Desentralisasi sering dianggap sebagai suatu produk terbaik dalam mewujudkan tatanan pemerintahan yang mengarah kepada good governance dan demokratis. Bank dunia mencatat bahwa desentralisasi sering tercipta pada periode pergolakan politik dan ekonomi, seperti jatuhnya sebuah rezim otoriter, krisis ekonomi, dan perebutan kekuasaan kelompok kepentingan.Â
Sejak jatuhnya rezim otoriter Soeharto 1998, sistem pemerintahan yang sentralistik dialihkan menjadi desentralisasi yang merupakan salah satu tuntutan dalam reformasi. Sistem sentralisasi yang ada menjadikan hubungan yang tidak harmonis antara pusat dan daerah.Â
Permasalahan daerah tidak dapat sepihak diputuskan oleh pusat dengan kebijakan dan regulasi yang ada, melainkan harus memperhatikan kompleksitas keberagaman yang ada di tiap daerah. Oleh karena itu, desentralisasi sebagai implementasi kebijakan reformasi menuntut perubahan mendasar dari sistem dan praktik administrasi terpusat yang memandang hierarkis secara terpusat. Desentralisasi lebih bersifat fungsional, yang dimana pemerintah berusaha untuk lebih responsif terhadap kebutuhan lokal dengan menempatkan dan mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat.Â
Kebijakan desentralisasi di Indonesia dirancang sebagai bentuk respon terhadap disintegrasi nasional yang terjadi. Karena hal ini formulasi kebijakannya dianggap agak politisi (Hudalah et al., 2014.Â
Unsur radikal dari kebijakan tersebut adalah pengalihan kewenangan antara pemerintah pusat ke pemerintah daerah dilakukan kebanyakan tanpa melalui perantara instansi pemerintahan provinsi. Pemerintah pusat percaya bahwa sentimen separatis akan melemah atau mudah dikendalikan apabila ada kepercayaan pusat kepada daerah berupa transfer kekuasaan.Â
Cara berpikir pragmatisme politik seperti ini hanya akan menyisakan atau memberikan sedikit ruang untuk membangun pengaturan kelembagaan yang kuat pada tingkat subnasional, tetapi kesenjangan yang ada pada tingkat regional telah berhasil menciptakan proses egoisme lokal berupa fragmentasi regional dan elit lokal. Hal ini terjadi karena perubahan sistem tidak dibarengi dengan penguatan kualitas sumber daya manusia yang menunjang sistem pemerintahan lokal. Oleh karena itu tulisan ini coba memberikan pemahaman baru mengenai peranan lembaga non struktural dan masyarakat sipil dalam konsolidasi desentralisasi demokrasi.Â
Penguatan pengelolaan pemerintahan daerah yang berorientasi kepada kepentingan masyarakat dapat dilakukan dengan penguatan pada peranan lembaga non struktural yang berada pada tingkat lokal.Â
Pembentukan kebijakan dapat dilakukan dengan memadukan kelembagaan hibrida yang berunsur NGO dan Government Organisation menjadi sebuah solusi dalam menutupi blind spot yang selama ini kerap hadir dalam kelembagaan konvensional yang tidak dapat terselesaikan yang berkaitan dengan inefisiensi dan inefektivitas pengelolaan.Â
Pembentukan kelembagaan pada tingkat lokal merupakan wujud eksperimentasi desentralisasi secara fungsional yang dilakukan Pemerintah Daerah. Dalam proses praktiknya, lembaga non struktural merupakan salah satu model reinventing government dalam pelayanan publik (Saputra, 2018). Menurut Dimas (2018), membagi 5 peranan kelembagaan non struktural dalam mencapai tugas dan fungsi dalam pemerintahan lokal.Â
Pertama, People to people relationship adanya hubungan personal yang baik antarindividu dalam internal dan eksternal terhadap stakeholder terkait. Kedua, informal Communication for Effectiveness berkaitan dengan sosialisasi dan advokasi yang berbasis pada kultur dan pertimbangan sektoral dalam masyarakat serta melepaskan aspek formalitas.Â
Ketiga, Accelerating Public Participation, ditandai dengan meningkatnya rasa kesukarelawanan dan kepeduliaan dari rasa ingin berkontribusi terhadap pembangunan lokal. Keempat, Updating Policy Problem, adanya bentuk sikap asertif terhadap berbagai bentuk kebijakan pemerintah lokal yang dianggap tidak solutif dan lemah dalam pengimplementasian. Terakhir, Specific Expertise, hadirnya para ahli yang berperan aktif dalam penanganan masalah-masalah spesifik.
Dalam mencapai setiap tujuan dan peran yang berkontribusi dalam masyarakat secara konkret harus dilakukan reformasi struktur lembaga non struktural yang berkaitan dengan sumber daya manusia (SDM), keterbatasan kewenangan, dan otonomi kelembagaan. Menurut Lawyer dan Mohrman (2003), pencapaian tujuan dan sasaran kelembagaan dengan efektif wajib melibatkan SHRM (Strategic Human Resource Management). Dalam praktiknya, sumber daya manusia harus diintegrasikan dan diselaraskan dengan rencana strategis lembaga dengan tujuan untuk mencapai kinerja individu dan lembaga yang terorganisasi dengan baik.Â
Demi tercapainya setiap tujuan dan program lembaga, maka yang harus ada perbaikan pada hubungan integrasi vertikal dan horizontal. Integrasi vertikal dengan melibatkan praktek HRM (Human resources Management) dengan pencapaian tujuan strategis lembaga, sedangkan integrasi horizontal dengan mensinkronisasikan hubungan antara kegiatan HRM dengan pelaksanaan yang lain dengan tujuan untuk menciptakan hubungan yang selaras antara sumber daya manusia dan seperangkat perilaku, kompetensi dan motivasi yang terarah (Schuler dan Jackson 2005: 12).Â
Keterbatasan kewenangan sangat berkaitan erat dengan otonomi dari kelembagaan itu sendiri. Keterbatasan kewenangan yang ada memberikan sedikit ruang bagi kelembagaan untuk dapat mengelola dan mengembangkan lembaga dengan baik, akibatnya berimplikasi kepada kurangnya dukungan politik dari pemerintah terhadap setiap program dan tujuan lembaga.Â
Kebijakan otonomi daerah itu tidak hanya perlu dilihat kaitannya dengan agenda pengalihan kewenangan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah, tetapi juga menyangkut pengalihan kewenangan dari pemerintahan ke masyarakat (Nuridawati, 2019).Â
Kedekatan antara pemerintah daerah dengan masyarakat akan lebih memungkinkan untuk merespon kebutuhan lokal dengan lebih baik dan efisien. Tumbuhnya apresiasi terhadap kebutuhan untuk mengembangkan pemerintahan lokal dan bukan hanya pemerintah lokal.Â
Hal ini menyiratkan tidak hanya transfer tanggung jawab dan sumber daya vertikal dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, tetapi juga keterlibatan simultan oleh lembaga non-negara lokal (sektor swasta, masyarakat sipil dan organisasi internasional) dalam pemberian layanan dan kegiatan pembangunan (Olowu, 2003).Â
Dalam penyelenggaraannya, otonomi daerah harus dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran-serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Hal ini selaras dengan pemikiran Jimly Asshiddiqie (2010) yang menekan pentingnya peran serta masyarakat dalam proses kegiatan otonomi daerah.Â
Desentralisasi harus dipahami dengan kerangka kerja yang harus menyertakan dispersion of power dalam setiap komponen kedaulatan rakyat untuk mewujudkan dan mengelola tata pemerintahan yang mengarah kepada good governance.Â
Pada konteks ini, masyarakat sipil sebagai aktor non negara yang memiliki kedekatan dan responsif terhadap setiap isu lokal memiliki peranan besar dalam menciptakan penyeimbangan konektivitas antara masyarakat dan pemerintah pada level daerah. Masyarakat sipil yang dinamis akan mampu berkontribusi pada pemerintahan yang baik dan demokratis dengan memastikan partisipan publik yang lebih besar dalam pembangunan lokal.Â
Desentralisasi kekuasan yang dibarengi dengan penguatan masyarakat sipil pada tingkat lokal akan meningkatkan partisipasi dan transparansi publik. Baik desentralisasi maupun keterlibatan masyarakat sipil dalam arus demokrasi merupakan pilar utama reformasi tata pemerintahan untuk pemberdayaan (Ito, 2011). Proliferasi bentuk kelembagaan lokal dan fragmentasi kekuasaan publik pada level daerah akan tercipta apabila adanya transfer kekuasaan dan sumber daya atas nama desentralisasi demokratis kepada lembaga-lembaga lokal, otoritas adat dan organisasi masyarakat sipil.Â
Partisipasi yang baik dengan adanya hubungan yang sejajar semua pihak dan bertanggung jawab dalam upaya menuju keberhasilan pelaksanaan program pembangunan (Dewi, 2002). Pemerintah daerah harus memberikan keleluasaan kepada masyarakat lokal untuk dapat mengaktualisasikan dirinya secara optimal dengan jaminan regulasi sebagai bentuk pengakuan terhadap eksistensi masyarakat dan kebudayaan.Â
Agar dapat berperan secara optimal paradigma pelaksanaan desentralisasi harus diubah dengan mengoptimalisasikan peran masyarakat sipil yang sebelumnya bersifat subordinasi menjadi bagian kemitraan dan kerja sama. Keterlibatan aktif yang baik antara pemerintah dan masyarakat sipil akan membuka diri terhadap gagasan alternatif yang lebih adaptif dan responsif. Sebab ada kemungkinan pemerintah lokal tidak memiliki kemampuan untuk mengelola permasalahan lokal secara efektif.Â
Meskipun masyarakat sipil berperan aktif dalam konsolidasi desentralisasi demokrasi, tetapi apabila penguatan masyarakat sipil tidak diimbangi dengan pemahaman hubungan kekuasaan dan jaringan patronase informasi maka yang ada akan merusak akuntabilitas lokal. Kelompok kepentingan elit lokal akan memberikan jalan ideal untuk mempertemukan kebutuhan untuk membangun dan memelihara ikatan klientelistik di lokal dengan retorika masyarakat sipil.Â
Beberapa peneliti berpendapat bahwa ketidaksuksesan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah disebabkan desain kelembagaan yang dibangun tidak efisien. Inefisiensi kelembagaan ini disinyalir menjadi penyebab mendasar terjadinya stagnasi ekonomi di beberapa negara berkembang dan negara industri masa lalu (Simanjuntak, 2015).Â
Heller (2001) menyajikan kasus serupa dalam penelitian di Kerala (India) dan Porto Alegre. Menurutnya negara pusat yang kuat dan efisien dengan masyarakat sipil yang berkembang dengan baik dan kekuatan politik yang sangat terorganisir dengan baik akan melahirkan peluang politik dan kelembagaan yang luar biasa, yang jarang terlihat di dunia yang kurang berkembang.Â
Kesempatan tersebut pada gilirannya telah menghasilkan pemerintahan lokal yang sukses. Pada kondisi meningkatnya partisipasi masyarakat dalam akses ruang publik dan kontrol publik pada ranah lokal merupakan salah satu bentuk peranan lembaga dan masyarakat sipil dalam menjembatani kepentingan masyarakat dengan pemerintah lokal.Â
Meskipun masih terdapat banyak celah untuk terciptanya penyimpangan terhadap tujuan utama lembaga dan masyarakat sipil, namun solusinya bukanlah resentralisasi. Pengembangan instrumen yang efektif antara lembaga non struktural dan masyarakat sipil dengan memastikan kualitas penggunaan sumber daya manusia untuk mempromosikan akuntabilitas lokal dapat menjadi solusi yang tepat dalam mengatasi permasalahan tersebut
 Daftar PustakaÂ
Asia Research Centre (2001). Decentralisation and Development Cooperation: Issues for Donors. The Australian Agency For International Development (AusAID).Â
Asshiddiqie, Jimly, (2010), Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.Â
Dewi, G. A. O. P. (2002). Peran masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang demokratis. 1--5.Â
Heller P (2001) Moving the state: the politics of democratic decentralization in Kerala, South Africa, and Porto Alegre. Politics and Society 29: 131-163.
Hudalah, D., Firman, T., & Woltjer, J. (2014). Cultural Cooperation, Institution Building and Metropolitan Governance in Decentralizing Indonesia. International Journal of Urban and Regional Research, 38(6), 2217--2234.Â
Ito, T. (2011). Historicizing the power of civil society: A perspective from decentralization in Indonesia. Journal of Peasant Studies, 38(2), 413--433.Â
Lawler III, E. and Mohrman, S. (2003) 'Human resources as a strategic partner: what does it take to make it happen?', Human Resource Planning 26 (3): 15--29.Â
Nuradhawati, R. (2019). Dinamika Sentralisasi dan Desentralisasi di Indonesia. 2(1), 152--170. Olowu, D. (2003). Local institutional and political structures and processes: Recent experience in Africa. Public Administration and Development, 23(1), 41--52.Â
Saputra, D. A. (2018). Peran Kelembagaan Non Struktural Dalam Praktik Desentralisasi: Studi Kasus Pada Bpk2L, Bppb Sima Dan Dp2K Kota Semarang. Journal of Politic and Government Studies.Â
Schuler, R. and Jackson, S. (2005) 'A quarter-century review of human resource management in the US: the growth in importance of the international perspective', Management Review 16 (1): 1--25.Â
Simanjuntak, K. M. (2015). Policy Implementation Decentralization Government in Indonesia. 23, 111--130Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI