti
Secara demografis Data jumlah populasi Suku Boti sampai dengan Januari 2020 berjumlah 307  jiwa dari 74 KK warga Suku Boti. Suku Boti sendiri menurut  salah satu fasilitator peduli Deni Sailina merupakan komunitas adat yang terpinggirkan baik secara system maupun sosial.Â
Mereka terpinggirkan karena budaya dan faham yang dipercaya, penganut kepercayaan Halaika. Pemahaman masyarakat pada komunitas ini dianggap tidak mempunyai agama karena terekslusi dari masyarakat sekitar. Stigma dan diskriminasi muncul karena adanya persoalan minoritas dan mayoritas.
Namun memang bahwa persoalan minoritas agama di Indonesia lebih banyak didukung oleh peraturan-peraturan yang justru dikeluarkan oleh pemerintah. Â
Sementara itu, minoritas etnis dan bahasa seperti minoritas Suku Boti di Desa Boti, menerima diskriminasi dalam bentuk yang berbeda. Memang tidak ditemukan kasus penyerangan.
Akan tetapi eksklusi terhadap mereka dilakukan oleh organisasi-organisasi keagamaan dan bahkan pemerintah daerah dengan mengeluarkan aturan-aturan yang mengikat sehingga sulit diakses oleh komunitas Boti yang menganut kepercayaan Halaika. Salah satu contoh, anak dari Suku Boti Halaika jika bersekolah maka harus memiliki akta lahir dan surat baptis bila di sekolah kristen.
Maka dari itu untuk mempertahankan keberadaan Suku Boti ini maka Pemerintah Desa Boti memiliki inisiatif untuk terus menjaga Komunitas Halaika ini (Boti'dalam), agar budaya dan tradisi yang diturunkan dari nenek moyang mereka tidak hilang.Â
Adapun tindakan yang dilakukan oleh pemerintah, antara lain: Setiap hari sabtu anak-anak sekolah harus menggunakan salendang, setiap bulan di minggu kedua dalam liturgi gereja ada ibadah budaya, susunan ibadah menggunakan bahasa Dawan dan berbusana daerah khususnya Timor. Selain itu jika ada rapat bersama di kantor desa masyarakat yang hendak pergi diwajibkan untuk yang pria mengunakan selimut dan wanita mengunakan sarung.
Selain itu pemerintah Desa Boti bekerja sama dengan Depertemen Agama TTS, agar tidak ada penginjil yang masuk ke Boti dengan tujuan Kristenisasi, karena menurut mereka Suku Boti Dalam adalah orang-orang penjaga tradisi dan budaya Timor, sehingga bila mereka punah maka kecantikan Timor pun tidak akan terlihat lagi. Hal ini yang dikatakan oleh Bapak Balsasar O.I Benu selaku Kepala Desa Boti:
"Kami pemerintah Desa Boti sudah melakukan kerja sama dengan Depertemen Agama Timor Tengah Selatan agar tidak ada lagi penginjil yang masuk ke Boti untuk menginjili orang-orang Halaika. Karena orang Halaika adalah penjaga tradisi leluhur dan penjaga nilai-nilai budaya jadi kalau mereka semua menjadi  Nasrani maka tidak ada lagi yang berpegang pada perintah nenek moyang untuk menjaga kepercayaan dan tradisi. Orang Halaika tidak perlu diinjili lagi, mereka tidak memiliki Alkitab tetapi perbuatan mereka sesuai dengan Alkitab."
Kearifan lokal Suku Boti
Secara umum masyarakat Boti hidup dalam suatu wilayah walaupun terdapat pembagian antara orang Boti Nasrani (Boti Luar) dan Boti Halaika (Boti Dalam).Â
Kehidupan orang Boti secara umum terlihat sederhana, terkhususnya kehidupan orang Boti Dalam kesederhaan hidup orang Boti Dalam merupakan bagian dari aturan hidup mereka. Hal ini terlihat dari tempat tinggal dan pakaian mereka sehari-hari.Â
Orang Boti memiliki prinsip hidup sederhana, karena bagi mereka bahwa hidup sederhana akan membuat mereka tidak merasa lebih satu dengan yang lainnya.
Rumah mereka terbuat batang pohon siwalan atau yang lebih dikenal dengan sebutan pohon Lontar, orang- orang Boti biasanya menyebut dengan sebutan Beba (batang pohon siwalan yang telah dibelah dan dikeringkan lalu diikat dengan mengunakan kayu panjang sehingga tersusun rapi dan dipakai sebagai penganti tembok).Â
Atap rumah mereka ada yang sudah memakai atap seng namum ada yang masih memakai daun alang-alang, atau juga daun siwalan sebagai atap rumah.Â
Tidak semua rumah di Boti terbuat dari batang pohon siwalan dan beratap daun, sudah ada rumah yang terbuat dari tembok batu namun bisa dihitung jumlahnya, dan masyarakat yang mendirikan rumah tembok bukanlah termasuk dalam komunitas Suku Boti'dalam, kerena pada umumnya masyarakat suku Boti Dalam walaupun beratapkan seng namun dinding rumah mereka masih terbuat dari pelepah (Batang Pohon Siwalan). Bukan saja tempat tinggal, cara berpakaian mereka pun demikian.
Kesederhaanaan inilah yang juga masih ditanamkan hingga saat ini, bukan hanya dari pakaian dan rumahnya saja tetapi dari tingkah laku dan moralitas yang ada disana.Â
Hal ini dapat dilihat pada saat pandemi. Saat banyak orang di perkotaan yang masih mampu secara finansial tapi masih mengaharapkan bantuan, hal ini bertolak belakang dengan warga suku boti,justru mereka berlaku adil dengan berlaku jujur terhadap pemerintah.Dalam penuturan warga desa suku boti.
"Kami punya banyak ternak peliharaan dan kebun yang luas, tapi kami dikategorrikan miskin karena hanya lihat rumah kami yang hanya beratapkan ilalang dan berdiding pelepah gewang,
Kami ingin sekali agar nama kami tidak masuk dalam kategori miskin dan masukkan saudara kami yang layak unruk miskin tapi kami tidak tahu bagaimana caranya -ucap Bapak Suli salah seorang Tokoh Adat di Desa Boti".
Hal ini tentunya merupakan perilaku yang mesti dicontoh oleh warga lainnya khusususnya diwilayah perkotaan. Meskipun semua masyarakat sedang terkena dampak covid namun sikap kejujuran dan kesederhanaan yang ditanamkan oleh suku boti , kiranya dapat menjadi sebuah hal yang dapat memberikan perubahan moralitas yang besar di wilayah kota kota besar seperti di Jakarta ataupun lainnya. Hal ini juga dipertegas oleh Deni Sailina sebagai Fasilitator Peduli, beliau mengatatakan :
"Orang boti adalah orang yang sangat jujur jika mereka tidak mampu mereka akan sampaikan dia tidak mampu dan sebaliknya, jadi ketika terima bantuan yang datang kalau nama orang itu orang yang masih mampu mereka akan serahkan ke orang lain yang membutuhkan, jadi ini hal-hal menarik beda dengan wilayah lain, kalau wilayah lain jika dapat bantuan pasti mau dapat, tapi kalau suku boti tidak" -Deni Sailina Fasilitator Peduli.
Oleh karenanya mereka berkeyakinan jika seseorang berbuat baik terhadap alam pasti alam pun akan berbuat baik kepadanya pula. Dalam hal ini warga suku boti sendiri sudah terbiasa makan diladang , menghabiskan waktu untuk bertani dan berternak serta sudah terbiasa hidup sederhana.Â
Bahkan di suku Boti sendiri tidak ditemukan perbedaan status berdasarkan kekayaan semisal miskin dengan kaya, melainkan semuanya setara---hal inilah yang tergambar dari hal yang dilakukan masyarakat yang menolak bantuan dari pemerintah dan memilih untuk memberikan bantuan tersebut kepada orang yang lebih membutuhkan.
Sumber :
Profile Suku Boti, Diakses Pribadi
Kongres kebudayaan desa.id
Wawancara dengan Fasilitator Program peduli suku boti Deni Sailina
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H